Oleh: Stefan Bandar
“Nat, apakah yang akan terjadi ketika senja itu tenggelam?” tanyanya memecahkan kehengan yang menguasai kami sejak beberapa menit yang lalu. “Gelap”, jawabku singkat. “Eh, koq kamu nanyanya gitu? Aku bukan anak SD, tahu. Aku sudah Kelas 3 SMA dan sebentar lagi mau jadi mahasiswa”, jawabku sedikit manja.
“Jadi, bulan depan kamu akan berangkat ke Jakarta. Apakah kita akan bertemu dan berteman lagi seperti ini?” tanyanya. “Eh, koq kamu ngomongnya seperti ini. Serem tahu”, jawabku. “Yang jelas kita akan berteman selamanya. Untuk bertemu, saya akan berusaha dan selalu berharap agar kita dapat bertemu kembali. Eh, tunggu. Maksud pertanyaan kamu tadi tu apa ya?” tanyaku lagi setelah menyadari pertanyaan yang belum dijawabnya beberapa saat yang lalu.
Hemm,, dia menghela nafas. Untuk beberapa saat keheningan kembali menguasai kami. “Nat, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Dan aku mengatakannya bersama senja di sana yang hampir tenggelam agar semuanya ini menjadi harapan. Aku tahu bahwa senja itu akan tenggelam dan langit akan menjadi gelap. Tetapi dari senja aku belajar bahwa semua yang indah terkadang harus diikhlaskan pergi”, katanya.
“Baiklah, tuan penyair”, kataku. Harus kuakui bahwa lelaki di sampingku adalah lelaki yang memiliki segudang kata puitis. Beberapa kali karyanya mendapatkan juara pada perlombaan antara sekolah. Bahkan beberapa puisi lainnya pernah dimuat di beberapa surat kabar.
“Sebenarnya aku menyukai seorang gadis. Semenjak pertama aku mengenalnya, aku telah jatuh cinta padanya. Aku tidak tahu apakah ini cinta atau hanyalah sebuah permainan rasa. Tetapi semenjak aku mengenalnya, aku selalu memikirkannya. Tapi aku tidak tahu bagaiman harus mengatakannya”, katanya sembari menatap senja yang jauh di sana. Senja itu kini menyentuh bibir laut dan sebentar lagi akan tenggelam.
“Ohh. Jadi ceritanya ini tentang penyair yang mengagumi seorang gadis? Tapi kalau boleh tahu yang mana sih gadis yang kamu suka? Siapa tahu aku punya ide bagus sehingga gadis itu bukan hanya menjadi sajak yang lapuk”, kataku sedikit manja.
Keheningan kembali menguasai kami. Lampu-lampu yang sengaja dipasang di sepanjang panta kini mulai menyala. Memang pantai itu menjadi salah satu tempat favorit untuk menghantar senja pada peraduannya. Dan menjadi tempat favorit bagi para remaja, entah untuk menghantar rasa yang telah usai atau menabur rindu yang baru dimulai.
“Nat, sebenarnya aku menyukai kamu”, katanya memecahkan keheningan. Brakkk, bagaikan petir yang membelai lautan yang membentang di depan kami. Aku sungguh tak menyangka bahwa gadis yang dimaksudkannya beberapa detik yang lalu adalah aku. Apa yang harus aku jawab, demikian batinku. Aku sungguh tidak tahu rumusan kalimat seperti apa untuk merespon kalimatnya itu.
______________
Terkadang jujur itu menyakitkan. Jujur itu dapat melukai hati yang tulus mencintai dan merobek jiwa yang tenggelam dalam kerinduan. Jiwa itu merintih, merindu kepingan kisah yang masih tersisah. Kadang sebuah tanya muncul, apakah kisah-kisah itu akan terulang kembali? Sungguh, kisah-kisah itu adalah yang abadi setelah pertemuan itu.
Seandainya waktu dapat diputar kembali, maka aku ingin kembali lagi ke sana. Bukan kembali pada kisah saat aku jatuh cinta kepadamu. Tetapi aku kembali kepada taman itu, tempat pertama kali aku bertemu denganmu. Bukan untuk menghindari pertemuan itu, tetapi hanya untuk bertemu kembali dan mengatakan bahwa aku tidak ingin engkau menyakiti aku.
