Oleh: Siprianus Edi Hardum
(Praktisi hukum, Jakarta)
Minggu, 3 Oktober 2021, memasuki Babak Baru diskusi bahkan perdebatan soal penangkapan dan penahanan 21 orang Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam kasus tanah di Golo Mori, Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), NTT.
Babak sebelumnya, sejak ditangkap dan ditahan pada 2 Juli 2021 adalah babak di mana publik terutama warganet mendebatkan sah dan tidaknya 21 orang itu ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan Polres Mabar.
Penulis sendiri berada pada pendapat bahwa penangkapan dan penahanan mereka tidak sah secara hukum. Sebab, dari kasus posisi yang didapat penulis, permasalahan yang terjadi adalah kasus perdata, bukan pidana.
Mengapa disebut Babak Baru? Karena yang diperdebatkan adalah keterlibatan Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit dan Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi dalam proses penyelesaian kasus a quo.
Polres Manggarai Barat dalam siaran persnya, sebagaimana diberitakan sejumlah media massa, mengatakan, 21 orang tersangka telah dikeluarkan dari tahanan pada Sabtu (2/10/2021), atas dasar surat permohonan Penangguhan Penahanan dari Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi dan Bupati Manggarai Herybertus Geradus Laju Nabit. Proses penangguhan penahanan para tersangka tidak melibatkan para kuasa hukum.
Keterlibatan dua Bupati tersebut ada yang berpendapat bahwa keduanya mengintervensi proses penyidikan di Polres Mabar. Ada yang juga yang berpendapat, kedua Bupati tersebut memanfaatkan kasus tersebut untuk kepentingan politik, terutama bagi Bupati Manggarai karena 21 tersangka adalah warga Manggarai.
Sementara di sini lain juga para kuasa hukum kecewa sekali dengan dua Bupati tersebut karena tanpa melibatkan para kuasa hukum dalam proses penangguhan penahanan tersebut.
Berbaik Sangka
Kalau ketika melihat secara berbaik sangka, apa yang dilakukan kedua Bupati tersebut sungguh bagus. Mereka pasang badan untuk memberi jaminan, yang terpenting para tersangka dikeluarkan dari tahanan walaupun proses hukum tetap berjalan.
Hati kedua bupati tergerak tentu ketika menyaksikan unjukasa dengan curahan air mata istri-istri para tersangka di depan Mapores Manggarai Barat dua hari sebelumnya.
Lalu mengapa para kuasa hukum tidak dilibatkan? Penulis tidak tahu alasan yang pasti. Tapi penulis menduga, pertama, para tersangka sebagai prinsipal dalam perkara aquo serta dua bupati tersebut merasa dan berpikir para kuasa hukum justru membuat para tersangka akan tetap lama dalam tahanan karena para kuasa hukum ingin perkara a quo dilimpahkan ke pengadilan tanpa harus menangguhkan penahanan para tersangka.
Sebaiknya kalau memang ingin dibuktikan agar perkara a quo diuji di pengadilan, ya harus ditangguhkan dulu penahahan para tersangka. Jangankan ditahan berhari-hari, ditahan sehari saja di balik jeruji besi, sungguh menekan kejiwaan.
Kedua, penulis menilai para kuasa hukum “tidak taktis” kalau tidak ditakan tidak cerdas, mengambil legal action (langkah hukum) dalam perkara yang mereka ditangani. Sejak awal para kuasa hukum berpendapat bahwa penangkapan dan penahanan cacat hukum.
Tetapi penyataan seperti ini tidak ditindaklanjuti dengan legal action yang tepat yakni melakukan peradilan atas tindakan Polres Mabar tersebut. Para kuasa hukum sering beralasan bahwa mereka tidak melakukan praperadilan atas kasus a quo karena kemauan dari prinsipal sendiri.
Lah, para kuasa hukum diberi kuasa khusus kan untuk melakukan legal action juga atas penangkapan dan penahanan yang tidak sah menurut hukum.
Kalau tunggu perkara dilimpahkan ke pengadilan, itu berarti memaksa penyidik agar dicari-cari barang bukti perkara a quo agar berkas lengkap (P21) sehingga diterima jaksa. Kalau ini yang diinginkan, berarti para kuasa hukum tidak konsisten dengan pendapatnya bahwa penangkapan dan penahanan itu tidak sah.
