*Cerpen
Oleh: Stefan Bandar
Hal yang paling aku benci dari diriku adalah aku yang selalu begitu cepat jatuh cinta pada seseorang. Aku begitu gampang mencintai tetapi begitu sulit melepaskan.
Mungkin hanya dengan sebuah senyuman, aku bisa jatuh cinta. Sungguh, aku sedikit membenci hal ini. Mungkin semua itu karena ketidakmampuanku medefinisikan cinta.
Engkau mungkin masih ingat hari itu. Kita adalah dua orang yang sama-sama sedang patah hati. Kita memilih taman untuk sekedar melepaskan semua kenangan yang masih tergenang, sekaligus memulai membuka lembaran baru dalam kehidupan kita.
Saat itulah kita bertemu, lalu memulai menceritakan beberapa pengalaman kecil dalam hidup kita.
Awalnya kita canggung. Kita enggan untuk menceritakan suasana hati kita. Kita memilih diam dan membiarkan lampu-lampu taman memandang kita untuk beberapa saat.
Tiba-tiba engkau datang menghampiriku. Engkau menceritakan beberapa pengalaman harianmu, seolah kita sudah berkenalan.
Engkau bercerita sesukamu. Aku hanya diam meski aku ingin meladeni setiap omelanmu. ‘Koq cowok merajut’ desuhku dalam hati sambil tertawa kecil.
Engkau terus saja menceritakan kisahmu tanpa sadar bahwa kita belum kenalan.
Namun pada akhirnya engkau menyadari juga bahwa kita sebenarnya belum berkenalan. Jack, demikian engkau memperkenalkan namamu. Liana, demikian aku memberitahukan namaku.
Kemudian kita bercerita, membahas beberapa hal yang kadang menghadirkan canda di antara kita. Di akhir pertemuan pertama itu engkau meminta nomor chellphoneku.
Selanjutnya canda kita lebih banyak lewat chellphone. Engkau kadang meminta vc (video call). Sebenarnya sebelum engkau memintanya aku sudah berharap berkali-kali untuk bisa melakukannya.
Tapi sebagai seorang gadis, aku menjaga kehormatanku. Bukan kehormatan, lebih tepatnya menjaga gensi.
Engkau memiliki banyak cara untuk memancingku bercerita. Ada-ada saja hal yang kau bicarakan yang pada akhirnya mengundang tawaku.
Terkadang engkau berbicara hal yang aneh-aneh, tetapi pada akhirnya membuat pembicaraan kita lebih santai.
Terkadang engkau memojokkan aku dengan candamu, lalu tiba-tiba saja menyanjungku.
Salah satu hal yang engkau katakan padaku ialah bahwa engkau menyukai senyum dan bola mataku. Katamu senyum dan bola mataku seperti awan dan pelangi.
Senyumku seperti awan yang meneduhkan jiwamu yang letih. Sedangkan mataku bagaikan senja yang memberi warna dalam hidupmu. Dasar raja gombal, sering aku mengataimu seperti itu.
Namun meskipun engkau menggambar senyum dan bola mataku sebagai awan dan pelangi, hal yang paling engkau benci adalah hujan.
Katamu, ketika engkau melihat hujan engkau kembali pada sebuah kisah kelam yang pernah kau alami dalam hidupmu.
Aku berusaha memahami apa yang kau benci dalam hidupmu. Aku mencoba mengerti meskipun semuanya terasa aneh. Aku ingat di suatu senja saat kita sedang duduk di taman sekolah. Tiba-tiba saja bunyi guntur menggelegar.
Engkau bangun dan berlari kencang menuju kelas. Raut mukamu juga sungguh berubah ketika hujan mulai turun dengan lebatnya.
Kita menjalin hubungan yang begitu dekat hingga orang-orang di sekitar kita mengira kita pacaran. Tapi nyatanya kita hanyalah sebatas teman dekat.
Sebenarnya kita saling mencintai, tetapi kita mempertahankan ego kita masing-masing. Mungkin bukan ego, tepatnya kita sedang mempertahankan gensi kita masing-masing.
Kita sebenarnya dua makhluk yang sedang menunggu kata cinta diucapkan. Engkau enggan mengatakan perasaanmu karena merasa minder dengan kecantikanku.
Ya, aku dikenal sebagai gadis rebutan di sekolah. Sedangkan aku, aku merasa enggan mengatakan perasaanku karena engkau adalah siswa paling pintar.
Aku pernah ingat ketika sebuah puisi kau bacakan di depan kelas. Semua terpesona mendengar kata-kata yang kau rangkai.
Engkau membaca sebuah puisi cinta. Arkheila, demikian kau namakan gadis di dalam puisimu. Engkau mengaguminya tetapi engkau tidak dapat memilikinya, Itulah kira-kira isi puismu.
Aku pernah bertanya kepadamu prihal gadis yang kau puja. Katamu, dia dekat dan engkau sedang menunggu hatinya merasakan kehadirannya.
Engkau sudah hadir di sana tetapi dia tidak pernah merasakan semuanya, demikian katamu. Cinta butuh pengorbanan dan luka adalah pengorbanan paling sempurnah dari cinta, katamu lagi.
Seperti halnya engkau yang mencintai dia dengan diam-diam dan sedang menunggu dia merasakannya, aku juga merasakan luka. Aku terluka karena menahan perasaanku padamu.
Tapi apalah daya, aku tidak mungkin mengatakan semuanya kepadamu. Aku hanya menunggu engkau mengatakannya, jika gadis yang kau puja adalah aku, dan aku segera menjawab iya.
Tiga tahun kita menjalani masa putih abu. Tiga tahun kita merasakan cinta di dalam hati kita. Tiga tahun kita begitu dekat.
Tetapi tiga tahun kita mempertahankan ego kita masing-masing. Tiga tahun kita tidak mempertahankan rasa itu di dalam hati kita. Dan yang jelas selama tiga tahun itu kita mempertahankan luka di dalam hati kita
Hingga akhirnya masa putih abu kita usai dan kita harus berpisah. Sehari sebelum keberangkatanmu ke Amerika, engkau mengirimku sebuah pesan singkat.
Hanya tiga kata yang kau ucapkan. ‘Aku cinta kamu’, demikian pesan singkat darimu.
Akh, bagaimana aku harus mencintaimu ketika jarak memisahkan kita? LDR? Tidak, aku tidak ingin menjalin hubungan jarak jauh.
Aku merasa tidak nyaman saja. Mengapa? Entalah. Tapi yang jelas aku tidak ingin memberikan sebuah janji pada seseorang yang tidak kujumpai raganya.
Engkau memaksaku dan memberikanku janji. Engkau berjanji akan menjaga hatimu meski jarak memisahkan kita. Hatiku luluh juga mendengar kata-katamu.
Meskipun kita tidak saling bertemu tetapi kita membangun sebuah kisah baru dalam hidup kita. Pada jarak yang begitu lebar, engkau mengirimku puisi-puisi rindu, sajak-sajak tentang hatimu yang merindukanku.
Setahun setelah itu pesan-pesan yang kita kirim lewat chellphone mulai berkurang. Kita sibuk dengan perkuliahan kita.
Banyak tugas dari kampus yang membuat kita kadang lupa memberi kabar. Tapi aku tetap yakin bahwa di sana engkau tetap mempertahankan cinta kita.
Namun harus kuakui bahwa menunggu juga terkadang membosankan. Ada banyak moga yang aku lantunkan agar engaku menjadi bunga-bunga dalam tidur malamku.
Tapi semuanya terkadang membosankan. Hingga akhirnya aku sampai pada sebuah pertanyaan, apakah engkau masih pantas kutunggu dan kuperjuangkan?
Tiga tahun lalu, saat terakhir engkau mengirimku pesan, sejak saat itu aku merasa bahwa semuanya sia-sia saja. Mempertahankan rasa dan rindu pada seseorang yang tidak pernah memberi kabar, mungkin menjadi sebuah kesalahan terbesar.
Hingga kini, menjadi sebuah penyesalanku adalah mengapa aku harus memberikan hatiku kepadamu saat itu.
Seandainya tidak aku katakan ‘iya’ untukmu, mungkin aku sudah baik-baik saja sekarang. Mungkin aku telah membunuh rasa untukmu yang pernah singgah di hatiku.
Aku tidak akan pernah setengah mati memperjuangkan rindu, mempertahankan sebuah perjuangan yang sia-sia.
Sekarang aku ingin melepaskanmu jika seandainya engkau tidak pernah kembali. Aku masih mencintaimu. Tetapi bukankah kesia-siaan jika kita mempertahankan sebuah hubungan tanpa sebuah kejelasan?
Aku ingin mengiklaskan dirimu dari hatiku sebab cara terbaik dari seorang yang sangat mencintai adalah mengiklaskan.
Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero