Oleh: Siprianus Edi Hardum
Lawyer dari “Edi Hardum and Partners”
Di tengah gencarnya berita masalah Covid-19 yang sedih dan memprihatikan, beberapa hari belakangan sebagian rakyat Indonesia terhibur dengan berita keluarga pengusaha almarhum Akidi Tio menyumbangkan Rp 2 triliun kepada Pemerintah Provinsi Sumsel (Sumsel) untuk penanggulanan Covid-19 di Sumsel.
Sebagian rakyat Indonesia termasuk penulis sejak awal belum begitu terlalu merasa senang dengan rencana pemberian sumbangan yang fantasis itu. Pasalnya, rencana itu belum terealisasi.
Kesangsian penulis ternyata benar. Senin (2/8/2021), penulis membaca berita sejumlah media online bahwa Heriyanti anak dari Akidi Tio ditangkap Polda Sumsel karena janji sumbangan itu hanya pesan kosong.
Karena itu, Gubernur Sumsel, Herman Deru geram. Ia meminta polisi menindak tegas kepada yang memberikan janji kosong itu.
Apa benar secara hukum Heriyanti harus dipidana? Ia dijerat pasal berapa dalam KUHP?
Satu-satunya Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal penipuan adalah Pasal 378. Mari simak bunyi pasal ini. “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang ataupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun“.
Unsur barangsiapa ialah Heriyanti anak dari almarhum Akidi Tio.
Apa yang diuntungkan baginya atas janji palsu yang disampaikan akan menyumbang Rp 2 triliun? Jawabannya: tidak ada !
Adakah orang lain yang diuntungkan dengan janji palsu itu? Jawabannya tidak ada!
Adakah Heriyanti Anak dari almarhum Akidi Tio menggerakkan orang lain agar menyerahkan barang kepadanya atau supaya memberi hutang (utang-red)? Jawabannya, tidak!
Dengan demikian Heriyanti anak dari Akidi Tio tidak bisa dijerat dengan Pasal 378 soal penipuan. Adakah pasal lain dalam KUHP yang bisa menjeratnya atas janji bohong itu? Menurut penulis tidak ada. Dengan demikian, ia tidak bisa dipidana.
Bisa Dijerat Perdata?
Sebelum penulis menguraikan pasal-pasal perdata soal kasus itu, terlebih dahulu penulis kemukakan kronologi kasus itu berdasarkan keterangan pihak Polda Sumsel.
Berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol Supriadi, kasus itu berawal dari komunikasi antara Hardi Darmawan yang merupakan dokter keluarga Akidi Tio di Palembang dengan Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri pada 23 Juli 2021.
Irjen Eko Indra Heri tidak mengenal Heriyanti. Ia hanya mengenal Akidi Tio dan seorang anaknya yang berada di Langsa.
Selanjutnya pada tanggal 26 Juli dilakukan penyerahan bantuan tersebut secara simbolis di Mapolda Sumsel yang dihadiri sejumlah pejabat pemerintah dan Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri.
Kapolda Irjen Eko Indra Heri saat itu mengundang sejumlah stakeholder di Sumsel sebagai bentuk transparansi. Apalagi, bantuan tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat Sumsel dalam penanganan Covid-19.
Dari cerita ini, yang digarisbawahi adalah Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri terlalu percaya Hardi Darmawan, dan Hardi Darmawan terlalu percaya kepada Heriyanti anak dari Akidi Tio.
Karena kepercayaan seperti itu, Kapolda dengan “gagah berani” menggelar acara serah terima secara simbolis uang sebesar Rp 2 triliun. Seharusnya Kapolda menggelar acara seperti itu ketika semua uang sudah “dipedangnya”.
Hukum Perjanjian
Terlepas dari kasus posisi seperti itu, komunukasi antara Hardi Darmawan dengan Heriyanti anak dari Akidi Tio dan Hardi Darmawan dengan Kapolda Irjen Eko Indra Heri serta acara penyerahan secara simbolis uang Rp 2 triliun sudah masuk ke dalam ranah hukum perikatan atau hukum perjanjian walaupun perikatan atau perjanjian itu secara lisan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi,”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
Selanjutnya Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi,”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Heriyanti anak dari Akidi Tio yang sudah menjanjikan menyalurkan bantuan Rp 2 triliun untuk korban Covid-19 di Sumsel, sudah terpenuhi dalam pasal ini.
Suatu perjanjian sah apabila memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni: (1) adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian itu; (2) adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian; (3) suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab yang halal.
Mari kita urai unsur-unsur pasal 1320 ini:
Dari kasus posisi di atas unsur yang pertama pasal 1320 ini terpenuhi yakni Heriyanti anak dari Akidi Tio sudah mengikatkan diri dengan Hardi Darmawan dengan Kapolda Irjen Eko Indra Heri serta masyarakat Indonesia umumnya untuk menyerahkan uang Rp 2 triliun.
Unsur kedua yani adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian. Belum tahu pasti Heriyanti anak dari Akidi Tio dalam keadaan sakit jiwa atau tidak. Saat ini ia sedang diperiksa di Polda Sumsel.
Tetapi kalau ia sedang sakit jiwa mengapa Hardi Darmawan dan Kapolda Irjen Eko Indra Heri peracaya begitu saja kepadanya? Saya beranggapan dan saya percaya, Heriyanti anak dari Akidi Tio dalam keadaan yang sehat jiwa dan badan. Karena itu ia diangkap cakap melaksanakan perjanjian itu.
Unsur “suatu hal tertentu”, sudah pasti yakni memberikan janji untuk membantu pemerintah atasi Covid-19 dengan uang Rp 2 triliun.
Unsur “Suatu Sebab yang Halal” artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, agama dan norma-normal sosial. Uang hasil jerih payah dari almarhum Akidi Tio yang bukan merupakan hasil dari perdagangan narkoba atau yang bertentangan dengan Undang-undang tentulah halal.
Karena itu, perjanjian tersebut di atas merupakan sah mernuruh Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Sebuah perjanjian wajib dilaksanakan. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi,”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Pasal ini menegaskan bahwa sebuah perjanjian harus dipernuhi karena merupakan Undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian yang bersangkutan.
Untuk itu, bagi penulis, Heriyanti anak dari Akidi Tio sudah melakukan ingkar janji atau wanprestasi.
Karena itu, ia dijerat dengan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi,”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Jadi ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsur, yaitu ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat kelalaian debitor dan bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya, bunga yang berjalan selama piutang terlambat dilunasi.
Dari kasus di atas, kerugian yang harus diganti Heriyanti anak dari Akidi Tio pengeluaran ketika diadakan acara serah terima uang Rp 2 triliun secara simbolis, uang transpor para pejabat dan semua pihak menghadiri acara serah terima uang Rp 2 triliun secara simbolis itu. Selain itu, kerugian immateril akibat janji palsu yang disampaikannya.
Secara hukum penetapan kerugian seperti ini haruslah ditetapkan oleh putusan hakim di pengadilan, kecuali kalau Heriyanti anak dari Akidi Tio secara sukarela menyerahkan ganti rugi baik materil maupun immateril. Ayo silahkan Gubernur Sumsel melakukan gugat perdata terhadap Heriyanti anak dari Akidi Tio supaya tidak ada lagi manusia seperti dia ke depan, memberikan janji palsu!