Oleh: Hendra Charlitoz
Kebijakan PPKM adalah sebuah disrupsi terhadap kehidupan manusia. Manusia menjadi asing terhadap sesama dan dirinya sendiri.
Sejak kemunculannya pada Desember 2019 di Wuhan China, Covid-19 telah menyebar secara global hingga memakan banyak korban.
Berdasarkan perhitungan secara global, sampai saat ini, ditambah penambahan kasus baru 837.897 terpapar baru Covid-19, dan pasien aktif sisa sebanyak 12.976 orang, dinyatakan meninggal dunia, sedangkan yang dinyatakan sembuh sebanyak 43.003 orang, dan sisanya sedang dalam perawatan.
Perkembangan jumlah korban semakin bertambah, meskipun progres vaksinisasi Covid-19 sudah menjangkau 8.861.246 orang. Sedangkan dosis kedua mencapai 4.007.949 orang.
Pandemi Covid-19 di tengah PPKM juga turut melemahkan sistem perekonomian dunia. Salah satunya terjadi penurunan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Laju pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2021 tidak memiliki dasar yang kuat untuk menangani pandemi Covid-19.
Pendiri Ekonom Indef Didin Damanhuri menyebut ada anomali (kejanggalan) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021.
Bahkan ia menilai pada RAPBN 2021 pemerintah meninggalkan sisi permintaan (demand) dan menambah alokasi sisi pasokan pembangunan infrastruktur yang naik dari Rp281,1 triliun pada 2020 menjadi Rp414 triliun tahun depan.
Penurunan laju perekonomian Indonesia antara lain ditandai oleh menurunnya kinerja pasar modal, meruginya dunia usaha, naiknya pengganguran, dan bertambahnya persentase kemiskinan.
Sejauh ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan penggunaan strategi lockdown dan physical/social distancing.
Sedangkan, untuk Indonesia, menurut Jokowi: “di Negara kita, [strategi] paling pas adalah physical distancing, menjaga jarak aman dan pemberlakuan PPKM.’’
Hal itu diungkapkan Jokowi dalam rapat terbatas lewat video conference dengan para gubernur seluruh Indonesia.
Kebijakan-kebijakan politik ini dilakukan dengan satu tujuan, yaitu mencegah penyebaran pandemi Covid-19.
Namun, pemberlakuan kebijakan ini berakibat pada pembatasan aktivitas sosial, budaya, dan agama.
Padahal, sebagai makhluk sosial (homo socius), manusia membutuhkan yang lain. Manusia ingin menjalin relasi sosial dengan sesama. Oleh karena itu kerja sama menjadi urgen di tengah masifnya pandemi Covid-19.
Wujud konkret kerja sama dilakukan dengan membangun solidaritas kemanusiaan.
Solidaritas kemanusiaan harus dibangun untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Ini menjadi ‘pekerjaan rumah’ bersama yang harus mendapat perhatian serius dari kita semua.
Solidaritas Kemanusiaan
Penyebaran Covid-19 semakin tidak terbendung. Pelbagai bentuk usaha menyelamatkan umat manusia terus dilakukan.
Hingga pada cara ekstrem, yakni pembatasan sosialisasi atau interaksi antarmanusia.
Kegiatan ekspor dan impor barang kebutuhan ekonomi dibatasi.
Situasi seperti ini sebenarnya bukan yang pertama. Pada dekade 1330, muncul wabah yang dinamai maut hitam, di suatu tempat di Asia Timur, ketika bakteri penumpang kutu Yerisinia Pestis mulai menginfeksi manusia.
Dari sana, menumpang armada tikus dan kutu, wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan Afrika Utara.
Hanya dalam waktu dua tahun, wabah sudah mencapai pesisir-pesisir Samudra Atlantik.
Antara 75 juta sampai 200 juta orang mati – lebih dari seperempat populasi Eurasia.
Di Inggris, 4 dari 10 orang mati. Populasi susut dari 3,7 juta jiwa sebelum wabah, menjadi 2,2 juta setelah wabah. Kota Florensia kehilangan 50.000 dari 100.000 penduduknya.
Dari data ini, kita dapat memastikan, wabah atau pandemi sudah muncul 2000-an tahun lalu. Dengan demikian, Covid-19 juga merupakan suatu bentuk wabah yang secara potensial persis sama seperti wabah sebelumnya.
Situasi pelik yang semakin merana ini mengakibatkan masyarakat manusia dirundung dilema. Manusia berada pada persimpangan.
Setiap orang berusaha menyelamatkan diri masing-masing, hingga rela mengingkari diri untuk tidak berinteraksi. Demikian pula setiap Negara berupaya membangun sistem kerja sama dengan Negara lain.
Pada titik ini, solidaritas kemanusian diuji. Apakah setiap Negara berusaha meninggalkan ego-nya dan bergabung bersama Negara-negara lain untuk mengurangi penderitaan masyarakat manusia akibat Covid-19? Ataukah malah memanfaatkan sistusi pandemi Covid-19 untuk meraup keuntungan ekonomi dengan mengorbankan Negara lain?
Perang ekonomi menjadi arena pertarungan antarnegara. Setiap Negara berlomba-lomba menjadi Negara nomor satu dalam bidang ekonomi.
