Oleh: Joanes Pieter Paulus Alais Calas
(Penggiat Literasi Komunitas Cangkir 16)
Sebelum Krisis kesehatan global (pendemi Covid-19) melanda dunia khususnya Indonesia ada banyak variabel persoalan lingkungan yang sudah lebih awal kita hadapi.
Persoalan itu mulai dari deforestisasi, aktivitas tambang, polusi udara hingga persoalan sampah.
Semuanya memberikan sumbangan besar terhadap masalah kesehatan yang tentunya sangat berpengaruh terhadap tatanan sosial kita.
Berbicara tentang sampah saat ini tidak bisa lepas dari berbicara tentang perilaku manusia. persoalan sampah hari ini erat kaitannya dengan perilaku kita selama ini.
Maka tidak heran sampah sering kali dianggap sebagai ancaman bagi kita, karena perilaku masa lalu yang belum “tuntas”.
Jika tidak mau dibilang ancaman, sudah saatnya cara kita memperlakukan sampah harus ”naik kelas” menata kembali cara berpikir kita yang lebih ramah lingkungan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah banyak memberikan harapan besar untuk kita semua. Kita berhasil keluar dari segala macam keterbatasan, dan mempermudah segala urusan yang rumit menjadi lebih efektif.
Semakin maju suatu peradaban mestinya berbanding lurus dengan tingkat kesadaran kita terhadap lingkungan, khususnya masalah sampah yang setiap hari hidup berdampingan dengan kita.
Bahkan sampah plastik saat ini menjadi persoalan global yang mau tidak mau butuh kerja sama lintas sektor.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah terbesar di dunia dengan produksi sampah lebih dari 60-an juta ton per tahunnya.
Selain jumlahnya yang sangat besar pengelolaannya juga terhambat oleh rendahnya kepedulian masyarakat terhadap sampah.
Selama ini memang sampah sering kali dianggap sebagai limbah. Padahal di balik itu juga sampah menyimpan sejuta potensi yang membawa keuntungan secara ekonomis bagi kita.
Masyarakat Indonesia memang rajin membuang sampah. Hampir setiap tahun jumlah sampah yang dihasilkan terus meningkat tanpa diikuti kepedulian terhadap sampah.
Jumlah penduduk yang tinggi berbanding lurus dengan produksi sampah. Minimnya kesadaran dan sistem yang dibangun terhadap persoalan sampah dapat memberi beban yang berkelanjutan terhadap lingkungan kita.
Sehingga tidak heran beberapa tempat di Indonesia sepertinya sudah menjadi langganan banjir setiap tahunnya.
Sebut saja Jakarta, kota dengan penduduk padat serta diikuti oleh perilaku konsumsi yang tinggi akan memproduksi sampah lebih banyak.
Buah dari perilaku masyarakat yang selalu mengabaikan kepentingan lingkungan dan kurang terpadunya sistem pengolahan sampah membuat Jakarta sebagai wilayah yang mendapat beban ekologis yang tinggi.
Setiap tahunnya kerugian negara bisa mencapai miliaran rupiah akibat banjir yang terus merendam ibu kota.
Perkembangan masyarakat di bawah kendali ilmu pengetahuan dan teknologi telah mencederai keasrian ekologi.
The risk society menjadi akumulasi dari sekian banyak butir-butir gaya hidup masyarakat industri. Tingkat penduduk yang tinggi di kota dan tingkat konsumsi yang tinggi terhadap barang habis pakai telah meninggalkan dampak yang begitu banyak dan melampaui daya dukung kota.
Slum area menjadi kawasan yang aktif memproduksi berbagai persoalan kesehatan masyarakat kota akibat sampah.
Fritjof Capara menyatakan bahwa masyarakat berkelanjutan adalah masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengurangi kesempatan generasi generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Sekalipun konsep ini umum, namun bisa dijabarkan lagi dalam konsep kota berkelanjutan. Pentingnyan bersikap adil lintas generasi adalah misi suci kita semua.
Dengan meninggalkan sikap ego sudah mewariskan kota yang nyaman untuk dihuni oleh generasi penerus tentunya nyaman dalam konteks ini tidak sebatas secara sosial dan ekonomi, namun dari pencemaran lingkungan.
Lantas Bagaimana Sikap Kita?
Sadar atau tidak mental keropos kita sebagai masyarakat yang aktif memproduksi sampah masih tertanam kuat dan terlelap. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan kita sehari hari.
Jadi, tidak heran tiada hari tanpa melihat sampah, bangun pagi, siang, sore dan malam pasti selalu melihat sampah ada di mana-mana.
Apalagi penanganan sampah kita selama ini masih digarap sepihak, hanya petugas-petugas kebersihan dari pemerintah saja yang lebih dominan mengatasi masalah sampah, padahal ini maslah bersama.
Secara umum penanganannya masih sangat sederhana tidak lebih dari mengangkut dan membuang.
Paradigma klasik ini tidak menjamin mutu lingkungan dan kehidupan sosial kita.
Bahkan dipertegas dengan mindset klasik tentang sampah adalah barang bekas yang tidak mungkin dikelola lebih lanjut.
Mungkin sedikit lebih santun terhadap lingkungan jika persoalan sampah bisa dilihat dari hulu hingga hilir.
Masalah sampah adalah masalah yang kompleks, tidak bisa letak kesalahan dilimpahkan kepada pihak tertentu saja, semua komponen sebagai pemeran utama menghasilkan sampah.
Kebiasaan kita sebagai konsumen saat berbelanja misalnya, selalu menggunakan kantong plastik hanya untuk kebutuhan saat itu saja.
Jika satu orang belanja sedikitnya memakai tiga kantong plastik dalam sehari (belum termasuk kemasan produk yang dibeli), sudah berapa jumlah kantong plastik bekas yang dihasilkan dalam seminggu sebulan bahkan setahun?
Dan plastik yang sudah terpakai beberapa minggu yang lalu belum tentu langsung terurai. Ini baru perkiraan sampah yang dihasilkan oleh satu orang saja. Belum kalau lebih dari ribuan orang, bsa dibayangkan seperti apa.
Kendala lain juga bisa datang dari sistem yang kurang memadai. Misalnya, seseorang bisa saja membuang sampah tidak pada tempatnya bukan karena persoalan karekter atau minimnya kesadaran, namun terkendala sarana dan prasarana yang tersedia.
Bisa jadi seseorang akan lebih tertib membuang sampah di tempat tertentu karena ketersediaan sarana di tempat tersebut ada.
Untuk itu, diperlukan sistem yang kuat untuk menjembatani kesadaran masyarakat.
Sebenarnya tidak akan menjadi persoalan sepanjang kita mampu mengontrol prilaku dan cara berpikir kita yang tidak ramah lingkungan, dan membalikan spirit ekologis sebagai kekuatan produktif.
Peluang kita di daerah masih terbuka lebar untuk mengambil langkah antisipasi. Sermtidaknya Jakarta menjadi contoh dan pelajaran untuk kita.
Pemeritah daerah sebagai garda terdepan mestinya hadir tidak saja lewat regulasi yang rapi di atas kertas. Lebih dari itu misi mengedukasi masyarakat lewat gerakan-gerakan membersih lingkungan, serta tata kelola limbah rumah tangga sudah semestinya ada.
Hal ini merupakan wujud nyata bahwa regulasi yang dibuat menetes sampai ke akar rumput.
Selain itu, mungkin sudah saatnya setiap satuan pendidikan perlu mendesain pelajaran pendidikan lingkungan hidup.
Hal ini sebagai bentuk pembinaan watak sadar ekologis bagi siswa-siswi. Sebab, masa depan lingkungan kita sangat ditentukan lewat pembinaan generasi kita saat ini.
Selanjutnya, setiap satuan pendidikan memiliki duta lingkungan, yang mampu mengkampanyekan gagasan dan gerakan.
Hal ini setidaknya mampu menjadikan mereka sebagai lokomotif baik di lingkungan sekolahnya maupun di masyarakat.
Harapannya setelah berakhir masa belajarnya di sekolah, mereka mampu menjadi penggerak dan panutan di lingkungan tempat tinggal masing- masing.
Mungkin lewat hal-hal kecil seperti ini setidaknya bisa mengembalikan fungsi kesadaran kita dalam merawat lingkungan yang bebas dari sampah.
Sehingga, cerita tentang berjumpa dengan sampah di pagi hari, siang, sore maupun malam tidak lagi menjadi bahan bicara bagi mereka yang menghuni bumi di masa depan.