Let It Be!
Cerpen: Raing
Senja semakin pekat pertanda ia akan segera pergi ke peraduannya. Namun ia sepertinya enggan untuk cepat berlalu. Ia seolah mengerti suasana hati seseorang yang sedang gundah. Aku duduk sendirian meratapi nasib.
Suasana hati benar-benar kacau. Aku Raing, bukan gadis biasa. Aku berkerudung biru. Sebelum berkerudung biru, aku seolah harus mengikuti ke mana kehidupan menggerakkan langkah kakiku. Kehidupan bukan hanyalah petualangan yang penuh teka-teki, tetapi juga kebenaran yang takkan mungkin dielak. Kehidupan begitu menarik, tapi juga menggigit.
Di Praiwangga aku mulai bertumbuh dewasa. Aku tumbuh dewasa dengan sistem budaya setempat yang sangat kental. Namun aku tidak bisa menipu diri dari arah kehidupan mengarahkanku, tomboy. Suatu penderitaan bagiku, bila tidak berteman dengan laki-laki. Ada kebahagiaan yang tiada taranya tanpa bergaul dengan laki-laki. Juga suatu siksaan, bila berada di sekitar perempuan. Duniaku ialah laki-laki, tapi tidak jatuh cinta kepada perempuan, seperti tomboy yang lain.
Pembawaanku seperti laki-laki pada umumnya; gertak, tegas, cekat dan gesit. Aku amat menikmati hidup yang bebas. Ada banyak julukan yang diberikan teman-temanya kepadaku, tapi aku tidak peduli. Kehidupan tidak selalu sama atau berjalan monoton. Kalau kehidupan demikian, kehidupan itu tak layak dihidupi dan diperjuangkan. Aku adalah kehidupanku. Kehidupanku adalah duniaku.
***
Pada suatu hari aku memutuskan menjadi seorang biarawati. Pilihan itu berseberangan dengan psikologisku; menolak bergaul dengan perempuan, dan merawat kehidupan bersama laki-laki, lawan jenisku. Keluarga dan teman-teman tahu sebelumnya aku bercita-cita menjadi Polwan. Tapi, apakah aku berani menyangkal diri dan dengan munafik mengikuti desakan-desakan mulia orang-orang di sekitarku. Bukankah kehidupan memiliki cara tersendiri mengarahkan aku kepada kebahagiaanku? Batinku tiap kali.
Kehidupan selalu memberikan jalan kebaikan kepada setiap orang, hanya bagaimana orang menangkap isyarat-isyaratnya dan menyatakannya dalam hidup. Aku harus menjadi biara, bukan mau kujadikan tempat pelarian. Barangkali kehidupan menganugerahkan hal-hal terindah bagiku bila masuk biara. Dengan aturan dan kegiatan yang ketat dalam biara, barangkali kehidupan memberikan jaminan yang membahagiakan bagiku. Jadi, tidak mengapa aku menolaknya? Lagipula hidup adalah proses pembebasan batin yang tak terselesaikan
Pada Mei 2016, aku masuk biara tak peduli larangan-larangan dari orang-orang di sekitar. Aku menulis surat lamaran dan menyelesaikan urusan-urusan lainnya. Lamaranku diterima. Aku bahagia sekali, meski orang-orang di sekitar tak berterima dengan keputusanku. Pada 26 Mei 2016 aku menginjakkan kaki pertama kali di biara di sebuah kota.
Aku memulai menjalani hidup baru. Hidup yang bertolak belakang dengan sebelumnya. Tahap demi tahap kulewati dengan berbagai perjuangan karena perjalanan hidupku tidak semulus yang kubayangkan. Namun, aku tetap bertahan hingga pada akhirnya aku diperkenankan untuk mengikrarkan Kaul Kebiaraan. Aku menjadi gadis istimewa; mempelai Kristus, berkerudung biru.
Aku begitu bahagia, terharu dan banyak perasaan lain muncul dalam hati, karena aku mengerti dengan baik bagaimana dan siapa diriku hingga aku bisa seperti sekarang ini. Akulah mempelai Kristus?! Barangkali surat cinta mempelaiku telah diterima baik oleh kehidupan.
***
Beberapa hari kemudian aku dan teman seangkatan diperkenankan untuk berlibur. Bahagia tak terkira dalam hatiku, aku yang selalu diragukan ternyata benar-benar mewujudkan impianku, sekalipun perjalanan masih terlalu panjang.
Setibanya di rumah aku disambut dengan hangat oleh keluarga. Ada begitu banyak ungkapan yang kuterima dari orang-orang kesayangan. Ada ungkapan syukur sampai dengan ungkapan perasaan terdalam dari orang yang selalu mendukung sekaligus menantangku.
“Aku tak menyangka bahwa kamu bisa kembali dengan jubah dan kerudung biru ini dan Salib di dadamu.”
“Jujur aku pesimis padamu sejak awal”, kata kakak perempuanku sendiri. Namun dalam hatikau hanyalah bahagia dan bahagia.
Kebahagiaan tak berlangsung lama seperti disambar petir siang bolong saat bertemu dengan orang yang selama ini kurindukan mengatakan.
“Kamu tak usah kembali lagi ke biara dan tinggal bersuami saja di kampung dan sudah ada orang yang suka padamu”.
Hancur. Benar-benar hancur.
Hari liburan menjadi hari penuh kabut yang pekat. Walau demikian aku tetap menguatkan dan menyemangati diri, lagian ada banyak orang lain yang mendukungku, terutama karena aku tidak mau melihat bapak dan mamaku tersakiti. Aku tetap berusaha bahagia.
Aku kembali dari liburan membawa sejuta rasa hati yang hancur. Kehancuran hati terus berlangsung di mana sebulan kemudian bapaknya jatuh sakit. Benar-benar sakit parah.
Aku sungguh merasa hancur dan gundah. Syukurlah aku pun diizinkan pulang menjenguk sang ayah yang sedang sakit. Tantanganku tidak sampai di sini.
Lagi dan lagi kakak sulungku meminta agar aku keluar saja dari biara dan menikah. Ini benar-benar membuatku sungguh-sungguh tertekan, namun tidak bimbang. Orang yang kucintai dan selalu mendukungku juga yang menjadi kekuatannya untuk tetap bertahan di dalam biara malah jatuh sakit. Aku sempat dilema, tapi tidak membuatku buru-buru meninggalkan biara, lalu menikah seperti yang diharapkan kakak sulung.
Aku marah pada Tuhan, mempelaiku. Ini tidak adil, Tuhan. Di sudut timpat tidur aku duduk memeluk Salib sambil menangis. “Kuyakin ini benar-benar Kado Berpita Hitam di awal mekarnya kelopak bunga” batinku sambil mengusap air mata.
Aku lalu bangkit menuju meja belajar. Aku berusaha memperkecil isak tangis agar tidak terdengar oleh suster-suster yang lain.
Aku tak boleh menyerah. Aku akan terus berjuang karena mempelaiku terlalu dalam mencintaiku. Aku takkan mau kembali lagi ke dunia luar. Biara adalah surat cinta Tuhan bagiku yang tak sempat dibaca oleh mereka di sana.
*Raing adalah nama pena seorang suster dari sebuah biara.