Oleh: Yohanes A. Loni
“Kita mendirikan negara Indonesia …semua buat semua! Bukan Kristen bukan Indonesia, bukan Islam buat Indonesia,..tetapi negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!” (Soekarno)
Sudah bertahun-tahun bangsa Indonesia mengalami krisis multidimensi. Dari hari ke hari situasi terus saja mengarah kepada kondisi yang memprihatinkan.
Krisis ekonomi yang sedang menghebat ternyata juga disertai dengan krisis kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sana-sini terdapat berbagai pergolakan yang mengancam kehidupan bersama.
Bahkan di tengah kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah seringkali menjadi polemik di tengah masyarakat.
Kita juga dihadapkan dengan situasi politik yang kian hari kian memburuk. Tingkah laku para pelaku politik terus menghiasai berbagai media komunikasi di tengah PPKM.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang amat berbeda jauh dengan pemerintahan masa lampau. Mereka kian hari kian berani untuk mengambil sikap yang berseberangan dengan pihak pemerintah.
Partai-partai juga semakin aktif melalakukan aneka manuver politik. Tetapi anehnya semua ini tidak membawa bangsa Indonesia kepada situasi yang semakin membaik.
Sebaliknya, yang terjadi di era pandemi saat ini adalah saling tuduh, saling hujat, saling jegal, dan seterusnya.
Pertanyaan yang kemudian mengusik segenap warga bangsa adalah, “Apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupan politik di Indonesia? Dan Kemerdekaan itu milik milik siapa? ”
Memperingati Hari Kemerdekaan ke-76 tahun sekarang ini semestinya direnungkan substansinya secara mendalam. Perenungan itu juga diperlukan karena reformasi juga telah berjalan 20 tahun lebih.
Namun, apakah masyarakat sungguh merdeka? Saya kira, kita semua sepakat bahwa hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum merasakan kemerdekaan itu.
Dulu, sebelum merdeka tahun 1945, masyarakat menderita karena dijajah oleh Jepang dan Belanda.
Namun kini, masyarakat menderita karena dijajah oleh orang-orang yang kuat secara ekonomi dan juga karena ketidakpedulian pemerintah. Pemerintah seringkali tidak berpihak pada masyarakat.
Faktanya, ribuan dan bahkan jutaan rakyat di tengah kebijakan PPKM banyak yang masih melarat dan kesulitan untuk mendapatkan makanan. Baik masyarakat yang berada di pedesaan maupun yang ada di perkotaan.
Banyak anak yang putus sekolah karena kondisi ekonomi keluarga tidak memadai. Masih banyak orang yang menjadi korban penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kuat.
Kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak usia dini masih kerap terjadi. Aksi bunuh diri masih sering diberitakan di media-media online. Eksplotasi anak di bawah umur masih terjadi. Kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya masih terbuka lebar. Dan masih banyak persoalan kemanusiaan lainnya.
Lantas, kita semua bertanya: itu semua salah siapa? Apakah salah pemerintah? Atau barangkali kesalahan dan kelemahan masyarakat itu sendiri?
Kita perlu melihat secara obyektif terhadap persoalan-persoalan tersebut. Sebab, tidak realistis juga kalau semua persoalan yang dialami oleh seluruh masyarakat di negeri ini, menjadi tanggung jawab pemerintah.
Saya kira, pemerintah tak cukup waktu untuk menyelesaikan semua masalah pokok yang dialami masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Benar bahwa pemerintah adalah aktor perubahan bagi masyakarat. Tapi, menurut hemat penulis, masyarakat juga harus aktif dalam menyambut perubahan tersebut. Dalam arti, masyarakat harus bekerja dan berjuang untuk mendapatkan ksejahteraan yang diimpikannya.
Tidak bisa kalau masyarakat dari Sabang sampai Merauke, hanya menunggu dan menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Sosial (Bansos) yang diberikan oleh pemerintah Padang masa PPKM di pandemi Covid-19 ini.
Harus ada kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah juga harus bekerja keras untuk kebahagiaan masyarakat.
Pemerintah harus bergerak ke bawah. Bertemu langsung dengan masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, yakni blusukan.
Kembali ke pertanyaan awal, kemerdekaan itu sesunggunya milik siapa? Menurut penulis, kemerdekaan itu milik pemerintah dan kaum-kaum borjuis. Bukan milik masyarakat.
Kemerdekaan hanya dirasakan oleh partai-partai politik dan para politisi yang selalu ambisius dalam merebut kursi-kursi kekuasaan.
Kemerdekaan itu adalah milik para para artis yang selalu disorak sorai ketika tampil dan bernyanyi di depan panggung publik.
Meskipun merayakan kemerdekaan RI Tercinta yang ke-76 ini, namun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia masih merasakan adanya ketidakadilan, kemiskinan, dan direndahkan harkat dan martabatnya.
Beragam ketidakadilan dan rendahnya harkat serta martabat masih dirasakan warga bangsa.
Bahkan krisis ekonomi yang sedang terjadi saat ini diharapkan dapat menjadi momentum yang baik bagi segenap warga bangsa untuk menengok kembali sistem hidup bersama yang sudah ada, termasuk kehidupan politik.
Oleh karena itu, tekad untuk melakukan reformasi di segala bidang pun mulai digulirkan. Akan tetapi apa yang terjadi?
Jumlah orang miskin semakin menggila, pejabat tetap saja bertindak sewenang-wenang, DPR/MPR juga dirasakan semakin tidak aspiratif, partai-partai politik pun dilakukan tanpa etika.
Mental penjilat, penghasut, main hakim sendiri, dan sadis sudah sudah sedekian melekat pada segenap komponen bangsa ini.
Jadi, kemerdekaan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia (sila kelima), belum tercapai hingga kini. Padahal, negara ini sudah berusia 76 tahun.
Usia negara ini semakin tua, tetapi kehidupan masyarakat bukannya semakin maju, tapi malah semakin mundur.
Pejuang Kemerdekaan
Negara Indonesia mempunyai para pendiri yang buah pikirannya sangat brilian.
Pada saat mempersiapkan kemerdekaan, mereka saling melontarkan gagasannya demi mencari dasar yang kuat bagi berdirinya bangsa ini.
Pendapat-pendapat mereka terangkum dalam risalah sidang BPUPKI. Salah satu tokoh yang hendak dijadikan rujukan utama dalam tulisan ini adalah Soekarno.
Soekarno pernah mengusulkan Pancasila. Bahkan ia merangkum Pancasila dalam satu kata: “gotong royong!”
Perasaan dasar Negara Indonesia adalah semangat gotong royong. Soekarno ternyata merancang suatu paham negara gotong royong bagi bangsa Indonesia. Kerangka negara gotong royong akan menukik pada:
Pertama, apa sesungguhnya filosofi gotong royong yang diusung oleh Soekarno (sampai-sampai paham “gotong royong” ini dijadikan sebagai sari pati dari Pancasila? dan kedua, bagaimana mengontekstualisasikan semangat gotong royong sebagaimana dicita-citakan Soekarno dalam era dewasa ini menuju Indonesia yang lebih baik? Aneka permasalahan bangsa Indonesia jangan-jangan disebabkan karena tidak ada atau menipisnya semangat gotong royong.
Pancasila
Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philossofische Grondslag (dasar, filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka. (Bdk. Buku Pendidikan Pancasila, Madium: STKIP Widaya Yuman, hlm.39).
Kemauan dan hasrat untuk merdeka, menurut Soekarno, harus mendahului perdebatan mengenai dasar negara.
Mengapa? Karena buat apa membicarakan dasar negara jika kemerdekaan tidak ada? Dari sini pada hemat saya bisa dimengerti logika berpikir Soekarno yang terlebihdahulu menggelorakan semangat untuk merdeka, bahkan ketika rakyat masih miskin, belum bisa baca tulis, belum bisa mengendarai mobil, dan seterusnya.
Soekarno bahkan menganalogikan kemauan merdeka dengan dengan kemauan untuk menikah. Apakah menikah harus menunggu semuanya mapan? Dengan demikian pula kemerdekaan.
Berkaitan dengan hal ini, Soekarno merasa perlu untuk merujuk argumentasinya mengenai dasar negara dibuka dengan pertanyaan, “Apakah Weltanchuung (dasar dan filsafat hidup) kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia merdeka?”
Soekarno mengatakan bahwa niat dan keinginan merdeka itu haruslah bulat, akan tetapi dasar yang akan dipakai bagi Indonesia merdeka haruslah sesuatu yang sudah mendarah daging dan ada dalam semua sanubari rakyat Indonesia.
Dalam kerangka inilah Soekarno menyebut bahwa dasar negara Indonesia yang ia pikirkan sudah ada dalam renungannya sejak 1918.
Bangsa Indonesia tengah berjuang menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi. Pada masa seperti ini bukan saatnya kita saling menyalahkan, melainkan bagaimana kita sebagai bangsa bergandengan tangan dan bergotong royong mengatasi Covid-19.
Penulis adalah aktivis PMKRI Cabang Maumere