Oleh: Edy Soge
Alam semesta menyediakan kelimpahan. Dari kelimpahan kita melestarikan diri. Kita hidup di atas bumi. Di atas kepala kita cakrawala membentang. Matahari berotasi.
Fajar pagi dan senja jingga. Kita bangun di pagi hari dan tidur di waktu malam. Demikianlah alam menentukan laku natural kita.
Kita tidak bebas sepenuhnya dari daulat alam. Kita tidak pernah ada dari diri kita sendiri. Kita adalah bagian kecil dari jagat raya. Eksistensi kita adalah sebuah keterberian.
Ada yang asali yang mengasalkan adanya yang lain. Filsafat naturalis atau pemikiran pra-Sokrates menyebut arche sebagai prinsip dasar adanya alam semesta.
Aristoteles menyebut causa prima, penyebab pertama yang menyebabkan segala sesuatu yang lain ada. Agama menyatakan Tuhan sebagai pencipta.
Kita manusia datang dari keterberian ini bahwa ada Ada yang memberi hidup.
Hidup adalah sebuah pemberian. Kita lahir karena dilahirkan. Kita dibentuk oleh intimitas privat yang agung dari orangtua.
Lalu kita hadir ke tengah dunia, menghirup udara, menerima matahari, mengalami embus angin, menikmati air sumber hidup, makan dari hasil ladang, belajar dari orang lain, mendapat pengatahuan dari buku-buku yang ditulis orang lain, diajar oleh guru-guru di sekolah, dan masih banyak pengalaman lain yang menunjukkan bahwa kita hidup dari orang lain dan untuk yang lain.
Kita tidak bisa menolak keterberian itu. Sesuatu yang ada dari semula, yang menunjukkan esensi, terhadapnya hanya ada satu sikap: penerimaan penuh kerendahan hati.
Kita tidak bisa mengubah kedaulatan dari alam. Kita hanya menerima sambil memaksimalkan kemungkinan-kemungkinan untuk mendesain hidup secara lebih eksistensial.
Di dalam penerimaan itu kita bersyukur. Bersyukur artinya memberi hati bagi Sang Pemberi yang menganugerahkan sesuatu yang tidak diperoleh atau diberikan dari diri sendiri.
Bersyukur pertama-tama adalah sikap iman, yang kemudian bisa menjadi sikap sosial.
Kapan kita menyaksikan orang bersyukur? Bersyukur karena hidup adalah sebuah pemberian? Bersyukur atas keterberian yang menggentarkan (tremendum) dan sekaligus mengagumkan (fascinosum)? Apakah masih mungkin orang bersyukur di tengah situasi pandemi Covid-19?
Satu contoh dari sikap bersyukur ialah merayakan ulang tahun. Sikap ini membuktikan bahwa orang menerima hidupnya dan menyadari bahwa hidupnya itu sebuah anugerah.
Anugerah paling berharga ialah napas kehidupan. Merayakan ulang tahun berarti menyadari keterjagaan hidup yang nyata lewat menghirup dan mengembus napas.
Hal ini tentu sangat agung ketika orang masih bisa bernapas dengan damai ketika yang lain menghadapi krisis pernapasan karena pneumonia yang dihadapi oleh pasien Covid-19.
Ulang tahun adalah saat jeda dan waktu teduh untuk merenungkan keterberian dan kemungkinan dari hidup. Hidup ini diberikan dan ia bergerak di dalam kemungkinan.
Sebetulnya keterberian bukanlah suatu fakta final dari hidup, melainkan kepastian yang lentur, yang bergerak di dalam kontinuitas waktu dan ruang historisitas.
Kodrat adalah anugerah yang belum selesai. Esensi bermain di ruang kemungkinan. Menemukan identitas itu proses panjang dari refleksi di dalam sejarah.
Apanya sesuatu atau siapanya manusia belum bisa dipastikan secara absolut. Namun kita bisa menentukan makna sebab kehadiran manusia memberi keterangan yang cukup tentang apa yang mesti dikatakan dari kehadirannya.
Di dalam tulisan ini, saya merefleksikan ulang tahun dari seorang sahabat. Namanya Atyna Missa. Saya memanggilnya Ina.
Tanggal 1 Oktober adalah hari ulang tahunnya. Saya tidak membahas ulang tahun dalam arti ritual tahunan sebagai kegiatan eventual atau persitiwa insidental atau sesuatu yang temporal, tetapi lebih dari itu menilik makna dari hidup yang terlahir dan dirayakan dengan kadar emosi tertentu.
Atyna Missa adalah seorang perempuan. Dia lahir di Ainaro, salah satu kota di Timor Leste. Krisis Timor Timur tahun 1999 menuntut pilihan eksistensial dari keluarga Atyna untuk menyelamatkan hidup.
Konflik politik yang serius menguji jati diri kebangsaan dan kebebasan individu. Akhirnya Atyna bersama keluarga kembali ke Timor Barat Indonesia.
Mereka tinggal di Soe, lalu di Noetoko, salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT). Di tempat asal ayahnya Atyna dan keluarga menumbuhkembangkan riwayat napas hidup yang punya tujuan ultim.
Atyna adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Sekarang dia hidup di jalan sunyi sebagai seorang biarawati di dalam kongregasi SSpS. Dia adalah permata Tuhan. Dia punya keterberian dan kemungkinan.
Keterberiannya ialah pengalaman dilahirkan ke dalam dunia, memiliki identitas biologis, hidup di atas bumi dan kebetulan peradaban menciptakan penanggalan maka Atyna terhitung lahir pada tanggal 1 Oktober.
Dia merayakan ulang tahun. Kemungkinan yang terus dia antisipasi. Sebagai sahabat, saya dengan mata laki-laki melihat Atyna dalam dimensi keterberian dan kemungkinan sebagai gadis Timor permata Tuhan yang memiliki keindahan.
Keterberian dari seorang Atyna adalah keindahan yang dalam dinamikanya mengarungi kemungkinan-kemungkinan.
Perempuan: Singgasana Segala Keindahan
Tuhan tidak pernah menciptakan hanya satu orang manusia sebab it is not right that the man should be alone (Genesis 2:18).
Karena itu Dia menciptakan perempuan dari laki-laki – she is to be called Woman, because she was taken from Man (Genesis 2:23). Perempuan ada untuk menggenapi yang ganjil. Adam tak jadi sendiri di bumi. Hawa memberinya kepenuhan.
Perempuan adalah pemberi hidup. Adanya selalu membuat rindu, menggetarkan dada lelaki dan memancarkan keindahan bagi setiap mata yang memandang.
Perempuan adalah singgasana segala keindahan. Tubuhnya adalah figur estetis, citra firdaus yang memesona sekaligus menatang, romantik sekaligus sensasional sehingga mempelai laki-laki memberinya pujian – how beautiful you are, my beloved, how beautiful you are! (Song of Salomon 4:1).
Kemegahan tubuh dan keelokan jiwa (inner beauty) dari perempuan memberi inspirasi dan motivasi kreatif untuk seniman dan sastrawan sehingga terdapat begitu banyak karya sastra yang mengartikulasikan tema perempuan dan dari tangan pelukis tercipta lukisan-lukisan yang menarasikan keindahan perempuan.
Pengalaman ada bersama perempuan pada momen istimewa selalu menyimpan kesan personal yang menggetarkan sehingga perjumpaan itu tidak hanya sekedar bertemu lalu selesai, tetapi direpresentasikan dalam karya seni dan sastra.
Saya bertemua Atyna di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores. Kami berkenalan pada suatu hari dan tetap terus saling mengenal selama waktu masih milik kami.
Saya mengagumi dirinya. Dia memiliki keindahan yang tidak cukup saya lukiskan dalam puisi, atau bahkan dalam esai ini.
Dia punya keterberian yaitu kehadirannya sebagai perempuan yang memiliki hati bagi dunia, yang anggun parasnya dan elok suaranya.
Dia merayakan ulang tahun dan dengan itu dia merayakan hidup yang terberi yang memancarkan keindahan.
