*Cerpen
Oleh: Marselus Natar
“Para malaikat Surgawi akan menjemput engkau dengan semarak sukacita yang tak terucapkan, seruling dan kecapi menggemakan madah pujian menyambut kedatanganmu di gerbang kemenangan nan kekal.
Engkau akan bersanding di sisi Pangeranmu di singgasana Surgawi, sebagai ratu mulia. Berbusanakan gaun panjang yang melambai-lambai, dengan mahkota tinggi di kepala, emas dan berlian mewarnai kemegahan kediamanmu.
Deru-debu dan guyuran hujan tiada kau temukan lagi, sebab langit diselimuti sayap-sayap Serafim dan tanah ditutupi rona kirmizi permadani nan indah.
Tidak ada penderitaan, ratap dan tangis serta berbagai kesusahan-kesusahan seperti yang kau alami semasa di bumi.
Ke mana pun engkau pergi, bala tentara Surgawi menjaga dan mengawalimu senantiasa.
Di pelataran ranjangmu, kau temukan beragam kembang, minyak narwastu dan minyak zaitun yang merbaknya memenuhi ranjangmu.
Tubuhmu akan didandani secantik mungkin sesuai yang kau harapkan dan tangan-tangan para gadis pelayan Surgawi yang ulet nan lembut seakan menapis keraguanmu dalam berdandan.
Apakah yang masih kau ragukan? Segala-galanya telah tersedia bagimu dan bagi semua saudaramu yang dengan ikhlas, berani dan niat yang murni untuk melakukan tindakan ini.
Inilah jalan satu satunya untuk menempuh atau merasakan kebahagiaan tanah air surgawi dengan status pengantin yang tentunya disanjung-sanjung, dihormati, dimuliakan, disegani dan tentunya mencicipi takhta kekuasaan.’’
Dari pagi hingga petang, pernyataan itu merasuk hati dan pikiran sang Zaenap kecil.
Sesungguhnya ia belum paham dengan kata pengantin. Ia belum mengenal cinta, belum pernah mengarungi amukan laut rindu yang menghentakan nadi.
Zaenap kecil yang masih polos dan
lugu lantas serta merta menelan semua pernyataan yang dilontarkan oleh ayahnya tanpa dua kali berpikir.
Belakangan ini, Zaenap kecil dilarang keras oleh kedua orang tuanya untuk bermain di luar rumah.
Hampir setiap saat, sang ayah menjejali Zaenap dengan pernyataan-pernyataan yang mempengaruhi cara berpikirnya.
Sang ayah membuka wawasan Zaenap kecil dengan menjabarkan secara detail tentang hakikat kebahagiaan dalam hidup ini.
Zena, anak papa yang manis dan pintar, tujuan kehidupan kita; bapa, mama, Zena dan adikmu adalah menemukan kebahagiaan yang hakiki. Seperti apakah kebahagiaan yang hakiki itu?
Papa dan Mama tidak tahu karena selama kita masih ada dan hidup di bumi yang fana ini kita tidak akan menemukan kebahagiaan jenis itu. Yang Zena, Papa dan Mama temukan, alami dan rasakan selama ini adalah kesenangan yang sifatnya sementara.
Papa mengatakan demikian bukan
tanpa sebab Zena, anakku. Kesenangan itu tidak bertahan dalam waktu, dengan kata lain kesenangan itu berlangsung untuk sementara waktu saja, anakku.
Apalagi dengan melihat kondisi keluarga kita yang serba kekurangan seperti ini. Lihatlah kondisi rumah kita ini, kumuh seperti sarang kawanan tikus.’’
Sang ayah berusaha sedemikian rupa untuk mempengaruhi pikiran dan batin Zaenap kecil. Di sudut rumah yang sudah reyot dan kumuh, Zaenap kecil
tertegun membisu.
Pikiran dan situasi batinnya sejenak tampak kacau. Ia lalu menoleh ke kiri
sembari menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya lewat mulut.
Beberapa waktu kemudian, pernyataan sang ayah tampaknya mulai merasuki hati dan pikiran Zaenap kecil.
Tatapan matanya yang dahulu sayu dan bening kini berubah sangar penuh
dendam, suaranya yang lembut syahdu berubah menggelegar laksana bunyi mata petir di siang bolong.
Ia benci dengan segala penderitaan di dunia ini, teristimewa penderitaan yang dialami keluarganya.
Untuk mengungkapkan rasa kebencian yang kian membara, Zaenap kecil lantas berdiri sembari berteriak sejadinya-jadinya.
Sesekali ia mengangkat dan membanting perabot rumah tangga hingga rusak.
‘’Aku benci penderitaan, aku mau hidup bahagia,’’ ungkapnya penuh amarah.
‘’Papa, berikan kebahagiaan itu kepadaku, sekarang juga !’’ gumamnya kesal. ‘’Baiklah, Zenaku sayang. Kebahagiaan itu tidak ada di tangan Papa saat ini, sayang. Untuk mendapatkan kebahagiaan itu, kita harus meninggalkan dunia ini dengan menempuh sebuah jalan menuju kebahagiaan itu sendiri yaitu jalan kematian yang bahagia.’’
‘’Kematian yang bahagia itu merupakan kematian yang sangat terhormat dan mulia di mata Sang pemberi kehidupan ini, di mana Ia akan mengutus para malaikat-Nya untuk menemani kita, menghibur kita dan mengantar kita kepada kebahagiaan yang kita harapkan. Sang pemberi kehidupan akan memperlakukan kita seperti seorang pengantin pria memperlakukan mempelainya terkasih.’’
Kekuatan kata-kata sang ayah mengantarkan Zaenap kecil kepada suatu keinginan dan hasrat yang harus terpenuhi segera.
‘’Papa, aku mau menempuh jalan kematian bahagia itu sekarang juga.’’ Ungkap Zaenap dalam pengharapan yang penuh. ‘’Sabarlah, nak. Besok pagi kita akan menempuh jalan itu secara bersamaan. Papa mau, kita semua harus menikmati kebahagiaan itu secara bersamaan.’’ Tandas sang ayah penuh keyakinan.
Keesokan harinya, subuh-subuh benar muncullah seorang sosok yang hendak mengantar mereka ke jalan yang telah dijanjikan sesuai dengan kesepakatan.
Beberapa tas ransel berukuran sedang memenuhi punggung pria itu. Pria itu memberikan isyarat kepada kedua
orang tua Zaenap agar berjalan sesuai dengan target dan tanpa pengampunan.
Zaenap berjalan ke utara bersama Mamanya, sedangkan sang ayah berjalan menuju selatan bersama adik dari Zaenap yang masih bayi dan belum sanggup berkata.
Secara mengejutkan, semua mas media siang itu memberitakan tentang peristiwa bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga.
Kini, ranjang untuk pengantin kecil itu terus membentang dalam penantian yang panjang, sebab pengantin tak kunjung datang.
Semoga saja tidak usang, sembari menunggu punggung-punggung bersanding mesra dalam kekalutan
berpikir.
Sementara dogma-dogma agama bagai mengangkang di sudut kepala yang hampa dan kerdil. Orang-orang kehilangan kesanggupan untuk menafsirkan hakikat ataupun substansi dari ajaran agamanya, tidak pelak eksistensi Tuhan pun seperti pembunuh bayaran yang kejam dan bengis.
Sesadis itukah Tuhan? Tanyakan pada penghulu-penghulu agama atau kepada orang-orang yang menganggap diri paling suci.
Bukankah tindakan membunuh sesama yang adalah citra Tuhan sama halnya dengan membunuh Tuhan sendiri Entahlah atau enyahlah!
Penulis adalah seorang rohaniwan Katolik pada Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Aktif menulis opini pada media Vox NTT, Flores Editorial, dan BANERA.Id. Sekarang berdomisili di Ndao, Ende – Flores.