Padahal tahap ujian pertama apakah penetapan tersangka serta penahahan sah atau tidak secara hukum adalah di lembaga praperadilan. Itulah latar belakang lahirnya Pasal 77 KUHAP yang diperluas dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa tahun lalu.
Tapi kalau benar bahwa para kuasa hukum tidak mengambil legal action praperadilan karena dilarang para prinsipal yakni 21 tersangka, maka saya berpendapat, para tersangka sungguh berlebihan.
Sudah tidak paham hukum, pegang pula ekor para kuasa hukum. Kalau saya sebagai kuasa hukum para tersangka, kalau diperlakukan seperti ini, maka saya mundur sebagai kuasa hukum!
Selanjutnya kalau mengharapkan kasus a quo SP3 (Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan) karena tidak cukup bukti, bisa juga. Tetapi cara berpikir seperti itu merugikan para tersangka sendiri, karena bagaimana pun pihak penyidik terus bekerja keras mencari (cari) bukti untuk membuktikan tindakannya benar secara hukum.
Pada proses seperti ini ya masa penahanan tersangka terus diperpanjang. Ingat, para tersangka mulai ditahan 2 Juli 2021, baru ditangguhkan 2 Oktober 2021. Masa tahanan 90 hari seharusnya perkara a quo sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Preseden Buruk
Apa pun niat baik kedua bupati tersebut dalam kasus a quo, sungguh membawa preseden buruk ke depan. Pertanyaannya adalah mengapa dua bupati hanya memperhatikan kasus pidana a quo?
Apakah karena para tersangkanya banyak sehingga keduanya harus maju pasang badan memberikan jaminan penangguhan penahanan? Mengapa perkara-perkara lain selama ini kedua bupati tidak memberikan perhatian yang sama?
Karena itulah tidak berlebihan kalau sebagian orang menduga bahwa keduanya terlibat dalam mengurus perkara a quo untuk kepentingan politik, terutama bagi Bupati Manggarai Hery Nabit.
Namun bagi penulis sendiri, umumnya apa pun yang dilakukan para kepala daerah atau kepala eksekutif ada saja sebagian orang menilai semuanya untuk tujuan politik dalam arti mempertahankan kekuasaan. Itu sah-sah dalam era demokrasi terutama demokrasi dalam era industri 4.0 ini.
Bagi penulis, langkah yang dilakukan dua bupati dalam kasus a quo, akan menjadi preseden buruk ke depan. Bisa saja, siapa pun yang terjerat hukum ke depan, terutama kalau kasusnya mirip kasus a quo, maka mereka akan memohon dan berharap bantuan bupati seperti yang dilakukan terhadap 21 tersangka kasus Golo Mori ini.
Kalau ini yang terjadi, maka para bupati ke depan peran dan fungsinya juga sebagai penjamin orang yang diduga bersalah secara hukum. Ini tentu tidak bagus dalam dalam negara hukum!
Harapan
Penulis berharap, pertama, ke depan tidak ada lagi kasus perdata dijadikan pidana sebagaimana kasus a quo. Kedua, kalau memang pihak Polres Mabar temukan bukti bahwa kasus a quo adalah kasus pidana, segera limpahkan ke pengadilan.
Ketiga, kepada Bupati Manggarai dan Manggarai Barat sebaiknya sediakan kuasa hukum untuk mendampingi para tersangka di pengadilan, karena yakin para kuasa hukum yang ada selama ini mengundurkan diri karena sudah “tidak dianggap” para prinsipal dan dua bupati tersebut.
Tapi mohon maaf kalau saya salah bahwa para kuasa hukum ternyata tetap mendampingi para tersangka. Sungguh mulia rekan-rekan kalau demikian. Upahmu besar di Surga!
Keempat, kalau terjadi kasus yang sama ke depan, sejak awal lakukan praperadilan. Sebab, praperadilan adalah menguji apakah penetapan tersangka dan penahanan sudah sah secara hukum atau tidak.
Kelima, penulis berharap, kasus a quo di-SP3-kan karena tak cukup bukti; atau kalaupun dilimpahkan ke pengadilan, maka pengadilan memutuskan bebas murni para tersangka. Semoga!