Ruteng, Vox NTT- Langkah Kepolisian Resort Manggarai Barat yang menangkap dan mengamankan 21 orang warga asal Manggarai dan Manggarai Barat beberapa hari yang lalu terus menerus dipertanyakan.
Diberitakan sejumlah media, penangkapan dilakukan dalam upaya untuk mencegah dan meminimalisasi terjadinya konflik lebih luas di Golo Mori, lokasi yang kini mengalami sengketa lahan.
Dari keseluruhan warga yang ditangkap dan ditahan, tiga di antaranya adalah warga Golo Mori, Manggarai Barat.
Sedangkan 18 orang lainnya berasal dari dua desa di Kabupaten Manggarai yakni Desa Popo Kecamatan Satarmese Utara dan Desa Dimpong, Kecamatan Rahong Utara.
Dari informasi yang diperoleh VoxNtt.com, kehadiran 18 orang warga asal Manggarai di Golo Mori yakni karena ingin memenuhi permintaan dari sana. Permintaan yang dimaksud yakni tentang kerja pembersihan lahan dengan upah Rp75.000 rupiah per hari.
Pengakuan itu datang dari Adelheid Manur (48), istri dari Stanis Ngambut (49), warga asal Dimpong Kecamatan Rahong Utara yang hingga kini masih ditahan oleh Polres Mabar.
Adelheid mengisahkan bahwa maksud kedatangan suaminya ke Golo Mori karena ingin pergi kerja. Sang suami ditelepon dan ditawari kerja bersih lahan dengan upah 75.000 rupiah pada tanggal 29 Juni 2021.
Setelah mendapat persetujuan dari istri, Stanis dan beberapa orang warga kampungnya berangkat ke sana. Mereka berangkat keesokan hari tepat pada tanggal 30 Juni.
Mereka pun menginap semalam di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat. Keesokan harinya (01/07/2021), mereka berangkat menuju Golo Mori. Mereka baru mulai garap lahan pada tanggal (02/07).
Baru sehari kerja, mereka ditangkap dan diamankan aparat Polres Manggarai Barat. Mereka akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal (04/07/2021).
Informasi penangkapan dan penetapan tersangka itu sontak membuat Adelheid panik. Ia mempertanyakan maksud pihak kepolisian menangkap mereka. Apalagi, mereka hanyalah sebagai pekerja harian yang dijanjikan upah Rp75.000 per hari.
Ia mengisahkan bahwa dirinya tidak pernah tahu bahwa lokasi tersebut tengah didera konflik lahan. Yang dia tahu hanyalah informasi kerja bersih lahan seperti yang disampaikan sebelumnya.
Kesedihan terus mendera Adelheid setelah tiga bulan lebih mengalami kesulitan keuangan keluarga. Ia mengaku bahwa sejak suaminya ditahan, tidak ada lagi uang yang mengalir ke keluarga. Situasi itu membuatnya sedih dan terpukul.
“Kami ini orang susah sementara ada anak kami yang sedang di bangku kuliah. Anak saya sedang bersekolah di Makassar mengambil jurusan ilmu keperawatan. Biayanya cukup besar dan saya tidak tahu harus bagaimana sementara suami ditahan,” tutur Adelheid di Ruteng, Senin (20/09/2021).
Untuk itulah, lanjut Adelheid, pihaknya datang berdiskusi dengan Uskup Ruteng dalam tujuan untuk meminta kesediaan Uskup agar membantu menyelesaikan persoalan tersebut.
“Kami mengharapkan agar Bapak Uskup bisa menyelesaikan persoalan dengan ini dengan baik,” harapnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Merselinda Jelita (31), istri dari Isidorus Ata, warga asal Dimpong yang juga ikut ditahan.
Ia mengharapkan agar keuskupan Ruteng terlibat dalam penyelesaian kasus ini mengingat bahwa suami mereka ke sana hendak pergi kerja kebun.
Marselina juga mengaku bahwa ia telah mendengar kabar tentang Kejari Mabar yang mengembalikan berkas perkara kasus tersebut kepada pihak kepolisian.
Ia menaruh harap pada pihak kepolisian agar benar-benar melihat persoalan ini secara jelas.
“Kami juga mendapatkan informasi bahwa Jaksa menolak berkas perkara mereka, itu artinya memang suami kami tidak bersalah. Kalau misalnya punya kepentingan lain tolong jangan bawa suami kami untuk menjadi korban,” tutur Marselinda.
Sebagai informasi, berkas perkara kasus tersebut sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Manggarai Barat.
Namun, setelah Kejari Mabar melakukan penelitian selama 14 hari ditemukan bahwa berkas tersebut belum sepenuhnya lengkap.
Situasi itu mengantar Kejari Mabar untuk mengembalikan berkas perkara dimaksud ke Polres Mabar agar dilengkapi. Berkas dikembalikan pada Selasa (14/09/2021) yang lalu.
Penulis: Igen Padur
Editor: Ardy Abba