*Cerpen
Oleh: Lilin
Sampai hari ini, di kepalaku sering muncul gambaran seorang perempuan. Beberapa hari ini ia sering mengeluh sakit punggung, sesak napas, karena fundusnya kian membesar setinggi gunung.
Katanya beberapa waktu lagi fundus itu akan pecah dan akan lahirlah dua tubuh, yang bisa jadi sama denganku atau dengan suamiku.
Pastinya aku akan senang sekali. Meskipun suamiku tidak terlalu bahagia, tetapi mau tidak mau karena tubuh-tubuh itu adalah bagian dari dirinya.
Lagian dengan bertumbuhnya tubuh itu tidak akan menghabisi tubuh kita. Hanya mungkin tubuh kita akan sedikit bengkok karena mesti berbagi tempat secara utuh.
Perempuan itu mengatakan lagi, setiap malam ada yang mulai bergerak di lubang sela antara kedua kakinya.
Kadang putih seperti susu, kadang jernih seperti air pegunungan tetapi hangat. Beberapa purnama ini daging kecil sering berenang-renang dan mulai saat ini air hangat itu mulai diperkenalkannya kepadaku.
“Apakah kau menyenangi hangatnya?” tanya perempuan itu.
“Aku suka sekali hangat! dan beberapa waktu lagi aku akan ikut berenang dalam kehangatannya bersama tubuh kecil yang kau keluarkan.”
Kuelus fundus itu. Dengan harapan tak ada lagi keluhan perihal tubuh-tubuh kecil yang membuat punggungnya sakit, air menjijikan yang mulai keluar dan berwarna-warni. Kutahu, dia sangat disusahkan.
Setiap malam kuusahakan memberi penghiburan agar perempuan itu tak merasa sendirian. Ada aku dengan segala kepedulian, tangan, kaki, dan seluruh isi kepala akan memberikan perhatian penuh.
***
Hingga malam ini perempuan itu mulai sering mengomel, karena dia sering ngompol di celana. Namun ketika sampai di kamar mandi dengan susah payah, malah tidak ada air kencing yang keluar.
“Sialan, kenapa aku malah kembali menjadi bocah sih,” omelnya, “lagian aku juga tidak main lompat tali lagi.”
Tak berdaya, aku hanya bisa menerima setiap kali dia ngomel dan mulai mengungkit kesenangan di masa lalu. Bermain lompat tali dan suka ngompol di malam hari, dan aku sangat merasa bersalah karena itu.
Belum lagi ketika gambaran perempuan itu mulai memukul kepalaku, karena pusing dan dari mulutnya sering keluar cairan bening asam, membuatnya tak bisa enak menikmati makanan. Aku tak bisa membalasnya.
Segala keluhan kudengarkan dengan sabar, karena bagaimanapun perempuan itu tidak bisa disalahkan. Selain hanya mengeluh dan mengeluh. Dia tidak bisa lagi bekerja, menari, berlari dan bahkan tidur tengkurap ketika lelah hati mulai menguasai dirinya. “Perempuan yang malang,” pikirku.
***
Sampai hari ini. Hari di mana lelaki berbaju putih yang biasa selalu menjanjikan penyelesaian dari permasalahan, tidak bisa menjawab kesedihannya. Justru malah menyuruhnya bersabar. Sedangkan fundus perempuan itu sudah sangat tinggi, dan sepertinya mau meletus. Perempuan itu terus berteriak, “tolong aku. Kalau tidak aku akan mati.”
Mulai dari semalam, ketika sebuah mobil putih dengan orang-orang yang juga berbaju putih, membawanya tergesa dari sebuah rumah. Perempuan itu tak pernah berhenti berteriak. Meminta tolong dan mengajukan beberapa pertanyaan tetapi tak ada satupun yang dapat menjawabnya. Barangkali semua orang sudah menjadi bodoh atau malah lupa bagaimana cara menjawab pertanyaan perempuan yang diambang pintu kelabu. Pintu misteri kehidupan atau kematian. Pun seperti kapan sebuah gunung akan meletus, jadi meletus atau bahkan mati sebelum menuntaskan sebuah letupan.
Sampai dia melihatku di pintu ruangan berukuran lima meter kaki lima meter. Dengan deraian air mata dan keringat mengguyur badan. Dia mempertanyakan lagi.
“Apakah aku akan mati? Katamu aku akan baik-baik saja?” Aku pun hanya bisa menangis. Semetara di sudut ruangan kulihat suamiku hanya duduk memandangi perempuan itu dengan beribu kecemasan.
Kalau saja tidak melihat kepayahan yang tergambar di wajahnya, mungkin sudah aku damprat habis-habisan. Bagaimana bisa bibirnya hanya bisa berucap perihal kematian dan kematian saja. Tak nampak sama sekali usahannya menyenangkanku. Sedang berbulan-bulan telah kuberikan seluruh perhatian dan kasih sayangku. Sebagaimana kuharap akan dipersembahkan olehnya tubuh-tubuh bagian diriku dari proses pecah fundusnya.
Tentu saja sikap cengeng dan ketakutannya itu sama sekali tidak kusukai. Meskipun begitu tetap saja kuelus kepalanya guna membesar-besarkan hatinya.
“Tak ada kematian yang sia-sia, dan kau akan jadi pemenang.” Satu tetes air mata kulihat menjadi kristal di sudut matanya.
Tarikan napasnya kembali lebih panjang. Banyak perempuan dan lelaki yang ada di dekatnya tidak lagi sabar. Rengekan demi rengekannya di tanggapi mereka dengan serius. Ada yang ketakutan kalau saja kematian perempuan itu akan menjadi duka bagi diri mereka. Lelaki yang paling tua mengomando adik-adiknya.
“Siapkan seluruh peralatan, kita tidak punya waktu lagi.”
“Anestesi spinal, siap!
“Sectio Caesarea, siap!
Kulihat perempuan itu mulai dibaca-bacakan surat penguatan, dari mulut salah satu laki-laki yang juga berpenutup kepala putih. Mulai Al Fatihah, kulhu, sampai surat pengusir setan, mungkin dengan harapan setan yang ada di sekitar dan hatiku ikut hilang juga. Semua serba putih.
Tanpa sepengetahuan siapapun aku menemui perempuan itu, mensejajarkan diri. Kulihat bagaimana dia mulai tersenyum, tak ada lagi umpatan atau keluhan-keluhan perihal kematian. “Bagaimana bisa kematian benar-benar hilang secepat itu, sedangkan penghidupan belum tentu ada di tangan mereka?” bisikku sinis,”ah dasar manja.”
Kulihat lipatan demi lipatan digores dengan pisau-pisau tajam. Tetapi dia tidak lagi kesakitan, meskipun merah darah mengenang di mana-mana membasahi lembaran kain hijau sebagai penutup fundus. Dari selang kecil darah-darah itu disedot entah dialirkan ke mana, apakah di kamar sebelah ada seseorang yang membutuhkannya atau malah dibuang begitu saja bersama aliran sungai di depan rumah putih itu dan bermuara ke laut. Entahlah ….
sampai satu lingkaran bening lebih tipis dari kantong plastik siap untuk dipecahkan. Satu alat seperti garpu hanya ujungnya bersatu tak bercela, siap untuk dihunjamkan.
Dus …. Bunyi yang keluar bersamaan dengan mengalirnya air keruh berwarna hijau, kecoklatan seperti air rendaman baju yang kutinggalkan berhari-hari lalu. Bau sekali, lalu satu tubuh diangkat tinggi-tinggi dengan kedua tangan dan kaki kecil yang menggapai seperti ingin melawan siapapun yang ingin mengeluarkannya dari tempat ternyaman sembilan purnama lalu. Begitu juga selanjutnya.
Tubuh perempuan kecil mengintip dari loyang kecil pembersihannya, lalu laki-laki. Dua tubuh menyerupaiku dan suamiku. Keduanya menangis kencang-kencang dengan dada naik turun seperti penuh amarah. Ya mau tidak mau inilah kehidupan, meskipun marah karena ketidaksiapan menjalani. Harus mereka jalani.
Lama kulihat perempuan itu, tak ada lagi kecemasan, kesakitan, manja pada kata-katannya. Yang ada hanya tatapan mesra penuh kasih. Saat itu kulihat ia terakhir kalinya. Dia menghilang … padahal aku ingin sekali marah padanya, ketakutan, rengekan, umpatan dan sikap manjanya telah membuatku tak pernah merasakan bagaimana berdiri diambang pintu kematian dan penghidupan.
Seperti yang dikatakan emak, saat untuk pertama kalinya tamu bulanan tidak datang menghampiriku, “melahirkan adalah perang Fisabilillah seorang perempuan.”
Dan aku kehilangan perang Fisabilillah karena dia yang pemarah, dia yang penuh ketidaksabaran dan manja. Dialah perempuan yang hidup di alam pikiranku. Yang saat ini bisa jadi sedang berpindah ke pikiran perempuan-perempuan lain dengan Trimester terakhir sebuah kehamilan.
Surabaya, 2021
Bionarasi Penulis
Lilin adalah nama pena dari ibu rumah tangga 37 tahun kelahiran kota Surabaya ini. Pengagum sunyi dan sendiri. Menulis merupakan ekspresi meluahkan segala perasaan. Puisinya bisa dinikmati dalam antologi bersama pemuisi Jatim, puisi dua larik ‘Kalam 16 Seroja’, ‘Sepotong Sajak di Tepian Senja’ bersama grub literasi SASTRA PUJANGGA INDONESIA. Serta karya solo noveletnya “Jejak Yang Tertinggal” sedang dalam proses cetak. Dan masih banyak antologi-antologi yang saat ini sedang dipersiapkanya.
Jejaknya bisa dilacak di akun instagram Farren_farrenz atau farrenmey. Bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin(Mey Farren)