*Cerpen
Oleh: Stefan Bandar
Lelaki tua itu duduk seorang diri sembari membaca beberapa deretan berita di surat kabar. Sesekali ia melirik ke luar, menatap rintik-rintik hujan yang jatuh perlahan. Sesekali ia menghembuskan nafas panjang ketika membaca berita-berita yang termuat di surat kabar yang menggelentang di tangannya.
“Kek, di luar dingin. Aku ambilkan jaket untuk kakek,” suara seorang bocah yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Bocah itu lalu berjalan menuju kamarnya dan mengambil jeket hitam yang biasa dikenakannya. “Ini kek”, katanya sembari menyodorkan jeket hitam milik lelaki tua itu.
Kakek Ambros, demikian lelaki tua itu biasa dipanggil. Ia adalah salah satu mantan pegawai kehutanan di daerah itu yang mengakhiri masa baktinya sepuluh tahun silam. Setelah mengakhiri masa jabatannya, ia hanya sibuk mengurus tanaman-tanaman di kebunnya.
Sepuluh tahun yang lalu isterinya pergi pergi untuk selamnya tanpa meninggalkan buah hati. Mbok Anna, isterinya, menderita penyakit kangker hati. Mbok Anna sempat dirawat di rumah sakit. Namun rupanya kepergian mbok Anna tidak bisa ditahan, bahkan oleh kakek Ambros, seorang lelaki yang sangat mencintainya. Semenjak saat itu kakek Ambros melewati hari-harinya dalam kesendirian.
Sebenarnya tiga puluh tahun yang lalu mereka memiliki soeorang buah hati. Suatu ketika buah hati mereka jatuh sakit dan harus segera mendapatkan pertolongan dokter. Namun di tengah perjalanan putra mereka menghembuskan nafasnya dan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Seandainya saja waktu itu mereka tiba di rumah sakit lebih cepat, mungkin buah hati mereka bisa tertolong. Namun sayangnya, jalan yang bebatuan dan jarak yang cukup jauh menjadi hal yang tidak merestui anak mereka sembuh. Atas kejadian itu kakek Ambros mengutuk pemerintah yang tidak memerhatikan pembangunan jalan ke kampung itu.
“Oskar, apakah kamu ingin menjadi seorang yang sukses suatu saat nanti?” tanyanya tiba-tiba sembari menatap bocah yang kini duduk di sampingnya. “Tentu saja, kek. Bahkan ayah meminta aku melanjutkan pendidikan tahun depan di kota”, jawab boca kecil itu singkat.
Lalu tatapannya kembali mengarah ke surat kabar yang masih saja menggelentang di tangannya. Bibirnya bergerak sebanyak kata yang ada pada lembaran-lembaran koran di tangannya.
“Nanti kalau kau jadi sukses jangan lupa dengan kampung kita ini. Jangan sampai suatu saat nanti ketika engkau sukses engkau lupa dengan tempat ini. Kalau engkau berbuat seperti itu, kakek yang akan datang menegurmu dari seberang sana”, katanya diikuti tawa kecil yang muncul pada raut wajahnya.
“Ah, kakek. Tidak mungkin aku lupa dengan kampung kita ini. Ketika aku menjadi orang sukses nanti, aku pasti akan membantu membangun kampung kita ini lebih maju”, kata bocah kecil itu dengan sedikit bangga.
“Apakah kamu berjanji?” katanya sembari meletakan koran di tangannya di atas meja. Rupanya ia sudah membaca seluruh berita yang dimuat di dalam Koran itu. Bocah kecil itu diam saja. Rupanya ia baru menyadari bahwa ia sedang mengucapkan janji yang amat berat.
“Oscar, kakek senang kalau kamu berjanji seperti itu. Tapi ingat nak, bahwa saat engkau menjadi sukses nanti engkau masih seorang anak yang dilahirkan dari kampung ini. Ini adalah tanahmu, tempat pertama kali engkau datang ke dunia ini. Jika engkau membangun daerah ini suatu saat nanti, ingatlah Oscar bahwa engkau benar-benar telah menjadi orang sukses”, kata lelaki tua itu.
___________________________
Hari masih sangat pagi ketika sebuah mobil berhenti di depan sebuah rumah yang masih sunyi. Sepertinya orang-orang yang berada di dalam rumah masih tertidur lelap. Atau mungkin mereka masih bercumbu bersama mimpi-mimpi yang sempat tertunda.
Seorang lelaki turun dari mobil. Ia berdiri tegap menatap cahaya lampu yang samar. Air matanya tiba-tiba berjatuhan. Sepertinya air mata adalah suatu penyesalan yang cukup dalam.
Beberapa saat kemudian pintu rumah itu terbuka. Seorang perempuan berdiri tegap di depan pintu, seolah tidak percaya dengan kedatangannya. Sesaat kemudia ia berlari mendapatkan lelaki itu lalu merangkulnya.
“Pa, aku sangat merindukanmu”, demikian kata-katanya dari balik tangisan yang semakin menjadi-jadi. Lelaki itu tidak menjawab sepata katapun, hanya isak tangis yang sedari tadi ditahannya kini mulai kedengaran.
Setelah beberapa saat terlelap dalam pelukan, keduanya masuk ke dalam rumah. Wanita itu membantu membawa sebuah tas yang cukup besar. Sedangkan lelaki itu tak henti-hentinya menatap bangunan yang ada di hadapannya.
“Eh, pak Oscar sudah pulang”, sapa seorang wanita tua yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Ia mengusap air matanya lalu mencium tangan dari lelaki yang ada di depannya. “Ia bi, saya sudah pulang”, jawab lelaki itu pelan.
“Andrew di mana, ma?” tanya lelaki itu setelah mencoba melepaskan lelah di atas sebuah kursi kayu. Sepertinya ia sangat merindukan putranya yang ditinggalkannya beberapa tahun silam. “Dia masih tidur, pa”, jawab perempuan itu. Kemudian lelaki itu beranjak dari tempat duduknya menuju kamar putranya. Beberapa saat kemudian ia kembali ke ruang tamu.
“Maafin papa ya, ma. Papa sangat menyesal semuanya ini, ma. Papa sudah membuat mama dan Andrew menderita. Papa sudah melanggar janji papa untuk membahagiakan kalian semua. Mungkin kesalahan papa tidak dapat dimaafkan”, kata lelaki itu dengan nada tertahan.
“Sudalah, pa. Jangan dipikirkan lagi masalah yang telah selesai. Mungkin ini adalah cobaan untuk kita semua”, jawab perempuan yang berparas cantik itu yang duduk di sebelahnya. “Mungkin ini adalah jalan agar kita memulai semuanya dari awal lagi”, lanjutnya.
“Nyonya benar, tuan. Mungkin ini adalah cobaan untuk tuan, nyonya, dan Andrew. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau aku bikini masakan kesukaannya tuan?” kata wanita tua yang tua yang rupanya sudah lama mengabdi hidupnya pada keluarga itu.
“Iya bi, kita bikinin masakan kesukannya”, sambung wanita itu sembari beranjak dari tempat duduknya menuju dapur.
___________________________
Oscar, seorang lelaki yang berpendidikan. Setelah menamatkan pendidikannya di kota ia memilih kembali ke kampung halamannya. Ia bermimpi bahwa suatu saat nanti ia akan membangun desanya menjadi desa yang maju dan jaya.
Untuk mewujudkan impiannya itu ia mencoba mencalonkan diri sebagai kepala desa di desanya. Beberapa agenda diutarakan di depan warga desa. Ia mencoba mengemukakan potensi wilayahnya dan sekaligus konsep yang akan ditempuhnya agar memaksimalkan potensi-potensi itu demi kemajuan desa.
Pada hari pemilihan, ia mendapatkan suara terbanyak. Masyarakat memilihnya untuk menjadi kepala desa di desanya. Dengan hasil ini maka mimpi Oscar mulai mendapatkan titik terang dalam kenyataan.
Benar saja bahwa dalam masa kepemimpinannya sebagai kepala desa, ia mampu membuat desanya maju. Jalan-jalan diaspal, saluran air minum diperbaiki, dan beberapa bantuan juga diberikan kepada keluarga yang kurang mampu.
Masa jabatan pun hampir habis. Oscar memutuskan kembali maju pada periode kedua. Ia mencoba mengutarakan kembali beberapa hal yang menurutnya sangat dibutuhkan masyarakat. Alhasi, ia pun kembali terpilih menjadi kepala desa. Begitulah selanjutnya hingga ia terpilih lagi untuk ketiga kalinya.
Namun tanpa terasa bahwa Oscar mulai bertindak di luar jalur. Ia mulai mengundang masyarakat asing mendiami desa itu. Ia bahkan mengijinkan sebuah perusahaan tambang masuk ke desanya.
Selain itu ia juga mengakumulasi kekayaan dari perizinan tambang itu. Ia mulai menindas masyarakat dengan mengatur upah masyarakat yang sangat rendah. Ia mempekerjakan mereka pada perusahaan tambang itu tetapi sebagian dari upah mereka diambilnya menjadi miliknya.
Namun hal yang tidak diketahui Oscar ialah bahwa secara diam-diam masyarkat mengaduh masalah ini ke kota. Masyarakat yang tidak tahan dengan tindakan Oscar menuntutnya dan sesuai dengan hukum yang berlaku Oscar pun dipenjara selama sepuluh tahun.