Wajahnya adalah karya seni Tuhan yang menguji daya estetika saya waktu memandangnnya. Saya pernah mengirim pesan untuk dia.
“Wajah perempuan adalah langit malam purnama. Merona dengan kemesraan yang dalam. Lelaki yang memandangnya hanya bisa memandang penuh kagum sejuta puji, tetapi tak pernah bisa meraih kedalaman rahasia wajah bulan purnama dari seorang perempuan. Wajah perempuan, cahaya permata yaspis, cemerlang bintang kejora, milikmu! Aku ingin merangkulnya dengan puisi-puisi.”
Wajah perempuan bukan hanya sebuah panorama fisiologis, tetapi menjadi kanvas psikologis yang melukiskan dimensi batin, hati yang memberi kehidupan.
Hati perempuan tetap indah. Itu tak tergantikan. Pancaran sinar hati terbit di dua pasang mata lalu cahaya itu merebak ke saraf-saraf di seputar wajah, kedua pasang pipi memerah dan wajah tampak bersinar bagai purnama, bagai kejora, bagai permata yaspis.
Tuhan menciptakan perempuan sebagai keindahan. Karena itu saya sering mengakui dan tetap yakin bahwa perempuan adalah singgasana segala keindahan.
Wajah perempuan adalah keindahan yang diciptakan Tuhan untuk dunia. Wajahnya membuat dunia bersinar, bahkan saya menyebutnya musim semi, suatu hidup baru nan indah, elok dan mengagumkan.
Di mata saya Atyna adalah keindahan yang diciptakan Tuhan. Keindahan itu terus memancar dan ia kembali ke sumbernya sebab Atyna memberikan hidupnya untuk Tuhan. Dia adalah purnama langit sunyi milik semesta. Dia adalah permata Tuhan.
Pada saat memandang Atyna, saya selalu mengalami momentum mistis. Saya di hadapan keindahan dan saya tercengang.
Keindahan itu lebih kaya dari bahasa. Rasa kagum saya adalah bukti bahwa keindahan perempuan tidak cukup dilukiskan bahasa.
Selain itu, masih ada keindahan lain dari seorang Atyna yakni suaranya. Dia pintar menyanyi dan memiliki bakat musik.
Suaranya sangat khas. Saya pernah mendengar Atyna menyanyi. Nada suaranya dengan irama puitik seperti datang dari lubuk alam paling purba. Baru saya dengar bahasa ucap musik vokal macam itu.
Suaranya murni sekali. Saya selalu terkesima saat mendengar nyanyinya. Vibrato yang dia ciptaan terdengar begitu berbeda. Dia punya tesstitura soprano. Terampil bernyanyi dengan head voice. Suaranya seperti nada alam yang murni.
Keindahan seorang Atyna adalah keterberian yang berkelindan dengan kemungkinan. Dia merayakan ulang tahun artinya dia merayakaan hidupnya sebagai manusia yang terlahir sebagai perempuan.
Perempuan di mata saya adalah singgsana segala keindahan. Keindahan wajah dan keindahan suara seorang Atyna adalah keterberian, tetapi tetap bergerak di dalam kemungkinan untuk menjadi sejati, yang entah kapan.
Beberapa puluh tahun lalu, 1 Oktober, kini masih terulang, masih berlanjut. Namun kelahiran di masa lalu adalah keterberian yang belum paripurna. Atyna berulang tahun dan menurut saya dia memaknai hidup dengan bersyukur dan menyadari bahwa keindahan itu miliknya.
Sebuah keterberian yang masih butuh proses kreatif untuk melestarikan diferensiasi diri dan determinasi pilihan rasional. Atyna masih punya kemungkinan untuk merayakan kelimpahan keterberian.
Akhirnya, kepada sahabat yang sungguh saya hormati, Atyna Missa, saya ucapkan selamat ulang tahun.
Semoga keterberian dan kemungkinan dari hidupmu tetap menjadi ulang tahun yang selalu disyukuri, didoakan, dan diharapkan tetap melimpah karena alam terus menerus memberi dari kelimpahan.
Edy Soge, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere.