Kupang, Vox NTT- Albert Riwu Kore, seorang notaris di Kota Kupang menyatakan, dirinya tidak pernah menggelapkan 9 sertifikat milik Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Christa Jaya Kupang. Bantahan tersebut menyusul adanya tuduhan Komisaris Utama BPR Christa Jaya, Chris Liyanto.
Albert mengaku awalnya, pihak BPR Christa Jaya memberikan surat order yang isinya membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dan meminta untuk melakukan pemecahan terhadap sertifikat. APHT itu kemudian diurus oleh Albert.
“Jadi dalam surat orderan BPR Christa Jaya, ada dua poin. Di mana meminta untuk buatkan APHT, dan pemecahan sertifikat. Tetapi dalam perjalanan, mereka minta untuk pecahkan dulu sertifikatnya, baru dibuatkan APHT,” ujar Albert di Resto Suba Suka Kupang, Kamis (30/09/2021).
BPR Christa Jaya, demikian Albert, menyerahkan sertifikat kepada stafnya, dengan menyodorkan seorang debitur bernama Rahmat alias Rafi. Hal itu atas persetujuan dari pihak BPR Christa Jaya sendiri untuk dilakukan pemecahan sertifikat tanah.
“Dalam perjalanan waktu, justru BPR Christa Jaya Kupang, mengaku jika pihaknya tidak tahu menahu, terkait rencana pemecahan sertifikat tanah itu,” jelasnya.
Sementara dalam petitumnya, kata dia, BPR Crista Jaya mengakui sendiri bahwa telah memberikan izin untuk dilakukan pemecahan sertifikat tanah. Sebab ada beberapa kaveling tanah yang akan dijual ke pihak lain.
“Mereka telah menyetujui dan izinkan untuk dilakukan pemecahan sertifikat. Tetapi dalam perjalanan, mereka justru tidak mau mengakui kalau rencana pemecahan itu atas persetujuan mereka,” imbuhnya.
Albert menegaskan, sebagai notaris, dirinya tidak mungkin melakukan pemecahan terhadap sertifikat tanah, tanpa adanya permintaan dan persetujuan dari pihak terkait, dalam hal ini BPR Christa Jaya.
“Justru BPR Christa Jaya mendesak, agar sertifikat itu segera dipecahkan, karena calon pembeli tanah sudah siap untuk menandatangani kredit,” tegasnya.
Dia menerangkan, dampak hukum yang dialami adalah, tanda terima yang dipegang pihak BPR Christa Jaya tidak lagi berlaku, karena mereka telah mengizinkan untuk mengeluarkan sertifikat induk, untuk dilakukan pemecahan.
“Tanda terima yang dipegang oleh Christa Jaya tidak berlaku lagi. Karena atas izin dia, sertifikat induk itu dikeluarkan untuk dilakukan pemecahan. Sehingga tanda terima yang awal dikasi ke kita itu menjadi gugur sebenarnya,” ujarnya.
Dari sertifikat induk, dilakukan pemecahan menjadi 18 buah sertifikat. Tiga (3) di antaranya dijual oleh BPR Christa Jaya sesuai rencana awal mereka.
“Kalau mereka jual, berarti pemecahan sertifikat itu telah disetujui oleh BPR Christa Jaya sendiri. Sementara 15 sertifikat lainnya, 9 di antaranya diambil oleh debitur Rafi atas izin BPR Christa Jaya, dan 6 lainnya diambil langsung oleh pihak BPR Christa Jaya Kupang melalui stafnya, tanpa sepengetahuan kita,” kata dia.
“Setelah ada komplain dari BPR Christa Jaya terkait 9 sertifikat lainnya, baru saya tahu sertifikat itu diambil oleh debitur Rafi,” sambung Albert.
Kemudian, atas iktikad baik, Albert kemudian memanggil debitur Raffi, dan mempertemukan dengan Komisaris Utama BPR Christa Jaya, Chris Liyanto. Intinya untuk menanyakan perbuatan Rafi terkait pengambilan 9 buah sertifikat dari stafnya.
“Saya bilang ke Chris Liyanto bahwa ada orang yang mengambil sertifikat. Kalau memang menjadi masalah, maka saya akan laporkan ke polisi. Dan dia katakan bahwa, ini masalah antara kreditur dan debitur. Pak Albert tidak usa ikut campur,” jelasnya.
Pernah Diperkarakan
Menurut Albert, terhadap polemik 9 sertifikat tersebut pernah diperkarakan oleh pihak BPR Christa Jaya Kupang.
Namun semua gugatan ditolak, dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, bahwa seluruh gugatan tidak pantas diterima.
“Waktu itu saya didudukan sebagai tergugat dua, dan debitur Rafi sebagai tergugat satu. Di mana semua gugatan BPR Christa Jaya ditolak,” jelas Albert.
Dirinya sangat yakin, bahwa pihak kepolisian dalam hal ini Polda NTT pasti bijaksana.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba