Oleh: Beny Daga
Advokat & Konsultan Hukum – Jakarta
Hari – hari ini publik Nagekeo kembali disuguhi pemberitaan tentang penggusuran dan revitalisasi pasar Danga oleh Pemda Nagekeo melalui Dinas Koperindag.
Ihwal pembongkaran dan pengerjaan tersebut diklaim sejalan dengan program kerja Bupati Nagekeo Yohanes Don Bosco Do yang ingin menata ulang Pasar Danga menjadi pasar yang modern, bersih dan ramah pengunjung.
Melalui Dinas Koperindag, pembongkaran terhadap ke – 4 bangunan gedung di lokasi pasar tersebut menuai beragam kontroversi dan protes, bukan hanya di kalangan masyarakat umum, LSM, tetapi juga organisasi mahasiswa dan ormas lokal. Protes terutama karena dinilai cacat hukum dan tidak prosedural.
Ujungnya, sejak itu Bupati Don pun bertemu DPRD Nagekeo untuk memberi klarifikasi perihal pembongkaran dan penataan pasar tersebut.
DPRD ingin meminta penjelasan Bupati Don terkait sumber pembiayaan yang dipakai untuk membongkar dan merevitalisasi Pasar Danga.
Di tengah simpang siur soal sumber pembiayaan, Kadis Koperindag Nagekeo, Gaspar Djawa, dipanggil oleh penyidik Tipikor Polres Ngada guna dimintai keterangan terkait rincihan proses pengerjaan pasar yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana kerja Organisasi Perangkat Daerah (Renja OPD), dan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS).
Saat itu, alasan pemanggilan penyidik Tipikor Polres Ngada, diduga karena proses pembongkaran dan penataan Pasar Danga yang di atasnya terdapat aset negara/daerah tidak tercatat dan tidak diatur dalam nomenklatur pembahasan APBD Nagekeo tahun anggaran 2019.
Bak bola panas, ujung dari pemanggilan Gaspar Djawa selaku Kadis Koperindag Nagekeo saat itu oleh unit Tipikor Polres Ngada telah memicu saling lemparnya kesalahan pada kasus penataan Pasar Danga ini, hingga menimbulkan banyak spekulasi di ruang publik.
Spekulasi terutama soal proses pembongkaran ke – 4 gedung di area pasar yang hemat saya jika bangunan atau gedung yang dirobohkan itu telah tercatat sebagai aset negara/daerah harusnya melalui proses lelang terlebih dahulu. Apapun keputusan dan hasil lelang tetap sesuai perintah Undang – undang.
Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus melewati tahapan lelang karena pengelolaan pasar dan bangunan yang dirobohkan itu adalah aset negara/daerah.
Termasuk perintah Bupati Nagekeo, yang tingkatannya setara dengan instruksi resmi bersifat tertulis melalui mekanisme penerbitkan instruksi bupati atau peraturan bupati untuk urusan kebijakan publik dan yang paling penting adalah soal anggaran untuk pembiayaan pembongkaran dan penataan pasar tersebut harus diperjelas.
Apakah pembiayaannya berasal dari APBD atau pembiayaannya melalui pihak ke -3 dalam hal ini melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
Bupati berkilah bahwa biaya tersebut berasal dari kantong pribadi (dikutip dari beberapa portal online daerah) sekalipun belakangan dianulir bahwa pembiayaan berasal dari dana pihak ke – 3 atau CSR setelah selesai rapat bersama DPRD.
Sementara Gaspar Djawa tetap berkukuh bahwa perintah pembongkaran ke – 4 gedung dalam area pasar Danga dan proses revitalisasinya merupakan perintah bupati secara lisan usai menggelar apel.
Andaikan saja, bahwa benar pembiayaannya melalui pihak ke – 3 atau CSR itu ada, apakah pembiayaan melalui CSR mutlak hak ‘veto’ bupati Don?.
Proses pembongkaran terhadap ke – 4 gedung di area Pasar Danga yang tercatat sebagai aset negara/daerah oleh Dinas Koperindag tanpa melalui lelang, bisakah dijerat pidana korupsi oleh Tipikor pada Polres Ngada?
Mari kita membahasnya agar publik menjadi melek hukum karena di atas segalanya, kita memiliki tanggung jawab edukasi untuk masyarakat agar tidak hanya menjadi ‘penikmat buta’ atas terhadap semua kebijakan yang ‘berbaju’ *demi kesejahteraan rakyat.*
Saya mulai dari pertanyaan terakhir,
Pembongkaran terhadap ke – 4 gedung di area Pasar Danga tercatat sebagai aset negara/daerah oleh Dinas Koperindag tanpa melalui lelang, bisakah dijerat pidana korupsi?
Proses pembongkaran dan penataan Pasar Danga jika tidak masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Organisasi Perangkat Daerah (Renja OPD), dan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran atau dalam nomenklatur APBD Nagekeo 2019, maka proses tersebut cacat hukum dan berpotensi untuk dinaikan statusnya ke tingkat penyidikan yang pro justisia oleh Polres Nagekeo.
Bagian yang paling kuat sebagai bukti adanya dugaan tindak pidana korupsi bisa digali oleh penyidik dari Kadis Gaspar Djawa soal ke – 4 gedung dalam area pasar yang dirobohkan itu tanpa melalui proses lelang.
Penyidik bisa ‘mengejar’ Gaspar dan pihak penilai aset daerah atau dinas yang berurusan dengan aset negara/daerah melalui dasar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Apakah kualifikasi Pasal 48 ayat (1), yaitu penjualan barang milik negara/daerah dilakukan dengan lelang kecuali dalam hal-hal tertentu telah dilakukan oleh Kadis Gaspar dengan benar (jika proses itu ada sebelum dirobohkan).
Penyidik juga bisa memintai keterangan Kadis Gaspar dan pihak terkait urusan aset negara/daerah perihal proses tersebut sudah sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana dalam Pasal 51 ayat (2) & (3) beserta penjelasannya sebagaimana telah diubah dalam PP Nomor 38 Tahun 2008.
Kalau kita mengikuti berbagai berita yang menyeruak ke publik Nagekeo maka kita bisa menemukan banyak kelemahan soal regulasi dalam hal tata kelola lelang aset negara/daerah yang banyak dilakukan langsung (bypass)
Khusus untuk pembongkaran ke – 4 gedung sebagai aset negara/daerah yang terletak dalam area Pasar Danga harus ditelisik lebih serius oleh penyidik Tipikor Polres Nagekeo.
Sebab, hingga hari ini bukan hanya persoalan pada ke – 4 gedung dalam area Pasar Danga saja tetapi masih ada bangunan lain yang dirobohkan atau bangunan lain yang tidak layak fungsi atau tidak beroperasi tetapi masih tercatat sebagai aset negara/daerah Kabupaten Nagekeo yang proses konstruksinya juga menggunakan biaya negara.
Misalnya, pembongkaran plat duker di belakang pada proyek pembangunan saluran pengarah air di BPBD Nagekeo dan pembongkaran bangunan Puskesmas Jawakisa, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo beberapa waktu lalu.
Kusus pada soal Pasar Danga ini penyidik harus lebih jeli, soal aset negara/daerah yang dirobohkan Pemda melalui Dinas Koperindag.
Apakah aset yang telah dirobohkan tersebut bisa dilakukan tanpa proses lelang, atau hanya memakai alasan penilai tim pencatatan aset daerah dan dinas terkait dalam hal ini Dinas Koperindag, yang menyebut kalau aset tersebut telah terbengkalai dan usianya telah mencapai 30 tahun kemudian bisa langsung dirobohkan?
Penyidik harus menarik persesuaian antara keterangan Kadis Gaspar, dan tim penilai aset daerah jika ada dalam kaitan dengan diktum dalam Pasal 48 ayat (1) daripada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaraan Negara dengan proses yang terjadi di pasar Danga tersebut.
Pemda melalui Dinas Koperindag Nagekeo harus bisa menjelaskan dasar hukum apa yang diapakai untuk merobohkan aset negara/daerah kepada penyidik, karena bila mengacu pada aturan dan Undang – undang yang berlaku, maka ke – 4 bangun yang dirobohkan bukanlah bagian dari BMD YANG BERSIFAT KHUSUS seperti rumah daerah golongan III dan kendaraan dinas pejabat negara yang walaupun tercatat sebagai aset negara/daerah tetapi tidak wajib masuk dalam kelompok lelang sebagaimana diatur dalam pasal 48 ayat (1) tersebut, yaitu penjualan barang milik negara/daerah dilakukan dengan lelang KECUALI DALAM HAL – HAL TERTENTU, sementara gedung sebagai aset negara/daerah adalah pengecualian dalam hal tertentu sesuai diktum dalam pasal 48 ayat (1) tersebut.
Merobohkan ke – 4 bangunan dalam area pasar yang tercatat sebagai aset negara/daerah tanpa proses lelang bisa memenuhi unsur kerugian negara/daerah. Logika hukumnya seperti itu.
Apalagi ke – 4 bangunan yang dirobohkan dibangun menggunakan uang negara tentunya proses dan tahapan yang dilalui tidak cukup hanya dangan alasan bahwa itu adalah bangunan tua dan tidak terurus dan berdasarkan penilaian tim penilai aset daerah juga dinas terkait tetapi haruslah melalui tahap yang layak dan diatur konstitusi guna menghindari masalah hukum di kemudian hari.
Bupati Don dan Kadis Gaspar semestinya mengikuti semua prosedur dalam pembongkaran pasar meski tujuannya untuk merevitalisasi.
Kebijakan revitalisasi pasar juga tidak boleh melangkahi Undang – undang dan aturan soal aset negara/daerah dimana secara jelas dan tegas telah diatur dalam Undang – undang perbendaharaan negara.
Apalagi Nagekeo punya pengalaman buruk dari setiap pemimpinnya karena banyak mewarisi aset daerah yang tidak tuntas diselesaikan dan beberapa di antaranya masih diproses secara hukum.
Penyidik Tipikor Polres Nageko punya kewenangan untuk meminta Bupati Don dan Kadis Gaspar melalui Dinas Koperindag menjelaskan secara tepat soal Pasar Danga tersebut karena setiap penjualan BMD (jika itu ada dan dilakukan) harus melalui lelang di hadapan pejabat lelang KPKNL.
Selain itu, penjualan melalui lelang lebih banyak memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah (Pemda), antara lain dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), mempunyai kepastian hukum, memenuhi asas transparansi dan akuntabel.
Kelebihan lelang lainnya adalah objektif, karena dilaksanakan di muka umum di mana hak dan kewajiban di antara peserta lelang sama, kompetitif karena memiliki cara penawaran yang khas sehingga tercipta kompetisi dan harga yang optimal, built in control karena dilakukan di bawah pengawasan umum dengan adanya pengumuman lelang, serta otentik.
Sebab, dalam setiap pelaksanaan lelang dibuat risalah lelang sebagai berita acara yang otentik dan alat bukti yang sempurna serta dapat digunakan langsung untuk balik nama jika aset yang oleh Pemda Nagekeo dilelang tersebut berhasil dilakukan, tidak perlu akta jual beli yang dibuat oleh notaris/pejabat pembuat akta tanah.
Jika tahapan ini tidak dilalui maka publik juga tidak bisa disalahkan atas setiap sikap kritis demi tercapainya pemerintahan yang bersih dan bermartabat.
Melalui proses penyidikan atas dugaan kerugian keuangan negara/daerah oleh Koperindag Nagekeo atau pihak lainnya yang memiliki keterikatan dengan persoalan Pasar Danga akan memberikan warna baru pada wajah pemerintahan kita yang kuat, kokoh dan dapat dipercaya sehingga cita – cita kita akan lahirnya pemerintah yang good governance dapat tercapai.
Penyidik Tipikor Polres Nagekeo perlu juga memeriksa Kepala Badan Pengelolah Keuangan dan Aset Daerah atau Tim Penilai Aset Daerah atau apapun itu namanya yang pada saat itu terlibat langsung maupun tak langsung dalam kegiatan pembongkaran 4 unit bangunan pasar.
Hal itu agar segera menghimpun dan atau mengumpul bukti/keterangan (Pulbaket) di tingkat penyididkan sehingga dapat ditarik singkronisasi keterangan Bupati Don dan Kadis Gaspar Djawa mengenai proses pembiayaan (jika ada) pembongkaran dan revitalisasi Pasar Danga yang telah menyita perhatian publik.