Aku terlalu cepat terbuai dalam rayuanmu. Aku terjebak dalam puisi-puisi yang kau lantunkan bersama senja yang hendak tenggelam. Tetapi aku sadar bahwa sekeras apapun hati seorang wanita, pasti akan luluh ketika mendengar deretan kata puitis yang kau ucap. Apalagi mendengarkannya sembari menatap lesung pipi yang menghiasi raut wajahmu.
Tetapi kini aku sadar bahwa ketika kita tidak pernah jatuh cinta, kita tidak akan pernah menjadi apa-apa. Ketika kita tidak pernah merindukan, kita tidak akan pernah menjadi seseorang. Ketika kita tidak pernah tersakiti, kita tidak akan pernah menjadi sesuatu.
Seperti hatimu yang pergi lalu tersesat, aku pun di sini tersesat untuk keluar dari bayangmu. Engkau tersesat menuju jalan pulang, tetapi aku tersesat pada jalan keluar dari hatimu. Aku tak tahu bagaimana cara terbaik untuk menanggalkan kenangan tanpa harus tersakiti.
________________
Aku terbaring di ranjang sembari menatap chellphoneku. Setelah seharian mengerjakan pekerjaan kantor, badanku sedikit terasa lelah. Sebuah pesan tiba-tiba masuk yang membangunkanku dari lelap yang hendak berkuasa.
Nak, bagaimana kabarmu? Ada salam dari pak Herman, ayah Riko. Demikian pesan singkat dari mama. Dengan segera senyuman mengembang pada bibirku. Aku tahu betul bahwa calon mertuaku sangat merindukan kehadiranku. Mungkin karena dia tidak memiliki seorang anak perempuan makanya ia begitu menyayangiku.
Aku baik-baik saja, ma. Bagaimana kabar papa dan mama di sana? Semoga baik-baik saja. Oh iya, ma. Salam untuk pak Herman. Demikian balasku dengan menambahkan sebuah stiker senyum di ujung kata-kataku itu.
Bagaimana kabarmu dengan Riko di sana, Nat? Pak Herman berencana agar kalian menikah tahun depan. Sebuah pesan baru dari mama kembali muncul di layar chellphoneku. Iya, ma. Kami akan pulang tahun depan, demikian balasku singkat.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana di kampus UI, aku mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Pekerjaanku cukup bagus sebab gajinya tidak sedikit. Setiap bulan aku mengirimkan sebagian hasil pekerjaanku ke kampung, meskipun cukup hanya untuk membeli beberapa kaleng susu atau memenuhi kebutuhan lain dari kedua orang tuaku.
Malam sedikit dingin ketika aku berjalan menuju sebuah restaurant yang ada di dekat taman kota. Aku menatap sebuah tulisan pada sebuah balok yang bergantung di dinding. Restaurant Celotheli. Ini dia, gumanku. Aku membuka pintu pelan-pelan lalu berjalan menuju sebuah meja dengan kursinya yang ada di ujung. Kebetulan meja itu kosong.
Hari ini aku hendak melepaskan penat yang membebaniku selama seminggu. aku biasanya memilih tempat ini karena kualitasnya terjamin dan harganya terjaangkau. Bahkan karena sering ke sana, aku sudah mengenal beberapa pekerja di sana.
Langkah kakiku terhenti ketika bola mataku menatap sosok yang tidak asing lagi bagiku. Tapi siapakah sosok perempuan yang berada di sampingnya, demikian tanyaku dalam hati. Aku sedikit kaget ketika melihat perempuan itu mengecup keningnya dan memeluknya mesrah.
“Riko? Siapa gadis ini? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku ketika aku tahu bahwa sosok laki-laki itu adalah Riko, lelaki yang sangat aku cinta. “Nat, koq kamu ada di sini? Aku bisa jelasin semuanya ini, Nat”, katanya setelah meyadari kehadiranku.
Tanpa sadar air mataku jatuh perlahan. Aku tak menyangka bahwa lelaki yang sangat aku cinta begitu tega melukai perasaanku. Ia menghianati janji yang sudah kami ucapkan bersama. Ia melukai hatiku dengan caranya yang paling ngeri.