Oleh: Joan Damaiko Udu
Beberapa minggu terakhir, ketika kasus Covid-19 kembali melonjak drastis di Indonesia, warga Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, harus berjuang keras mempertahankan ruang hidup mereka dari kepungan proyek geothermal.
Ini membuat beban kehidupan mereka makin berat, sebab mereka harus kukuh bertahan dari dua ancaman besar: wabah Covid-19 dan proyek geothermal.
Desa Wae Sano terdiri dari 10 kampung dan tiga di antaranya (Lempe, Nunang, dan Dasak) terdampak langsung aktivitas eksplorasi geothermal. Sejak 2018, warga lokal di tiga kampung ini konsisten menolak rencana proyek tersebut, terutama setelah mendalami secara serius bahaya laten dan dampak krusial proyek bagi tatanan kehidupan mereka.
Resistensi warga makin terkonsolidasi ketika pada 29 Mei 2021 pemimpin Gereja Katolik setempat, yang melayani wilayah Keuskupan Ruteng, mengirimkan surat rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan proyek kontroversial tersebut.
Surat itu menuai gelombang protes warga karena dinilai gagal merepresentasi posisi mereka serta berpotensi mengancam keselamatan hidup dan masa depan anak cucu mereka.
Surat sakti itu, juga penjelasan press release yang mengikutinya, sarat dengan logika utilitarianistik, sebab sama sekali tak mengakomodasi suara kelompok warga penolak proyek geothermal.
Lantas, apakah kelompok warga tersebut mendesak dikorbankan demi jargon-jargon mentereng pembangunan, seperti ‘pertumbuhan ekonomi’ dan ‘kesejahteraan umum’ (bonum commune)?
Sistem demokrasi kita memang memungkinkan anasir utilitarianistik itu, tapi justru itulah kelemahan sistem demokrasi yang seharusnya bisa diatasi oleh sistem berpikir ‘Omnia in Caritate’ (sistem berpikir yang dilandasi oleh ‘kasih’), yang tak akan membiarkan satu “domba” dikorbankan demi kesejahteraan mayoritas domba lainnya.
Tapi, dalam konteks kasus geothermal Wae Sano, sistem berpikir “Omnia in Caritate” itu terlihat samar-samar dan kurang berani, bahkan cenderung meringkuk sebatas utopia.
Rasionalitas Warga
Proyek geothermal Wae Sano, yang pelaksanaannya diserahkan kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Geo Dipa Energi, ditentang warga karena sejumlah alasan fundamental.
Dari surat terbuka yang mereka rilis pada 17 Juni 2021, yang ditujukan kepada pemerintah pusat, pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Keuskupan Ruteng, dan publik luas di Flores, terlihat argumentasi penolakan mereka diuraikan secara rasional dan terperinci.
Pertama, meski proyek yang didanai Bank Dunia (World Bank) tersebut ditengarai berpotensi meningkatkan rasio elektrifikasi di Flores, khususnya di wilayah Kabupaten Manggarai Barat, pertaruhannya akan sangat besar, yakni terancamnya keselamatan warga.
Ini dikarenakan sebagian besar titik bor dan lokasi-lokasi instalasi proyek, seperti instalasi pembuangan limbah, sangat dekat dengan pemukiman dan fasilitas publik.
Dari catatan sejumlah peneliti sosial dan aktivis lingkungan di Flores, diketahui sumur pengeboran di Kampung Lempe berjarak hanya 300 meter (140 meter versi perusahaan) dari pemukiman warga dan hanya 20 meter dari sumber mata air; di Kampung Nunang berjarak hanya 30 meter (85 meter versi perusahaan) dari mbaru gendang (rumah adat); dan di Kampung Dasak berjarak hanya sekitar 25 meter (170 meter versi perusahaan) dari fasilitas sekolah dan pemukiman warga (Laporan Haryanto & Supriatma, Mongabay.co.id, 17/4/2020).
Maka, memberikan lampu hijau kepada proyek ini, sebagaimana dilakukan Keuskupan Ruteng, sama halnya dengan menjerumuskan warga dalam bahaya.
Kedua, meski dinilai prospektif dan ramah lingkungan, aktivitas ekstraktif proyek ini akan tetap berdampak destruktif bagi tatanan sosial-ekologis, ekonomi, dan budaya warga.
Bagi warga lokal, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas sosial yang memiliki hak ulayat atas tanah Wae Sano, seluruh tatanan sosial-ekologis yang melingkupi kampung (desa) bersifat sakral.
Kehidupan komunal mereka ditandai dialektika integral golo lonto (kampung/pemukiman), yang mencakup compang takung (mezbah persembahan untuk leluhur), mbaru gendang (rumah adat), mbaru kaeng (rumah/hunian), natas labar (halaman kampung), uma duat (lahan pertanian/perkebunan), wae teku (sumber mata air), lepah boa (makam), puar (hutan), dan sano (danau).
Berbeda dengan cara berpikir parsial-kapitalistik perusahaan yang hanya berbicara tentang relokasi warga dengan skema ganti rugi tanah berbasis logika pasar, warga lokal berpikir jauh lebih holistik, dengan menimbang seluruh risiko ekonomi, budaya, dan sosial-ekologis dari proyek itu. Apalagi seluruh tatanan itu mereka bangun melalui proses historis yang panjang.
Ketiga, berkaca pada kegagalan dan kasus-kasus bencana proyek-proyek geothermal di Indonesia dan di luar negeri, warga tak yakin proyek ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana dijanjikan pemerintah dan pihak perusahaan. Alih-alih mengakselerasi kesejahteraan rakyat, proyek ini justru akan membawa mudarat.
Sejumlah bukti membenarkan kesangsian itu. Di Desa Sibanggor Julu, Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, misalnya, ekstraksi panas bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) pada 25 Januari lalu berakibat kebocoran gas beracun dan menyebabkan 5 orang tewas dan puluhan lainnya dilarikan ke Rumah Sakit (Indoprogress.com, 8/7/2021).
Tak lama setelah itu, kebakaran kembali terjadi di area proyek yang sama, menyebabkan sebagian besar penduduk mengevakuasi diri.
Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 29 September 2018, di area proyek itu, dua anak tewas tenggelam di kolam bekas penampungan perusahaan.
Bencana serupa juga pernah terjadi di PLTP Ijen, Jawa Timur; proyek panas bumi Rimbo Panti, Sumatera Barat; proyek Geo Dipa di kavling ekstraksi panas bumi Dieng; dan proyek panas bumi di Mataloko, Flores.
Ekstraksi panas bumi di sejumlah tempat ini berakibat buruk bagi kesehatan, ruang hidup, dan lahan pertanian warga.
Di luar negeri, proyek gigantik di Pohang, Provinsi Gyeongsang, Korea Selatan, menjadi contoh yang tepat.
Proyek yang menggunakan teknologi Enhanced Geothermal System (EGS) ini terbukti memicu gempa bumi berskala 5,5 Skala Richter pada 17 November 2017.
Selain itu, tercatat ada lebih dari 20 kasus gempa picuan di pelbagai proyek ekstraksi panas bumi di sejumlah negara selain kasus Pohang (Indoprogress.com, 8/7/2021).
Unsur-unsur picuan ini menjadi masalah serius mengingat Flores berada dalam jalur cincin api (ring of fire). Jika proyek geothermal Wae Sano terus dipaksakan, bayangan bencana akan semakin dekat dengan warga.
Apalagi, dari pengalaman empiris selama ini, kegagalan sejumlah proyek geothermal sulit diatasi secara teknis karena belum memadainya sumber daya manusia untuk meminimalisasi risiko kegagalan operasi.
Keempat, proyek yang dalam tiga tahun terakhir dikenali warga sebagai proyek yang inheren dengan disinformasi, bujuk rayu, dan intimidasi akan sangat riskan jika tetap dilanjutkan.
Apalagi keberatan dan penolakan warga kerap diabaikan melalui skema pendekatan elitis berbasis wewenang dan kekuasaan, tanpa betul-betul melibatkan mereka sebagai subyek pembangunan sekaligus pemilik hak ulayat atas tanah Wae Sano.
Pendekatan feodalistik macam ini persis terjadi pada penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang dilakukan pihak Keuskupan Ruteng dan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2 Oktober 2020, yang berujung pengiriman surat rekomendasi pihak Keuskupan Ruteng kepada Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan aktivitas proyek geothermal tersebut.
Eksistensi warga lokal yang sejak 2018 bersikeras menolak keberadaan proyek ini tak dihiraukan sama sekali dalam MoU dan surat kontroversial tersebut.
Hal ini membuat warga makin resisten, sebab bagi mereka, jargon-jargon besar pembangunan, seperti ‘pertumbuhan ekonomi’ atau ‘kesejahteraan umum’, tak akan punya arti apa-apa jika harus mengorbankan keselamatan dan keutuhan ruang hidup mereka.
Dengan ini, resistensi mereka menandai makin panjangnya cerita resistensi warga lokal di Indonesia, khususnya di Flores, terhadap korporasi ekstraktif.
Di Manggarai sendiri, hal macam ini terus berulang. Resistensi serupa sebelumnya pernah terjadi di Batu Gosok (Manggarai Barat), Tebodo (Manggarai Barat), Tumbak dan Serise (Manggarai Timur), dan terakhir di Luwuk dan Lingko Lolok (Manggarai Timur), yang polemiknya masih berlanjut sampai hari ini. Alasan mereka sama: kehadiran industri-industri ekstraktif itu membahayakan keselamatan, ruang hidup, dan tatanan sosial-ekologis mereka.
Menariknya, resistensi warga sebelumnya solid karena mendapat dukungan dari Gereja lokal, termasuk JPIC-SVD dan JPIC-OFM. Namun, dalam kasus geothermal Wae Sano, Gereja institusional Keuskupan Ruteng seakan memasuki babak antiklimaks dengan beralih ke posisi pemerintah dan perusahaan, lalu tanpa beban memunggungi warga lokal penolak geothermal.
Apakah ada spirit “Omnia in Caritate” dalam fenomena perubahan sikap itu? Sulit bagi saya menjawab pertanyaan ini, sesulit saya meninggalkan harapan bahwa ‘spirit kasih’ injili khas Gereja pada saatnya akan bekerja efektif di Wae Sano.
Stigma Negatif
Dari dinamika sosial yang berkembang hari-hari ini, resistensi warga lokal di Wae Sano acap kali diinsinuasi. Banyak stigma negatif dilekatkan kepada mereka, seperti anti-pembangunan, bodoh, minim pengetahuan, katak di bawah tempurung, dan sebagainya. Ada juga yang melontarkan tuduhan naif bahwa warga lokal penolak geothermal tersebut dihasut oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Namun, sayangnya, beragam stigma itu justru muncul dari minimnya pengetahuan konkret seputar pergulatan eksistensial dan pergumulan sosial-ekologis warga Wae Sano.
Lalu, apakah kelompok warga lokal ini anti-pembangunan? Dalam banyak kesempatan diskusi dengan para peneliti sosial, aktivis lingkungan, dan awak media, warga Wae Sano selalu memberikan jawaban benderang, bahwa mereka tak alergi dengan pembangunan, tapi juga tak akan latah menyetujui suatu skema pembangunan yang harus mengorbankan keselamatan, keutuhan ruang hidup, dan cita-cita masa depan anak cucu mereka.
Bagi warga Wae Sano, suatu pembangunan yang ideal harus bersifat holistik dan partisipatoris, dalam arti melibatkan mereka secara penuh sebagai subyek pembangunan serta mendukung keutuhan ruang hidup mereka.
Mereka tentu mendukung upaya pemerintah mempercepat pembangunan nasional, juga mendukung perluasan penggunaan energi bersih dan terbarukan, tapi untuk tujuan itu, potensi risiko yang harus mereka tanggung mesti dikalkulasi dengan cermat.
Hal ini menunjukkan, warga Wae Sano sejatinya tidak ‘anti-pembangunan’, tapi hanya menginginkan suatu model pembangunan yang adil dan holistik, yang betul-betul mendukung perkembangan mereka sebagai manusia dan sebagai subyek pembangunan itu sendiri, sebagaimana diuraikan secara mengesankan dalam banyak ajaran sosial Gereja.
Maka, stigma ‘anti-pembangunan’ terhadap mereka sama sekali tidak berdasar, bahkan cenderung menjadi sebuah hasutan baru yang memperkeruh ruang sosial kita.
Stigma macam itu, mengutip Edward W. Said (1978), adalah ciri bawaan dari “narasi besar” (grand narrative) kemajuan modern, yang bersifat teknis, instrumental, dan utilitarianistik—yang dalam sejarah terbukti bekerja di balik segala bentuk ekspansi kolonial dan eksploitasi sumber daya alam.
Namun, menariknya, sikap warga Wae Sano tetap teguh di hadapan stigma serampangan macam itu. Bagi mereka, proyek geothermal ini harus dibatalkan karena membahayakan keselamatan dan keutuhan ruang hidup mereka.
Posisi mereka diperkuat oleh rangkaian proses sosialisasi proyek selama ini, yang sarat dengan disinformasi, bujuk rayu, dan intimidasi.
Ini menunjukkan warga Wae Sano tidak bodoh, tapi justru tampil kritis dan cerdas, terutama dalam membaca tipu muslihat dan bujuk rayu perusahaan. Mereka telah belajar banyak hal penting dari kasus-kasus kegagalan proyek geothermal di tempat lain, dan karena itu, mereka tidak minim pengetahuan.
Berbasiskan pengetahuan yang memadai, didukung sejumlah pertimbangan yang masuk akal, mereka akhirnya memilih untuk tidak menuruti kepentingan-kepentingan parsial untuk keuntungan sesaat, demi memperjuangkan apa yang menurut mereka baik, adil, dan benar.
Ketegasan bersikap; keteguhan memperjuangkan apa yang diyakini sebagai yang baik, adil, dan benar; konsistensi merawat hak-hak dasar sebagai warga negara; serta keuletan menjaga keutuhan ruang hidup dan alam ciptaan Tuhan, itulah “narasi kecil” kemajuan orang Wae Sano.
Seandainya saja “narasi kecil” ini didukung secara penuh oleh Gereja Keuskupan Ruteng, dengan semangat “Omnia in Caritate” yang berkobar, beban kehidupan warga Wae Sano mungkin tak akan seberat sekarang!
Penulis aktivis Jaringan Peduli Wae Sano, Pemeluk Spiritualitas Ekologis St. Fransiskus Assisi