Penyidik bisa mamakai Pasal 12 huruf (i) UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahaan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 48 ayat (1) daripada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaraan Negara dengan proses yang terjadi di Pasar Danga tersebut terkait dugaan pembongkaran atas ke – 4 bangunan aset derah tersebut.
Penting bagi penyidik untuk mengejar keterangan dari setiap pejabat terkait perihal dugaan proses lelang aset negara/daerah yang terindikasi cacat hukum dan cacat prosedur/cacat administrasi.
Menjawabi pertanyaan berikut terkait pembongkaran ke – 4 bangunan di area Pasar Danga yang tercatat sebagai aset negara/daerah.
Katakan benar bahwa pembiayaan melalui pihak ke – 3 atau CSR itu ada, apakah pembiayaan melalui CSR mutlak ‘veto’ Bupati Don?
Lagi – lagi pembiayaan melalui CSR mempunyai regulasi yang panjang dan catatan pentingnya bahwa ‘veto’ bupati atau kepala daerah haruslah tetap tunduk pada peraturan yang ada, baik itu setingkat Undang – undang atau setara perda yang dibuat dan disepakati oleh DPRD dan bupati.
Biar kita tidak mengandai – andai kita punya hak untuk bertanya langsung kepada DPRD sebagai corong aspirasi kita.
Apakah ada perda soal CSR itu? Kalau tidak maka instruksi bupati atau peraturan bupati menjadi bentuk ‘veto’ yang memiliki legal standing dari Bupati Don haruslah dijalankan karena bersifat final dan prosedural dengan pengertian belum atau tidak adanya perda soal CSR sebelumnya yang dibuat, maka kewenangan pejabat birokrasi setingkat kepala daerah mempunyai hak untuk menerbitkan Perbup (Peraturan bupati) untuk mengesekusi urusan CSR tersebut apabila dipandang penting dan sangat urgen dilaksanakan demi kepentingan umum.
Instruksi formil menjadi sangat penting agar Bupati Don, Kadis Gaspar dan dinas lainnya yang berurusan dengan aset negara/daerah tidak mengangkangi perintah konstitusi soal penggusuran atau revitalisasi Pasar Danga yang di atasnya terdapat aset negara/daerah tersebut.
Kalau dasar Perbup ini dimiliki, maka tidak ada alasan lain selain dijalankannya ‘veto’ Bupati Don oleh Kadis Gaspar dan jajarannya.
Lain soal jika pernyataan Kadis Gaspar yang disampaikan kepada penyidik Tipikor Polres Nngada soal perintah lisan Bupati Don untuk merevitalisasi pasar jadi dasar merobohkan ke-4 bangunan di area pasar sebagai aset negara/daerah, maka tidak ada alasan lain bagi penyidik untuk mengejar dengan detail keterangan itu.
Kemudian pernyataan Bupati Don juga menarik soal pembiayaan menggunakan dana pribadi yang akhirnya dikoreksi lagi, bahwa ada dana pihak ke – 3 atau CSR maka penyidik wajib untuk mengetahui seluruh proses perolehan dan pembiayaan dan perusahaan atau pihak ke – 3 yang menggelontorkan dana CSR berapapun besarnya untuk program revitalisasi Pasar Danga tersebut. Apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang – undangan soal eksekusi dana CSR tersebut.
Ada beberapa aturan yang harus disadari oleh Bupati Don dan jajarannya dalam hal pengelolaan dana CSR sehingga tidak menimbulkan persepsi dan kegaduan di tengah masyarakat, apalagi persoalan aset negara/daerah yang mangrak di Kabupaten Nagekeo cukup banyak.
Bupati Don dan dinas terkait yang mengelola aset negara/daerah untuk menambah dan meningkatkan perolehan PAD tidak boleh melihat pembiayaan dari CSR adalah hal mudah.
Beberapa regulasi yang menjadi dasar oleh Bupati Don soal sumber dana dari CSR untuk program revitalisasi Pasar Danga haruslah tetap mempertimbangkan ke – 4 (Empat) peraturan yang mengatur CSR berdasarkan jenis usaha yang berbeda, antara lain:
Pertama, Permen BUMN No: Per-05/MBU/2007, mengenai Program Kemitraan (PK) Pasal 1 ayat (6) tentang bantuan terhadap peningkatan usaha kecil, dan Pasal 1 ayat (7) mengenai Program Bina Lingkungan (BL), meliputi bantuan terhadap korban bencana alam, pendidikan atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana umum, bantuan sarana ibadah, dan bantuan pelestarian alam.
Kedua, UU No. 40 Tahun 2007, Pasal 74 ayat (1) “Tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan dengan SDA”, ayat (2) “Perhitungan biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat (3) mengenai sanksi, dan ayat (4) mengenai aturan lanjutan.
Ketiga, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, Pasal 15 (b) ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”.
Keempat, Peraturan bagi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi, sesuai UU No 22 Tahun 2001, Pasal 13 ayat 3 (p) tentang ketentuan pokok ”Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”
Standar- standar inilah yang saya kira harus dipakai oleh Bupati Don kepada setiap SKPD-nya dalam hal tata kelola pembiayaan melalui dana CSR. Apalagi dana CSR baru sedikit terang diketahui usai Bupati Don bertemu DPRD.
Pemanggilan Bupati Don oleh DPRD penting untuk dipahami publik bahwa tidak serta merta urusan CSR dialokasi sesuka hati tetapi perlu ada penataan yang baik, transparan, bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Di satu sisi revitalisasi fasilitas publik yang tercatat sebagai aset negara/daerah oleh Bupati Don di wilayah Nagekeo sebagai sebuah catatan serius untuk DPRD agar sesegera mungkin bersama Pemda membuat perda khusus soal CSR, jika Nagekeo belum memiliki perda soal CSR ini.
Peraturan daerah (Perda) CSR merupakan bagian dari fenomena implementasi otonomi daerah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting diterbitkannya Perda CSR jika DPRD dan bupati tidak memiliki pemahaman yang searah dalam hal eksekusi pembiayaan pembangunan infrastruktur atau SDM melalui dana pihak ke – 3 atau CSR ini jika CSR tersedia?
Pamungkasnya, ada beberapa catatan yang akan menjadi evalusi dan masukan dari saya secara pribadi sebagai warga Nagekeo di perantauan untuk kebaikan Nagekeo ke depannya :
Pertama: Adalah menjadi penting kedepannya bupati Don melalui Kepala Badan Pengelolah Keuangan dan Aset Daerah bisa berkoordinasi dengan setiap dinas di SKPD Nagekeo untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana kerja Organisasi Perangkat Daerah (Renja OPD), Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran atau dalam nomenklatur APBD yang mengatur soal pengelolaan aset negara/daerah dari masing – masing SKPD untuk menggenjot PAD Nagekeo dan mendata aset di setiap dinas.
Kedua: DPRD Nagekeo tidak hanya duduk kemudian mengkritisi kerja birokrasi dan memakai fungsi kontrol sebagai alat untuk mengejar dan mengukur keterbatasan dan keterlambatan eksekutif dalam kerja – kerja publik.
DPRD sesegera mungkin menerjemahkan fungsi legislasi dalam kerja – kerja dewan, sehingga ada standar dan produk hukum yang bisa dipakai sebagai rujukan bagi pemda dalam hal mengeksekusi program – program yang bersentuhan dengan kepentingan publik.
Apalagi rapor dan kinerja DPRD Nagekeo hingga hari ini masih banyak juga yang dikeluhkan oleh lapisan masyarakat, mulai dari fungsi legislasi, fungsi kontrol/pengawasan dan fungsi anggaran/ budgeting banyak yang offside.
Sebagian publik Negekeo juga perlu mempertanyakan, berapa banyak perda pro rakyat yang sudah berhasil dibuat oleh DPRD.
Kemudian DPRD Nagekeo perlu juga untuk mem-publish berapa banyak dalam setahun ranperda yang dibahas dan berapa banyak yang sudah disahkan kemudian dari perda – perda tersebut betul – betul sesuai dengan kebijakan publik?
Kalau kita amati dari tahun ke tahun, setidaknya sepengetahuan saya secara pribadi DPRD Nagekeo baru membuat beberapa rancangan perda terkecuali ada perda – perda baru yang belum diumumkan ke publik, kita lihat atau bandingkan 2 (Dua) tahun ke belakang atau sejak tahun 2017 DPRD hanya punya raperda Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Ini pun output-nya belum berhasil menekan tenaga kerja asal Nagekeo yang dalam tahun ini beberapa kali masuk sebagai korban human trafficking dalam dan luar negeri.
Ranperda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Ini juga tidak pernah diumumkan ke publik wujudnya seperti apa, ranperda tentang Disabilitas (kelompok orang dengan kebutuhan khusus), dan raperda tentang Perushaan Daerah.
Selanjutnya tahun 2018 terendus publik, DPRD Nagekeo hanya punya 2 (Dua) ranperda masing – masing ranperda tentang Perangkat Desa dan ranperda tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Tidak salah kalau kemudian publik menaruh keraguan atas kualitas anggota DPRD Nagekeo belakangan ini.
Kita berandai – andai kalau ranperda yang akan diketok menjadi perda nantinya lebih menyentuh aspek publik dan kesejahteraan masyarakat, bukan perda asal jadi.
Karena kalau demikian bukan hal baru kalau DPRD tidak menguasai kinerjanya sendiri seperti penilain publik selama ini.
Ketiga: DPRD dan Pemda sebisa mungkin merancang dan membuat raperda khusus soal CSR dan pengelolaan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dengan mendata berapa banyak perusahaan swasta yang melakukan investasi di daerah.
Hal tersebut agar tidak timbul persoalan seperti saat ini perihal revitalisasi Pasar Danga yang menurut keterangan Bupati Don menggunakan dana pihak ke – 3 atau pembiayaan melalui CSR.
DPRD dan Pemda harus serius soal ranperda CSR ini agar ke depannya ada jaminan dan kepastian hukum untuk perusahaan swasta yang mau berinvestasi di Nagekeo dan kewajiban dalam hal penyaluran dana CSR.
Di Nagekeo saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya tetapi prosesnya masih bersifat charity (bantuan atau amal) dan dampaknya hanya bersifat sementara, tidak berefek lanjut dalam jangka waktu yang panjang sesuai peraturan.
Oleh karenanya, Pemda dan DPRD harus memodifikasi (kalau sebelumnya urusan CSR ini sudah ada tetapi masih bersifat charity atau bantuan/amal urusan CSR ini lewat perda khusus.
CSR bukan lagi sebatas charity (bantuan atau amal) tetapi bergeser pada program berkelanjutan yang lebih bernilai dan bisa mendukung pembangunan daerah baik SDM masyarakatnya atau hal – hal umum bersifat infrastruktur, fasos/fasum.
Sekali lagi, DPRD dan Pemda harus bisa menggagas peraturan daerah yang mengatur soal CSR secara detail agar tanggung jawab sosial perusahaan menjadi jelas.
DPRD dan Pemda harus meyakinkan perusahaan swasta lewat perda CSR nanti agar ada komitmen perusahaan untuk bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan terhadap dampak yang timbul akibat beroperasinya perusahaan swasta tersebut di wilayah Nagekeo.
Perda yang digagas haruslah berorientasi pada kebijakan publik, bila sebelumnya perusahaan hanya memperhatikan keuntungan (profit) di lokasi investasi.
Ke depan perusahaan juga harus memperhatikan masyarakat dan lingkungan di mana mereka melakukan investasi melalui program – program CSR yang ada pada setiap perusahaan.
DPRD dan Pemda – lah yang memiliki peran untuk menerapkan regulasi berstandar lokal untuk persoalan CSR ini dengan perusahaan – perusahaan swasta yang ada dan melakukan giat investasi di Nagekeo, sehingga tidak ada saling lempar kesalahan seperti saat ini yang bisa kita jumpai.
Salah satu implementasi konsep ranperda atau perda CSR oleh Pemda dan DPRD adalah dengan menjalankan program community development/ pengembangan masyarakat.
Biaya pembangunan yang nanti bertumpuh pada CSR dari perusahaan pemberi dana CSR tidak hanya berorientasi pada pembangunan infrastruktur, fasos/fasum tetapi DPRD dan Pemda harus mampu menggagas perda yang membantu kegiatan pengembangan masyarakat secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial ekonomi dan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Nagekeo di sekitar perusahaan swasta yang melakukan investasi tersebut dengan cara – cara peningkatan SDM – nya.