*Cerpen
Oleh: Chan Setu
Di kamar, ia merasakan ada yang mengintainya. Dekat dengannya. Ini malam keempat sejak hari senin kemarin, ia merasakan ada bayangan mata yang mengintainya begitu dekat.
“Malam itu, Antonella meyakinkan dirinya bahwa pintu kamarnya telah ia kunci. Kain gorden dan jendela kamarnya sudah rapat ia tutup dan tak ada celah bagi siapa pun untuk mengintainya, sekalipun itu nyamuk”, batinnya.
Usai membaca sebuah novel karya Ahmad Tohari, Antonella lekas-lekas membereskan meja belajarnya. Matanya yang mulai kantuk membuatnya untuk segera terlelap. Seperti biasa, Antonella sudah dididik oleh orangtuanya agar mencuci kaki dan tangan terlebih dahulu sebelum tidur.
Di atas tempat tidur ia memperhatikan sekeliling kamarnya tak ada yang mencurigakan. Pintu kamar sudah ia kunci. Jendela dan gordennya sudah ia tutup rapat-rapat. Lampu kamar juga sudah ia padamkan.
“Tuhan, terima kasih untuk seluruh cinta dan kasih yang telah Engkau berikan kepadaku sepanjang hari ini. Untuk semua pengalaman yang kudapatkan. Untuk semua kasih-sayang yang kuterima. Aku mohon, jagalah aku malam ini, agar esok aku dapat bangun kembali dan menikmati anugerah terindahmu. Amin” doanya, membatin.
& & &
Antonella tidak memiliki adik atau pun kakak. Ia anak tungal dan perempuan satu-satunya di dalam keluarga mereka. Ayahnya adalah seorang petani dengan status sosial yang penting di kampungnya. Sedangkan ibunya hanyalah seorang wanita biasa yang hari-harinya adalah mengurus rumah.
Sebagai keluarga terpandang di kampung, Antonella selalu dididik oleh ayah dan ibunya untuk mandiri, berjuang dan berani menghadapi segala tantangan yang ada.
Ayahnya adalah salah satu dari dua atau tiga orang dengan kepemilikan tanah yang besar di kampungnya, karena itu ayahnya sangat disegani oleh masyarakat. Meskipun demikian, ayah Antonella tidak pernah mempraktikkan secara ekstrim sistem-sistem budaya yang kaku. Bagi ayahnya, setiap manusia punya pilihan atas hidupnya. Sehingga apa pun yang diinginkan dalam hidupnya jangan biarkan keadaan menjadikannya terkurung apalagi terpuruk dan pasrah.
Konsep pemikiran ayah Antonella sedikit lebih maju dari kebanyakan orang-orang tua di kampung mereka. Budaya yang kental menjadikan kehidupan sedikit lebih lambat untuk dikatakan berkembang. Adat membelenggu kemiskinan demi kemiskinan. Memupuk kekayaan demi kekayaan. Sistem yang berakar dalam sejarah kapitalis dan feodal membuat mereka masih berada dalam bayangan-bayangan itu. Akibat sistem feodal membagi manusia dalam golongan-golongan kedudukan membuat mereka menjadi tuan atas Tuhan. Pembagian kelas antara yang kaya, menengah dan miskin seakan-akan menjadikan status dan kedudukan sosial menjadikan tuan atas penciptanya.
Sudah lama ditekan dengan konsep-konsep kaku lalu dipraktikkan secara ekstrim. Melarang, menentang dan mengekang sepertinya menjadi kosa kata yang sering didengar oleh anak-anak perempuan. Padahal hidup terus berjalan, masa demi masa berlalu. Berbagai warna kehidupan telah datang dan pergi. Musim demi musim berganti. Namun Biduk* masih saja sama, sebuah kampung tanpa perubahan apa pun.
Situasi demi situasi yang dialami ayah Antonella, membuat ia tak ingin memperkaya kosa kata anaknya dengan kata “jangan, tidak boleh, diam atau kata-kata yang membatasi pilihan hidupnya.”
Sebagai anak perempuan, Antonella tahu persis apa yang perlu ia lakukan. Sistem budaya yang mengikat perempuan dalam konsep bahwa perempuan harus memasak, mengurus rumah, menyiapkan kopi atau teh dan berbagai hal seperti yang dilakukan ibunya seakan-akan memaksanya untuk terbiasa. Namun tidak jarang ia dimarahi oleh ayah dan ibunya.
“Hidupmu masih panjang. Masih harus mengejar mimpi bukan mengurung mimpi dalam kepalamu. Ayah dan ibu tidak pernah menginginkanmu untuk tetap seperti ayah dan ibu. Tugasmu adalah belajar dan jangan berhenti bermimpi untuk sampai kepada apa yang kau inginkan,” ucap ayah dan ibunya berulang-ulang kali.
Antonella sadar betul bahwa ia ingin menjadi seorang Penulis. Keinginannya ini selalu membuatnya betah berada di perpustakaan sekolahnya. Membaca berbagai buku baik itu novel, artikel atau pun koran. Tidak pernah sehari pun ia lewatkan waktunya tanpa membaca. Membaca seperti menjadi adik dan kakak buatnya.