Situasi pandemi Covid-19 menjadi kesempatan meraup keuntungan ekonomi. Negara maju menanam saham di Negara berkembang dengan memasang bunga yang tinggi. Hal ini menyebabkan utang luar negeri Negara berkembang bertambah.
Berbeda dengan utang dari perusahaan-perusahaan swasta pada lembaga-lembaga bank asing, hutang luar negeri merupakan beban yang dipikul langsung oleh penduduk Negara-negara selatan.
Sebab, pemerintah mereka harus menarik dana dari anggaran Negara (APBN) untuk membayarnya kembali. Kenyataan ini memperburuk ekonomi Negara berkembang.
Lalu, di Mana Rasa Solidaritas Kemanusiaan?
Solidaritas kemanusiaan benar-benar sedang diuji. Umat manusia lupa bahwa sesama (yang lain) adalah bagian dari diriku.
Ketika yang lain, yaitu mereka yang terpapar pandemi Covid-19 khawatir dan gelisah akibat krisis ini, aku sendiri pun bertanggung jawab untuk terlibat dan mengemansipasi mereka dari penderitaannya.
Terhadap mereka yang sedang berjuang mempertahankan nafas kehidupan, aku harus hadir.
Mirisnya, ada orang yang membuka diri untuk membantu, tetapi ada yang tetap mempertahakan ego demi menyelamatkan diri dan warga Negara sendiri.
Jurang ketimpangan antara Negara maju dan Negara berkembang semakin melebar. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Realitas ini menunjukan, uang menjadi nomor satu (menjadi segalanya), sedangkan manusia di-nomor-dua-kan. Akibatnya, banyak manusia dikorbankan demi mendapatkan uang.
Perkuat Solidaritas Kemanusiaan
Pandemi Covid-19 merupakan masalah global. Oleh karena itu, ia harus diatasi secara global.
Perlu dibangun suatu sikap solidaritas baik secara individual maupun secara komunal. Misalnya, Negara kaya bertanggung jawab terhadap Negara miskin dan berkembang.
Solidaritas adalah sebuah keniscayaan dan prakondisi bagi pembebasan manusia dari penderitaan. Sebab, solidaritas selalu menyediakan ruang untuk melindungi martabat pribadi manusia yang memiliki ketergantungan dengan pribadi, kelompok, atau bangsa lain.
Dengan solidaritas, manusia mendapat kebebasan untuk bertumbuh sebagai satu kesatuan yang di dalamnya semua orang mendapat hak dan kewajiban yang sama.
Oleh karena itu, solidaritas perlu dilihat sebagai prinsip sosial dan keutamaan moral. Sebagai prinsip sosial, solidaritas merupakan kebulatan tekad untuk memperhatikan kesejahteraan umum. Sebagai prinsip sosial, solidaritas merupakan sebuah pilihan dasar untuk menciptakan struktur sosial yang adil.
Menghidupi solidaritas dengan bertitik tolak dari dua prinsip ini mengarahkan kita pada perdamaian. Perdamaian merupakan buah solidaritas, kata Paus Paulus II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socoalis.
Pada titik ini, kita dapat mengerti alasan utama keharusan membangun solidaritas. Berdamai dengan sesama menumbuhkan sikap hidup sosialis.
Sikap berbagi dan peduli terhadap yang lain. Sikap sosialis sangat diharapkan muncul dalam mencegah penyebaran Covid-19.
Jiwa sosialis dapat menuai hasil yang lebih efektif dan efisien. Efektif berarti segala usaha mencegah penyebaran Covid-19 memiliki dampak yang optimal untuk mencapai kesejahteran umum.
Efisien berarti proses pencegahan Covid-19 akan berakhir dengan cepat, tidak berlarut-larut, dan tidak memakan lebih banyak korban.
Selain itu, dua hal lain yang perlu diperhatikan dalam membangun solidaritas, yaitu pertama, pengalaman kontekstual dan situasional, dan kedua, berfokus pada orang yang konkret dan pada kebutuhan yang mendesak.
Dua hal itu dapat melahirkan rasa cinta, simpati, dan solider terhadap sesama.
Pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 sesungguhnya tidak dapat dilakukan jika tidak berdasarkan pada solidaritas kemanusiaan.
Namun, solidaritas kemanusian itu sendiri mengandaikan adannya sikap menerima atau berdamai dengan Covid-19.
Sikap seperti ini menunjukkan tanggung jawab kita terhadap sesama sebagai yang lain dari diri kita.
Dengan demikian, pandemi Covid-19 dilihat sebagai musibah yang menghantam kehidupan bersama kita. Musibah ini seharusnya menumbuhkan semangat solidaritas dalam diri kita.
Solidaritas memberikan ruang bebas bagi kita untuk berekspresi dan membangun perdamaian.
Akhirnya, kita perlu berusaha membangun kerja sama global secara efektif dan efisien.
Kerja sama ini perlu dibangun atas dasar sikap saling menerima, simpati, dan tidak egois.
Jika semangat solidaritas tumbuh semakin kuat dalam diri setiap pribadi atau kelompok, maka besar kemungkinan kita akan mampu membebaskan diri dari belenggu wabah Covid-19.
Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero