*Cerpen
Oleh: Lilin
Tak ada yang berubah dari tempat ini, sejak setahun lalu. Ketika Tuhan mengambil cahaya di mataku, dan memindahkanya di matanya. Anak lelaki Agus, aku menyebutnya.
Namun begitu sama sekali aku tak membenci, memarahi, atau menghukumnya.
Bukan karena aku seorang perempuan lemah, yang ketakutan karena kemarahan anak kecil. Justru aku belajar menjadi kuat karena hal itu.
Namanya Baim, bocah lelaki dengan usia lima tahun ini begitu kuat. Bahkan ketika satu-satunya lelaki yang memperjuangkan penghidupannya pergi untuk selamanya, dia tidak menangis meraung-raung.
Sementara aku perempuan yang berumur lima kali lebih tua darinya, justru malah jatuh pingsan berkali-kali.
Sebenarnya aku malu, tapi bagaimanapun aku hanya seorang perempuan yang lebih mengenali rasa kehilangan.
Daripada Baim yang hanya mengenal bermain, tertawa, dan berlarian. Pantaslah jika sama sekali dia tak merasakan nyeri.
Kotak kayu berpelitur itu perlahan dimasukan ke lubang tanah berukuran 1×2 meter. Tak ada cela sedikitpun untukku ikut memasuki lubangnya.
Lubang yang dua jam lalu digali oleh pekerja gali kubur pemakaman terbesar di kota ini. Pas, para pekerja itu begitu terampil mengukurnya.
Angin senja berembus, suara dedaunan jatuh menjadi nyanyian pelepasan. Gundukan tanah merah di samping lubang, perlahan dimasukkan.
Rata, menutup kotak tempat jasad mas Agus tertidur selamanya. Lelaki yang menikahiku 6 tahun lalu.
Ia berjanji menemaniku hingga tua, ternyata hanya meninggalkan janji seumur bocah lelaki di sampingku. Baim ….
Tak ada siapapun di pemakaman ini, hanya aku, Baim dan beberapa teman sejawat almarhum.
Sejak menikah kami memutuskan merantau di kota besar ini, menjadi yatim piatu membuat kami tidak merasa ada yang ditinggalkan.
***
Kehidupan pernikahan kami begitu lengkap dengan kehadiran Baim. Pekerjaan yang mapan di sebuah perusahaan kontraktor berkembang membuat mas Agus melarang untuk aku bekerja. Cukup menjadi ibu rumah tangga dan menjaga anak lelakinya. Sempurna ….
Subuh-subuh kami sudah bangun, sholat berjamaah. Lalu aku bergegas ke dapur menyiapkan sarapan dan bekal mas Agus.
Meskipun terbilang mapan dan ada kantin di tempatnya bekerja, mas Agus lebih suka membawa bekal makanan buatanku.
Dengan menu yang sederhana namun terasa istimewa ketika dibuat orang yang tersayang, begitu katanya.
Sementara aku sibuk di dapur mas Agus mengajak bermain Baim di halaman rumah. Tidak seperti anak-anak lainnya yang suka bangun siang.
Baim justru bangun paling awal. Membangunkan kami berdua untuk sholat subuh, sesekali dia ikut berjamaah. Gambaran keluarga cemara terwujud nyata di kehidupan kami.
Hingga pagi itu, ketika kecelakaan kerja membuat kesempurnaanku hilang dalam sekejap. Sedan putih yang dikendarai mas Agus pecah ban dan membuatnya tidak bisa mengendalikan laju kecepatan.
Hingga menghantam pembatas jalan. Mas Agus meninggal di tempat. Bagaikan petir tanpa hujan, duniaku mendadak seperti dijungkir balikkan.
***
Sentuhan tangan Baim di pundak, menyadarkanku dari lamunan panjang. Rupanya hujan segera datang. Cukup lama aku berada di tempat ini, satu persatu orang-orang di pemakaman sudah beranjak pulang.
Seperti biasanya sehari menjelang lebaran area tempat pemakaman menjadi tempat reuni bagi keluarga yang ditinggalkan dengan orang yang dicintainya.
Pun demikian denganku, pekerjaan sebagai guru private panggilan membuatku tidak punya banyak waktu untuk sering-sering mengunjungi Mas Agus. Semenjak kematiannya mau tidak mau aku harus bekerja.
Mengandalkan uang kematian dari perusahaan dan Jasa Raharja tidak akan cukup menghidupi kami hingga nanti.
Karena itu setelah beberapa hari memutar otak membuatku memutuskan untuk menjadi guru private panggilan. Dengan begitu aku bisa membawa Baim ketika mengajar.
Selain waktu yang bisa disesuaikan, Baim yang manis membuat murid-muridku tidak merasa berkeberatan. Tak jarang aku mengambil jam mengajar di saat Baim sedang tertidur pulas karena lama kelamaan ada rasa sungkan terhadap orang tua murid-muridku.
Sebenarnya dengan ijazah sarjana kimia yang kukantongi membuatku tidak kesulitan mencari pekerjaan tetap, tetapi lagi-lagi Baim menjadi pertimbangan.