Antonella sadar bahwa ayah dan ibunya menginginkan ia untuk menjadi seperti apa yang diinginkannya.
Ibunya pernah bertanya tentang apa yang diinginkan Antonella dalam hidupnya. Ia pun menjawab “aku ingin jadi penulis.” “Jika ingin jadi seorang penulis, jangan biarkan keadaan meremuk keinginanmu,” kata ibunya.
Pada umumnya perempuan-perempuan di kampungnya sudah banyak yang menikah di usia muda dan tidak sedikit yang dijodohkan lalu kumpul kebo. Bagi kebanyakan orang-orang tua, perempuan tidak jauh berbeda dengan barang. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana orang-orang tuanya mendidik anaknya agar bisa menanak nasi, mencuci pakaian, mengurus anak dan bagaimana menyiapkan diri saat memiliki suami.
Selain itu, perempuan-perempuan yang jika tertangkap basah sedang berpacaran atau sedang berduaan dengan laki-laki di tempat yang sepih dan sunyi, sulit untuk ditanyai soal kebenaran yang terjadi. Karena itu, biasanya mereka langsung disuruh untuk menikah atau dijodohkan.
Ayah menjadi peranan penting dalam kehidupan keluarga. Selain sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah, seorang ayah berperan penting dalam memutuskan siapa laki-laki yang cocok dan pantas untuk dijadikan pendamping hidup anak perempuannya. Cinta tidak didasari oleh dua orang namun lebih sering, cinta menjadi paksaan oleh keberpihakan ego demi meng-eksploitasi keinginan seorang ayah. Karena itu, Ayah selalu memegang kendali atas hidup anak perempuannya.
Namun yang menyedihkan adalah tidak sedikit Om* berperan penting dalam menentukan berapa jumlah mas kawin (belis) yang perlu disiapkan oleh seorang laki-laki.
Kehidupan seorang perempuan seperti mainan yang mudah didapatkan di pasar. Perempuan dieksploitasi demi kepentingan-kepentingan tertentu. Karena itu ayah Antonella tak ingin anaknya menanggung nasib seperti ibunya dan juga perempuan-perempuan seusianya yang lain di kampung itu.
Antonella mengenang semua pengalamannya di Biduk. Ceritanya cukup membuat buku hariannya basah. Ia menulis ceritanya itu persis ketika usai membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel yang hampir persis sama dengan pengalaman yang dialaminya. Perempuan selalu tak diberi kesempatan, keinginannya diremuk oleh keadaan. Hanya saja Antonella beruntung ia hidup di tengah keluarga yang ayah dan ibunya tak sekaku dan seekstrim orang-orang tua temannya.
Ia membayangkan pahitnya penderitaan teman-teman perempuannya di Biduk. Ia membayangkan bagaimana ibunya dulu ketika dipaksakan untuk menikah dengan ayahnya. Bagaimana opanya menawarkan ibunya kepada keluarga ayahnya. Lalu bagaimana Om” mamanya yang mendapatkan keuntungan dari perjodohan ayah dan ibunya. Tanpa disadari bahwa mamanya tidak pernah diperhatikan oleh Om mamanya sendiri (barangkali).
Mungkinkah perempuan hanya menjadi alat pelengkap dalam kehidupan laki-laki? Perempuan memang rapuh, mungkinkah kerapuhan perempuan adalah kelemahannya? Apakah karena konsep teologis dalam kisah penciptaan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga laki-laki berhak untuk menguasainya? Apakah karena Hawa yang digodai oleh ular untuk memetik buah terlarang dan menghasut Adam memetik buah terlarang itu yang kemudian membuat Tuhan marah serta menjadikan sejarah dari dosa asal, sehingga perempuam dianggap berdosa dan mudah digodai? Berbagai pertanyaannya ini membuatnya diusir oleh dosennya saat masih berstatus mahasiswa.
“Sungguh Tuhan tentunya tak sekejam laki-laki, bukan? Namun seandainya Tuhan adalah laki-laki bisa jadi ia juga sekejam itu,” batin Antonella.
“Bukan, Tuhan bukan laki-laki. Perempuan? Tidak! Lalu?” desah Antonella.
Pertanyaan-pertanyaan itu diam-diam mengintainya dari berbagai sudut kamarnya. Ia memikirkan semua pertanyaan itu sejak hari senin kemarin dan ini hari kelima sejak ia merasakan bahwa dirinya sedang diintai. Begitu banyak mata yang mengintai dan ia tak berani keluar menjawabinya. Sebab Antonella yakin ia akan diusir bahkan dianggap sebagai perempuan tak taat adat dan iman.
Nitapleat, 2021.
Keterangan:
*Biduk: Nama sebuah kampung dalam Imajinasi
*Om: Paman
Tentang Penulis
Chan Setu merupakan mahasiswa STFK Ledalero. Saat ini menetap di Wisma Arnoldus Janssen Nitapleat, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.