Oleh: Fancy Ballo
Mahasiswa Filsafat Semester VII
Sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan peluh dan air mata telah berubah menjadi darah, Hobotopo masih berumah di atas ketidakpastian.
Makanan yang manis dan teguk air yang sejuk kini berubah menjadi pahit dan bahkan hambar bagai sepah.
Kasih dan cinta yang disulam oleh para leluhur dahulu dengan damai, kini menjadi ganas dan beringas bagai singa yang siap memangsa.
Hobotopo dengan segudang ratapan, antara hati yang menagih dan jiwa yang ingin berlindung.
Namun, kepada siapa? Semoga kau mendengarkan elegi kaumku, dan kalau boleh izinkan aku mengoyakkan dudukmu yang anggun.
Kepada yang terhormat.
Bapak penguasa kami.
Bersama ini, saya titipkan elegi Hobotopo, sebuah kampung yang diacuh untuk dibangun. Kampung yang dipandang antara ada dan tiada.
”Sebelum lebih lanjut, tidak lupa saya mengucapkan terima kasih untuk perhatianmu yang sudah memberikan kami jalan raya dan beberapa bangunan perumahan. Dan mungkin juga air bersih yang kini sudah masuk di setiap rumah.”
Terima kasih pak, kalau dilihat kini Hobotopo sudah sedikit punya wajah baru dalam potret visi-misimu. Tapi, mungkin itu cukup menghibur. Bapak perlu tahu juga elegi yang paling meresahkan bagi kaumku kini.
Hobotopo butuh kepastian hukum pak atas tanah perumahan dan kebun ladang yang menghidupi mereka sampai saat ini. Rakyat masih trauma pak dengan kebun sawah yang dirampas paksa, juga urusan perkara yang tak berkeadilan dan hilang di meja jaksa.
Kiranya itu yang paling urgen saat ini menjadi perhatian bapak karena sesaat lagi bapak akan meresmikan bendungan untuk saluran irigasi Hobotopo. Dengan itu, apa bila kepastian hukum atas tanah bagi kaumku belum terjamin, maka akan ke mana rakyatmu pak,bila orang-orang dengan dada baja datang merampas?
Selain itu, kini dunia kita sedang dilanda bencana besar Covid-19. Generasi muda kami yang berada di bangku Sekolah Dasar dan Menengah mau tidak mau dipaksakan untuk belajar atau sekolah secara daring. Anak-anak kami kesulitan pak mengisi daya bagi sarana elektronik untuk pembelajaran yang harus mereka ikuti. Hobotopo butuh listrik PLN pak.
Demikian elegi kaumku ditengah hiruk-pikuk perlombaan peradaban menuju dunia industri 4.0, juga perlahan menjadi 5.0 ini. Belaskasihan bapak sangat kami nantikan.
Saya menyalurkan elegi kaumku dari dunia rantau yang jauh. Menatap dengan air mata untuk derita panjang yang tak kunjung usai. Saya titipkan pesan ini kepada ruang rapatmu yang megah. Dari sini mungkin ketika pulang kampung, saya tidak lagi melihat dan mendegarkan lagu ratapan lama ini.
Salam kami untukmu.
Hobotopo menyandang predikat kaum yang terbuang sejak lahirnya. Wajah polos dan sederhana yang berjuang dengan peluh dan darah membentuk ladang dan sawah, kini seolah tak dihiraukan.
Senyum bahagia dan tawa canda dari anak-anak kampung dahulu yang indah, kini pelik menghiasi wajah kampung yang muram.
Saya baru menyelesaikan liburanku, beberapa pekan lalu setelah kurang lebih satu bulan di kampung Hobotopo.
Hidup bersama masyarakat kecil dan sederhana rupanya tidak ada hal yang perlu dikuatirkan dan ditakuti.
Mereka selalu menyambut dengan tulus dan melayani sejauh apa yang mereka mampu untuk membuat tamu nyaman dan merasa dihargai.
Kekurangan apa pun yang dialami dalam rumah bagi keluarga mereka, akan diupayakan agar tidak dialami oleh tamu mereka.
Mungkin bisa dipikir sedikit memaksa, tetapi itulah kebahagiaan mereka.
Warna hari-hari liburanku berbaur menjadi abu-abu antara yang menyenangkan dan yang meresahkan.
Di sela bincang canda dan berbagi pengalaman, mereka sisipkan ratapan dengan penuh harapan untuk hidup darah daging mereka yang kian terancam jauh dari kenyamanan dan damai.
Dahulu, orang-orang di kampung ini walaupun masih dibilang primitif, hidup mereka sangat berkecukupan.
Mereka masih punya satu- dua lahan sawah untuk digarap hasilnya untuk berbagai kebutuhan keluarga.
Namun, sekarang karung-karung berisi padi yang menjadi kekuatan hidup mereka telah hilang dicuri.
Mengapa itu menjadi kekuatandan bagi pemenuhan hidup mereka? Karena salah satu mata pencaharian terbesar di wilayah itu adalah beras padi yang diperoleh dari olahan lahan sawah yang mereka punya.
Kini nasib kampung Hobotopo, bagai telur di atas ujung tanduk yang tinggal tunggu saatnya untuk jatuh dan menghilang apabila Negara tidak memberi perhatian yang serius.
Elegi kampung Hobotopo, selain terbelit dengan berbagai persoalan yang rumit soal tata ruang wilayah antara adat dan pemerintahan, juga dibaca secara politis.
Keterbuangan Hobotopo dari perhatian penguasa karena tidak mempunyai kontribusi politik yang cukup untuk menopang kursi kuasa yang berkuasa.
Sehingga, Hobotopo dipandang sebelah mata atara ada dan tiada, yang penting wajib pungut pajak.
Nasib sebuauh kampung kecil. Hobotopo menanti jamahan keadilan. Berpayung di bawah Garuda kekuasaan Pemerintahan Kabupaten Ngada yang diacung jempol pada bidang tata kelola pembangunan oleh tetangga-tetangganya, terselubung Hobotopo sebuah kampung kecil merindu kasih.
Pengakuan akan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan yang membawa manusia keluar dari tubir nasib, seakan tidak berlaku bagi Hobotopo.
Tanpa sentuhan kasih, keadilan, dan kesejahteraan dari penguasa, Hobotopo masih berkubang di bawah nasib.
Mereka bukan orang-orang diam, tetapi negara terlalu bising untuk bisa mendengarkan jeritan mereka.
Tidak bisa disangkal bahwa negara lebih bersimpati pada orang-orang berdasi yang pandai memanipulasi, ketimbang suara hati orang-orang kecil yang menagih.
Akhirnya semoga elegi keresahan kaumku hari ini tidak berakhir pada kotak-kotak sampah para penguasa, tetapi disimpan bagi buah pikir untuk kerja yang lebih proporsional.