Meninggalkannya sendiri dengan seorang pembantu tentu tidaklah membuatku tenang. Apalagi di kota ini aku benar-benar sendiri.
Seperti malam ini, sejak siang Baim sakit dan itu membuatku tidak bisa mengajaknya mengajar ataupun meninggalkannya di rumah.
Sementara murid-muridku besok ada ujian. Terpaksa aku mengajar mereka saat Baim sudah tertidur karena pengaruh obat.
Dengan pikiran yang tidak sepenuhnya berkonsentrasi sebisa mungkin aku harus mengajar mereka untuk bekal menghadapi ujian esok hari.
***
Jam dinding di rumah tepat menunjukan pukul 11 malam. Ketika kedua kaki memasuki pintu rumah. Dengan berjingkat kuharap kedatanganku tidak membangunkannya, tetapi rupanya harapanan itu meleset.
Baim sudah terduduk di ujung ranjang.
“Ma, ayah meneleponku tadi di mimpi,” sapanya ketika kepalaku menyembul daru balik pintu kamar yang terbuka perlahan.
“Iya? Ayah bilang apa?”
“Ayah bilang, mama tidak boleh pulang malam-malam? Banyak orang jahat di luar rumah.”
Aku sengaja tak melakukan protes atau mengajukan pertanyaan lagi. Selain tubuhku sudah begitu lelah, menjelaskan pada Baim di saat ini juga dia tidak akan paham.
Kurebahkan kembali Baim, dan menyelimutinya. Memberikan kenyamanan untuknya adalah salah satu kebahagiaanku yang tersisa saat ini.
Lekas aku menuju ke kamar mandi, mengguyur tubuhku dengan air dingin adalah salah satu cara meredam panas dalam dada.
Ada yang perih di kedua bola mata. Sepertinya sisa irisan bawang tadi pagi masih tertinggal sampai saat ini.
***
Aroma tanah basah menyeruak, hujan menjelang subuh menjadikan hawa begitu dingin. Mungkin Tuhan sedang tertawa melihatku mengelus-elus lengan sendiri. Beberapa sajak kusyairkan tanpa memperhitungkan judulnya.
Mengalir saja, mulai tentang kerinduan sampai permohonan anak manusia, tentang bagaimana menanam bahagia di tanah yang setiap waktu dihujani air mata.
“Tuhan, aku masih sanggup bertahan. Meskipun badai acapkali mengajak bercanda.”
“Ma.”
Suara Baim menghentikan sajakku. Anak lelaki Agus ini tiba-tiba sudah berada di belakangku. Ikut berdiri melihat tanah becek di balik jendela, sementara tempias hujan sesekali mengenai wajah kami. Sisa hujan di ujung daun pohon sawo di samping rumah berjatuhan ketika angin nakal mengusiknya.
“Ayah sudah mentransfer uang, Ma? Baim ingin beli sepatu bola.”
“Hmmzz.”
“Apakah Ayah menelpon, Mama? Semalam ayah kok nggak telpon Baim, sih,” sungutnya.
Dengan kata-kata yang berserak penuh makna, di antara kepingan luka kujalin banyak cerita. Aku tak lagi peduli bagaimana beratnya perjalanan ini.
Bagiku mendengarnya bercerita perihal kebahagian, membuatku tak ingin berhenti menuliskan cerita.
Bagaimana setiap malam ayahnya secara bergantian menelpon kami, setiap bulan mentransfer uang untuk kami. Mencukupi segala kebutuhan kami dari tempatnya berada saat ini.
“Masih ada satu cerita lagi, yang suatu saat akan kuceritakan kepadamu. Anak lelaki Agus,” pikirku dalam hati. Bahwa, “tidak ada mesin Atm atau sambungan telepon di tempat ayah Agus berada saat ini.”
Kurengkuh tubuh kecil Baim, kubawa dalam pelukkan. Seandainya saja dia tahu sinyal penghubung komunikasi antara kita dengan ayah Agus saat ini hanyalah doa-doa dan transferan yang mengisi rekening kami setiap bulannya berasal dari orang tua murid-muridku. Ah tidak ….
“Nanti sore kita beli sepatu bola, Yuk!”
Surabaya, 27 September 2021
Bionarasi Penulis
Lilin adalah nama pena dari ibu rumah tangga 37 tahun kelahiran kota Surabaya. Dia pengagum sunyi dan sendiri. Menulis merupakan expresi meluahkan segala perasaan. Puisinya bisa dinikmati dalam antologi bersama pemuisi Jatim, puisi dua larik ‘Kalam 16 Seroja’, ‘Sepotong Sajak di Tepian Senja’ bersama grub literasi SASTRA PUJANGGA INDONESIA. Serta karya solo noveletnya “Jejak Yang Tertinggal” sedang dalam proses cetak. Dan masih banyak antologi-antologi yang saat ini sedang dipersiapkanya.
Jejaknya bisa dilacak di akun instagram Farren_farrenz atau farrenmey. Bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin (Mey Farren)