*Cerpen
Oleh: Yohanes Mau
Angka di kalender tertulis hari ini Sabtu (20/08/2021). Sekitar jam 12 siang saya dan Alex masih di kebun sedang melihat beberapa jenis sayuran hijau yang sedang tumbuh dan dimakan habis oleh burung liar.
Terasa sedih hatiku. Alex misionaris berkebangsaan Papua Nugini ini bilang padaku; “tenanglah saatnya akan tiba engkau pasti bahagia melihat hijauh daun di sekitar ini.”
Alex ini seolah hebat bagai Insinyur pertanian saja. Saya tidak hiraukan apa kata dia. Saya membiarkan kicauannya itu bagai hembusan angin berlalu tanpa jejak.
Saya mencoba arahkan mata keluar pagar besi itu. Di sana terlihat Tula lari terbirit-birit menuju dapur.
Dalam hati kecil aku bertanya, “ada apa dengan Tula?” Ternyata ia butuh air panas untuk bunuh cobra.
Cobra pagut kekasih hatinya di kamar mandi. Kekasih hati Tula itu berbadan kecil dan mungil, kulit hitam manis bagai bunga desa yang sedang mekar di tengah semak belukar negeri ini.
Kami tinggalkan taman itu karena saatnya untuk makan siang. Alex, Mateus dan saya berjalan menuju kamar makan.
Beberapa sajian di atas meja makan siang ini nampaknya lezat. Setelah doa makan kami mulai makan deselingi dengan aneka diskusi tentang hidup dan kehidupan serta bagaimana cara menghidupkan hidup ini lebih hidup dari hidup yang biasa-biasa selama ini.
Situasi hari ini tidak seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya. Makan agak buruh-buruh karena Mateus harus segera antar istri Tula ke Rumah sakit.
Doa tutup makan pun diatur masing-masing. Saya bilang sama Alex, “Ayo kita bergegas ke luar untuk lihat bola mata dari istri Tula yang terpagut cobra itu!”
Kami dua cepat-cepat menuju gerbang. Di sana kami bertemu dengan Ncube. Ncube adalah pekerja tua di kebun ini.
Ia datang membawa dengan ular cobra yang terbunuh. Saya kaget melihat dan melompat ketakutan. Namun saya pun tetap coba memberanikan diri untuk maju dan melihat mata istri Tula yang terpagut dua kali oleh cobra itu.
Terlihat matanya terbungkus rapi oleh saputangan merah. Saya coba memintanya membuka sedikit. Ternyata matanya sudah bengkak dan merah.
Selanjutnya ia merangkul erat Tula dan masuk di dalam mobil. Mereka meluncur menuju rumah sakit dengan mobil Hlux untuk mendapatkan pertolongan pertama dari perawat.
Alex, Ncube dan saya tertinggal di gerbang itu. Saya mencoba tanya pada Ncube; “Malume, dari mana cobra itu bisa datang sampai masuk di kamar mandi?”
Dengan santai dia menjelaskan; “Kawan, musim panas begini adalah saat yang tepat mereka keluar dari lubang tanah semak belukar sekitar untuk mencari suhu dingin. Teman, hati-hati kalau bermain dengan semak belukar di negeri ini sangat berbahaya!”
Mendengar itu bulu badanku berdiri dan saya merasa takut. Saya mulai berpikir yang bukan- bukan.
Andaikan saja cobra pagut kena biji mata saya ini akan seperti apakah rasa pedihnya itu? Oh, pokoknya aneka rasa menghantui hati ini.
Namun Alex hanya diam dengar apa yang sedang kami bincangkan. Sesekali senyum dan sedikit tertawa sehingga kami tahu bahwa dia juga ada bersama kami.
Di sana Ncube masih saja main-main dengan ular yang telah mati itu. Orangtua ini bagai anak kecil yang kurang mengalami bahagia di masa kecilnya. Mungkin saja terlambat bahagia. Dasar orangtua.
Sedikit agak jengkel rasanya. Hahaha. Selanjutnya ia menjelaskan; “teman, ini cobra racunnya tidak ada lagi kalau dijadikan daging, enak sekali bagi orang Vietnam.”
Dengar itu saya merasa jijik dan langsung bilang padanya; “kalau begitu Malume potong kasi kecil-kecil dan goreng kering jadikan lauk untuk makan malam nanti!”
Ia sentak menjawabiku dengan nada tinggi; “Tidak, kami tidak makan ular, hanya pastor Jochkim dari Vietnam itu yang bilang pada saya bahwa daging ular itu enak bagai daging ayam.” “Kalau begitu Ncube coba saja rasakan enaknya makan daging ular itu!” Celotehan kami pun selesai di situ saja.
Kami kembali masuk pada heningnya hari sambil peluk erat sisa-sisa rindu yang masih ada pada kami hari itu.
Angin musim tanpa henti menggoyangkan pohon dan dedaunan di sekitar pun jatuh berhamburan.
Tula rekan kerja di semak belukar itu merasa tidak nyaman dengan kondisi kekasih hatinya. Mungkin saja dalam hati kecilnya ia bertanya; “andai saja mata istriku buta maka apa yang akan kulakukan untuk ziarah hidup selanjutnya?” Aneka rasa menghantuinya.
Masihkah ia ingin tetap setia berlayar hingga batas napas atau mungkinkah ia akan cerai atau berselingkuh dengan bunga-bunga desa di kampung sekitar semak belukar ini? Sepertinya Tula adalah pribadi yang setia merawat cinta.
Hal itu tampak dari rasa antusiasme yang tinggi saat kekasih hatinya terpagut cobra. Iya setia memeluk tulung rusuknya itu erat-erat seolah tak memberi izin sedikit pun kesempatan kepada angin untuk berhembus lewat.
Saya melihat, betapa besarnya rasa cinta yang terpupuk diantara kedua hati sejoli itu. Dalam hati saya hanya terkagum, “betapa dasyatnya rasa cinta diantara kedua makluk ini. Makluk yang menjadikan hati sebagai tempat teduhan yang sejuk hadapi derasnya badai hidup.”
Sekitar dua hari sudah Istri Tula mendapat pengobatan. Pagi-pagi benar saya berjalan di sekitar taman. Di sana terlihat istri Tula sedang sibuk-sibuk urus halaman rumah dan sekitarnya.
Saya mencoba mendekatinya dan bertanya; “Halo Mama, bagaimana dengan matamu?” “Sekarang mataku sudah membaik.” Begitulah sedikit jawaban singkat dari gadis semak belukar kekasih hati Tula.
Saya merasa bahagia dengar jawaban itu. Matahari mulai bersinar dan menyapa dengan hangat senyumnya yang manis. Pintaku di awal hari ini hanya satu, “Semoga sapaan mentari pagi ini menjadi obat bagi semesta dan segala isinya.” Saya pulang ke haribaan sementaraku dengan seribu bahagia.
Saya masuk lagi dalam hening panjang hari itu. Saya mencoba tengok lagi masa-masa silam dan sedikit berkaca namun di sana bayanganku enggan muncul. Lantas dimanakah? Saya hanya diam saja. Mungkinkah kisah itu hanyut dalam sunyi yang paling dalam dari segala kesunyian yang ada di tengah derasnya hembusan angin musim kemarau panjang.
Tentang Penulis:
Yohanes Mau adalah warga Weluli-Belu- NTT-Indonesia, Misionaris Serikat Sabda Allah, Kini sedang bertualang di Zimbabwe-Afrika.