Oleh: Irenius Pita Raja Boko
Dalam historisitas bangsa Indonesia, tentu mahasiswa sebagai kaum muda mempunyai andil dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Jiwa nasionalisme dan patriotik tanpa pamrih telah menyulut api semangat mahasiswa sebagai kaum muda untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
Selain menjadi orang muda bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing, mahasiswa juga menjadi agent of change (agen perubahan) bagi bangsa Indonesia.
Selain itu, dalam koridor lembaga pendidikan tinggi, para mahasiswa juga mampu membaktikan diri melalui aktualisasi Tri-dharma Perguruan Tinggi demi mencerdaskan kehidupan bangsa yang mempunyai pandangan ingin memajukan Indonesia.
Mahasiswa merupakan aset dan masa depan bangsa yang nantinya menjadi garda terdepan dalam hal memperhatikan bangsa ini agar tetap dalam keadaan harmonis dan aman.
Indonesia baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-76. Tentu untuk dapat sampai pada tahap ini bukanlah hal yang mudah.
Pelbagai problematika bangsa ini seperti; kemiskinan, kekerasan, kesenjangan sosial,korupsi, nepotisme dan masih banyak lagi telah mencoreti dan menodai wajah Negara Indonesia.
Selain itu gencarnya arus globalisasi telah membawa dampak pada menggerusnya nilai-nilai Pancasila dan ideologi negara ini.
Pada tahap ini, para mahasiswa telah sampai pada dekadensi nasionalisme patriotik tampah pamrih.
Yang dulunya adalah semangat yang berkobar-kobar dengan jiwa nasionalisme dan patriotik tanpah pamrih saat ini berubah menjadi manusia individualisme dan apatisme.
Apatisme dan individualisme bagai virus modernisasi yang telah menggerusi lapisan kesadaran mahasiswa untuk melibatkan diri secara aktif dalam pelbagai problematika sosial masyarakat.
Bahkan mahasiswa saat ini menjadi problem utama dalam keamanan sosial masyarakat.
Kita mencoba merefleksikan kembali momentum sumpah pemuda yang berbasis Pancasila.
Mahasiswa sesungguhnya menjadi manusia Pancasila, yang dengan semangat muda menjadi pion-pion dalam gerakan membangun bangsa Indonesia.
Dengan jiwa muda dan penuh dengan pengetahuan mahasiswa mesti menjadi contoh bukan menjadi pion-pion untuk menghancurkan bangsa ini yang diakibatkan karena salah dalam menafsirkan dan menyerap informasi dari opini-opini sekelompok orang yang ingin melawan pemerintah dan menjatuhkan Indonesia.
Arus globalisasi yang begitu pesat berkembang, sesungguhnya menjadi patologi moral bagi sekelompok mahasiswa yang dangkal dalam mencerna.
Sejauh ini, sudah sangatlah mengkhawatirkan bagi mahasiswa yang belum mampu memfilter segala perkembangan yang ada. Kesadaran akan nilai-nilai pancasila mulai memudar.
Budaya-budaya luar mulai merasuki jiwa mahasiswa yang pada esensinya mesti menjadi manusia yang akan menghidupi nilai-nilai Pancasila.
Kita mesti ingat akan pesan dari tokoh proklamator kemerdekaan dan Wakil Presiden RI yang pertama; Bung Hatta, bahwa “Pancasila harus menjadi pelita didalam hati, untuk membangun masyarakat baru!”.
Pancasila adalah falsafah negara ini, mestinya harus tetap hidup dan bernyala di dalam langkah dan cara hidup mahasiswa sebagai agen penerus bangsa ini.
Jika saat ini mahasiswa hanya menjadi patung dalam membangun nilai-nilai Pancasila dalam sosial masyarakat maka kemerdekaan sejati telah kehilangan rupanya.
Drs. M. Hatta kembali berkata;”Tidaklah terlalu jauh saya dari kebenaran, apabila saya katakan, bahwa kita selama terjajah banyak bercita-cita, setelah merdeka kehilangan rupa. seolah teruntuk pula gibahan Schiller, yang bunyinya: ‘Eine grosse Epoce hat das jahrhundert geboren, aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht’.
Jika memang semangat nasionalisme dan patriotik generas muda bangsa ini kerdil, maka akan seperti apakah bangsa ini ke depannya?
Mahasiswa harus beranilah untuk masuk dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila.
Pertama; mahasiswa mesti hidup dalam semangat religius yang toleran. Sama-sama mengakui KeTuhanan yang Maha Esa.
Beragama dengan benar, sebab hanya dengan toleransi antaragama Indonesia ini akan menjadi aman dan takan terpecah belah karena ulah-ulah yang pada hakikatnya tidak perlu terjadi.
Kedua; mahasiswa mesti berkemanusian. Pada hakikatya manusia adalah makhluk sosial, jadi hiduplah dengan gaya hidup berkemanusiaan, sehingga terciptalah kerukunan dan kedamaian antarsesama dalam sosial–masyarakat.
Jika hanya berorientasi pada diri yang egoistik, maka mahasiswa bukanlah agent of change (agen perubahan) bagi bangsa ini melainkan destructive agent (agen perusak).
Ketiga; mahasiswa harus menjunjung tinggi persatuan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadi penunjuk dalam hidup persatuan.
Lebih dari itu mahasiswa mesti menjadi teladan dalam hidup yang penuh dengan persatuan.
Jadilah perbedaan menjadi suatu kekayaan bukanlah sebagai lawan yang harus dimusnahkan.
Keempat; mahasiswa yang selalu menopang demokrasi kerakyatan. Sebagai manusia Pancasila, mahasiswa mesti menjunjung tingi demokrasi yang akan mengarah pada kesejahteraan masyarakat.
Mahasiswa mesti lebih cerdik memperhatikan jalannya demokrasi bangsa ini agar tetap pada porosya. Jika tidak, maka KKN akan merajah lelah dan menari-nari didalam bangsa ini.
Kelima; sebagai agent of change (agen perubahan), mahasiswa harus lebih menjunjung tinggi keadilan bagi sesama.
Hanyalah dengan hidup penuh keadilan maka kita akan merasa damai dan tentram.
Keadilan akan memusnahkan nepotisme. Sebab, oleh nepotismelah negara ini bisa jatuh karena rakyat merasa tidak adil.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah hanya untaian kata yang indah, harus ada realisasinya karena masih begitu banyak rakyat yang miskin makin melarat karena keadilan tidak dijalankan dengan benar.
Mahasiswa adalah penerus bangsa ini, sebagai agent of change (agen perubahan), mahasiswa mesti harus menjadi manusia Pancasila.
Mahasiswa Pancasila, akan selalu menghidupi nilai-nilai Pancasila, karena sadar bahwa negara ini akan menjadi negara yang maju dan makmur jika manusia-manusia di dalamnya selalu merealisasikan nilai-nila Pancasila. Jadilah Mahasiswa Pancasila!
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Seminari Tinggi St. Mikael