*Cerpen
Oleh: Lilin
Suatu ketika seorang pengembara melihat pohon tua di halaman lapang. Lelaki itu berbicara tentang mimpi dan angan-angan yang meneduhkan sekeliling.
Menghalau kasarnya cuaca dengan cinta, membicarakan kesunyian selayaknya komedi putar di pasar malam, hingga nyaris muntah-muntah.
Lantas pohon tua merasa muda, bertunas daun dan menghalau polusi dengan kata-kata. Sampai mereka tahu bahwa tempat ternyaman untuk sebuah kebersamaan adalah cinta.
“Biarkan aku berteduh di hatimu,” bujuk si pengembara itu.
Pohon tua itu terdiam tanpa penolakan. Sampai pada akhirnya semua begitu indah, kicau-kicauan burung menyenandungkan keindahan. Lahir kata-kata setiap waktu.
Fajar hadir bersama tetes embun mendiami pucuk-pucuk daun muda. Kidung mesra terlantunkan dari dengkur si pengembala setiap ia terlena dari jaga. Membentuk satu simbiosis mutualisme .
Satu hubungan yang saling bergerak dari ketidaktahuan ke satu pencapaian. Satu kata bersama ….
Halaman kering tak lagi ada, pucuk-pucuk daun muda terus tumbuh. Si pengembara sangatlah pandai mengolah rasa. Menyirami kering dengan air surga yang setiap malam di pinjamnya dari Tuhan. Demikian juga dengan si pohon tua, memberi perlindungan dari kesendirian yang menakutkan.
Sampai suatu ketika, sang pengembara pergi berjalan-jalan keluar halaman. Ia menemukan satu halaman luas.
Angan-angannya mengembara, akan di bangun satu rumah dengan pagar kayu sebagai perlindungan. Tidak hanya pohon tua dengan daun-daun tua yang terus jatuh melebihi pertumbuhan pucuk mudanya.
“Tua tetaplah tua, kapan saja angin besar datang akan tumbang. Dan tubuhku tak cukup besar menopang rebah badan dan daunnya meski tak lagi merimbun,” katanya saat kembali.
“Kenapa?”
“Karena halaman kosong tak membuat aman dari kematian,” kata si pengembala lagi.
Si pohon tak begitu saja mengerti, selama bersama hanya angin-angin kecil yang bertiup. Menjadikan asyik dan lena dapat mereka rengkuh, sampai angin itu malu dan pergi melihat cumbu-cumbu yang berlagu.
“Bangunlah pagar dari ranting-ranting kecil yang akan kupatahkan. Langit dari dedaunan yang gugur pasti mampu menghalau kasarnya cuaca sejak mula,” bujuk pohon tua itu.
Sang pengembara terus berangan-angan. Berjalan dan berlari dari ketakutan-ketakutannya sendiri. Mengetuk setiap pintu untuk singgah lalu kembali pulang.
Begitu seterusnya. Sementara pohon tua tetap setia, tak diizinkan satu saja binatang meminta tempat teduh di halamannya. Meskipun kosong di bawa terik sendirian.
Menjelang gelap si pengembara pulang, dengan wajah bercahaya dia ceritakan dunia yang jauh. Di mana bidadari-bidadari tak bersayap berwarna-warni.
Siang tak perlu membuatnya takut jika api matahari akan menghabisi kulit hitam tubuhnya. Pohon tua hanya diam, mendengarkan sambil menghitung sisa-sisa kebersamaan.
Tanpa merasa akarnya perlahan tercabut oleh duka bertangan dari kata-kata si pengembara.
Sampai malam itu, hujan datang bersama angin kecil. Daun muda pohon itu tak cukup menghalau basah di tubuh sang pengembara. Sementara akar tubuh pohon mencuat keluar, menghadirkan ketidaknyamanan.
Keluhan demi keluhan mengisi hari-harinya. Tubuh pohon itu terguncang. Mendengar kidung ketidaksukaan sang pengembara.
“Percayalah … suatu ketika, saat kedua kakiku berjalan ke arah kembali. Aku akan pulang.” Sang pengembara memberi satu janji.
Sang pohon berguncang, meskipun tak ada angin. Dia menangis, pohon itu menangis. Daun-daun tuannya jatuh semakin banyak. Menyiksa pucuk daun muda dengan penyesalan.
“Katakan! angin yang mana yang membuatmu ketakutan,” seru pohon tua itu akhirnya, “sementara selama ini angin menjadi satu-satunya alasan daun-daun jatuh dan tumbuh.”
Lelaki itu akhirnya pergi dan berjanji kembali. Berjalan dan berjalan seraya mencari ketetapan hati. “Tempat ternyaman adalah diri sendiri, dengan kebebasan hakiki.” Satu pemikiran mulai menguasai dirinya.
Sang pengembara telah menemukan dunianya sendiri.
Setahap demi setahap dunianya kembali lagi, si pohon tua mulai menerbangkan daun-daun gugur ke segala arah. Membentuk satu lukisan indah kala senja. Angin kecil menemani setiap waktu menciptakan tarian tatkala daun muda tumbuh sebesar lidi.
Riuh dunia telah membawanya pergi. “Andai saja waktu membawanya kembali, akan kuceritakan tentang swastamita yang menerobos bayangan ilalang di halaman ini. Indah sekali.”
Jiwanya lara mengandung rindu kian membesar. Menunggu satu janji yang tak secepatnya di tepati. Ia memandang lurus ke segala arah, menangkap setiap bayangan hitam. Memicingkan mata, menggapai setiap dersik yang singgah di sela-sela dedaunan. “Adakah ini engkau, sang pengembara?”
Dunia itu menjeratnya, sang pengembara melihat kilau kening dunia. Senyum menggoda mata-mata cinta yang membawanya berpetualang, melengkapi sisi jiwa pengembaraannya.
Sampai malam ini, sang pengembara datang. Membawa perut lapar dan jiwa kehausan. “Tak ada yang lebih memberatkan langkahku, selain panggilanmu yang menjerat kuat-kuat,” bisiknya penuh cinta. Nayanika di wajahnya berbicara.
Ia pernah diajarkan memaafkan, seberapa jauh langkah meninggalkan pulang adalah satu kepastian. Embun pagi di pucuk daun muda bersatu menghilangkan haus sang pengembara.
Akal dan perasaan mulai tidur membangun mimpi tentang indah asmaraloka kembali. Pohon tua mulai bernyanyi menembangkan kidung keindahan bersama sang pengembara.
“Lepaskan! Lepaskan jubah pengembaraan yang selama ini kau kenakan, dan jadikan alas di bawah reruntuhan daun tua milikku. Daun muda ‘kan memayungimu sepanjang usia,” bisik pohon itu merayu.
“Sampai kapan pun pengembara tak pernah tinggal diam. Jiwa dan raganya milik alam, dan ke sanalah dia ‘kan berjalan.”
Ia tak mengerti apa yang kan diberi, satu persatu ranting dikumpulkan sebagai teman kehangatan suatu saat nanti. “Percayalah kita kan bersama dalam satu kehangatan abadi. Bersama fajar dan senja yang tak pernah mati.
Tak … tak … tak … dua biji batu di adu terus meneru oleh tangan si pengembara. Si pengembara tersenyum.
Tak … tak … tak …
Bunyi batu beradu kembali. Pohon tua ikut tersenyum. Ranting-ranting kecil tertata rapi. Mereka bahagia bersama. Semua itu membentuk satu irama tersendiri. Duka-duka lindap bersama gelap.
Secercah cahaya terpetik dari dua batu itu, Kecil nyaris sempurna. Terngiang rajukkan sang pohon meminta teman. Penghangat dari kesunyian-kesunyian yang menggelapkan.
“Kau harus menyala dan terang untuk dirimu sendiri.” Sang pengembara menyimpan percikan api di bawah tumpukan ranting-ranting kecil. Perlahan-lahan kegelapan hilang, api kecil menyala terang. Terus menyala terang dan membesar. Membakar daun-daun tua di tanah, di atas tangan dan jantung si pohon.
Nyaris habis, masih kurang. Lagi digapainya pucuk daun muda di atas dahan. Terdengar rintih pohon tua, “ini tidak hanya hangat, panas telah mengambil seluruh kesejukanku.” Burung-burung malam melihat dengan tatapan merah. Hilang suara-suara alam di sekitar, tenggelam dalam satu kobaran terang.
Angin kecil membisikkan, “menyala-nyala-nyala dan habis.” Pohon tua kehilangan kesejukan.
Seperti janjinya, sang pengembara membangun satu rumah indah. Berpagar kayu tanpa ketakutan angin besar menjatuhkan pohon tua. Satu kesempurnaan tercipta, bersama cahaya pagi dan malam hari di halaman yang sama. Sang pengembara merangkai angan-angan kepulangan.
“Tahukah engkau, bersamamu masih menjadi tempat ternyaman.”
Sang pengembara rebah di balai-balai kayu dari pecahan tubuh pohon tua yang selamat dari abu.
Surabaya, 05 Oktober 2021
Bionarasi Penulis
Lilin adalah nama pena dari ibu rumah tangga 37 tahun kelahiran Kota Surabaya. Dia pengagum sunyi dan sendiri. Menulis merupakan ekspresi meluangkan segala perasaan. Puisinya bisa dinikmati dalam antologi bersama pemuisi Jatim, puisi dua larik ‘Kalam 16 Seroja’, ‘Sepotong Sajak di Tepian Senja’ bersama grup literasi SASTRA PUJANGGA INDONESIA. Serta karya Solo noveletnya “Jejak Yang Tertinggal” sedang dalam proses cetak. Dan masih banyak antologi-antologi yang saat ini sedang dipersiapkannya. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media online saat ini.
Jejaknya bisa dilacak di akun instagram Farren_farrenz atau farrenmey. Bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin (Mey Farren)