Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd
Ka SMPK Frateran Ndao
Pengantar
“Sesungguhnya hati adalah ladang, maka tanamkanlah ia dengan perkataan yang baik, karena jika tidak tumbuh semuanya (perkataan yang tidak baik) niscaya tumbuh sebagiannya.”
”Sukses bukanlah kunci kebahagiaan. Kebahagiaanlah kunci menuju sukses. Jika Anda mencintai apa yang Anda kerjakan, Anda akan menjadi orang sukses” Herman Cain, pebisnis dan penulis Amerika Serikat.
Guru sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No.74 tahun 2008 dan Undang-undang No.14 tahun 2005 merupakan pendidik profesional yang memiliki tugas merencanakan, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik serta melaksanakan tugas tambahan.
Dalam melaksanakan tugas mulia tersebut, maka guru harus memiliki keterampilan pembelajaran abad 21 yang dicirikan dengan 6C (Communication, Collaboration, Critical Thinking, Creativity, Compassion, Computational Logic).
Keterampilan-keterampilan ini, tidak lain adalah dalam rangka mempersiapkan Generasi Emas 2045.
Maka, pemerintah perlu menguatkan karakter generasi muda agar memiliki keunggulan dalam persaingan global abad 21 yang dikemas dalam program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Program PPK adalah program pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati (etika dan spiritual), olah rasa (estetika), olah pikir (literasi dan numerisasi), dan olah raga (kinestetik) yang sesuai dengan falsafah Pancasila, dengan melibatkan dukungan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat sebagai tri pusat pendidikan.
Dan dalam tulisan ini, titik fokusnya pada olah hati, dalam kaitan dengan peran guru sebagai pendidik yang mendidik dan pengajar yang mengajar.
Pengertian mendidik dan mengajar, Hati:
- Mendidik: dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan, baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu “mendidik” dikatakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental dan akhlak peserta didik. Atau dari segi isi, mendidik sangat berkaitan dengan moral dan kepribadian. Jika ditinjau dari segi proses, maka mendidik berkaitan dengan memberikan motivasi untuk belajar dan mengikuti ketentuan atau tata tertib yang telah menjadi kesepakatan bersama. Kemudian bila ditilik dari segi strategi dan metode yang digunakan, mendidik lebih menggunakan keteladanan dan pembiasaan. Secara etimologi kata pendidikan (mendidik) itu sendiri, berasal dari bahasa Latin yaitu ducare, berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan e, berarti “keluar”. Jadi, pendidikan (mendidik) berarti kegiatan “menuntun ke luar”. Keluar dari kegelapan menuju terang, dari kebodohan menuju kepandaian. Inilah tugas dari guru yang berasal dari bahasa sansekerta gu yang berarti darkness (kegelapan) dan ru, yang berarti light (terang, cahaya). Dengan demikian, makna kata guru adalah mengantar orang lain (peserta didik) keluar dari kegelapan menuju terang, dari kebodohan menuju kepandaian.
- Mengajar: segala upaya yang disengaja dalam rangka memberi kemungkinan bagi peserta didik untuk terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Atau jika ditinjau dari segi isi, maka mengajar berupa bahan ajar dalam bentuk ilmu pengetahuan. Ditinjau dari segi prosesnya dilakukan dengan memberikan contoh kepada peserta didik atau mempraktikkan keterampilan tertentu atau menerapkan konsep yang diberikan kepada peserta didik, agar menjadi kecakapan yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ditinjau dari segi strategi dan metode yang dapat digunakan untuk mengajar misalnya ekspositori dan inkuiri. Wina (2006: 95-96) menjelaskan bahwa kata “teach” atau mengajar berasal dari bahasa Inggris kuno, yaitu teacem. Menurut Maswan dan Khoirul Muslimin (2011: 219) mengajar adalah memberi pelajaran kepada sesorang (peserta didik) dengan cara melatih dan memberi petunjuk, agar mereka memperoleh sejumlah pengalaman.
- HATI: merupakan harta yang paling berharga dalam hidup ini. Dengan hati, kita akan mencintai dan menyayangi keluarga, sahabat, peserta didik, relasi, alam, dan banyak lagi yang lainnya. Dengan hati, kita akan dapat bekerja lebih baik lagi. Banyak sekali kehancuran didunia saat ini yang diakibatkan oleh kehancuran hati manusia itu sendiri. Atau HATI merupakan “raja” atas manusia itu sendiri, sedangkan fal-fal tubuh lainnya, seperti: tangan, kaki, mulut, otak hanya menuruti perintah dari kata HATI.
Pentingnya Mendidik dan Mengajar dengan Hati
Mendidik dan mengajar, merupakan dua kata yang menjadi satu (two in one). Artinya pada saat mengajar secara bersamaan, terjadi juga mendidik atau sebaliknya.
Namun, terkadang para pendidik/guru mengeluh, bahwa mereka tidak punya waktu untuk mendidik, semua mengejar materi dengan fokus pada mengajar.
Memang membutuhkan pendidik/guru yang profesional, yang bisa mengintegrasikan keduanya menjadi satu.
Namun, memang tidak semua pendidik/guru, mampu melakukan itu, sebab bisa jadi, seorang pendidik ia pandai mengajar, tetapi belum tentu ia mampu mendidik dengan baik.
Mungkin terkadang kita tumpang tindih mengartikan mendidik dan mengajar, dalam arti mendidik sama dengan mengajar atau sebaliknya.
Tetapi secara teoritis ataupun secara leksikal, sesungguhnya mendidik dan mengajar itu berbeda dalam makna, bobot dan hasilnya.
Mendidik artinya proses transfer pengetahuan dan nilai, melalui kegiatan keteladanan dan pembiasaan. Bobotnya adalah pembentukan sikap mental/kepribadian. Mendidik jauh lebih luas dari pada mengajar.
Hasil pendidikan tidak dapat dilihat dalam jangka waktu yang dekat atau singkat atau secara instan. Mendidik merupakan kegiatan integratif olah pikir (literasi dan numerasi), olah hati (etika), olah rasa (estetika) dan olah raga (kinestetik).
Sedangkan mengajar artinya proses mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan semata. Bobotnya adalah penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu.
Hasil dari mengajar dapat langsung dilihat atau diukur berupa instrumen perubahan perilaku yang bersifat verbalistis.
Namun, apapun itu entah mendidik ataupun mengajar, maka haruslah dengan menggunakan HATI. HATI adalah lambang CINTA.
Itu artinya mendidik ataupun mengajar haruslah atas dasar CINTA. Sebagaimana setiap anak atau setiap peserta didik adalah buah dari CINTA seorang wanita dan pria, maka sudah sewajarnya merekapun dididik dan diajar dengan CINTA/HATI, yang tulus.
Asumsi saya masih banyak diantara kita, para pendidik insan cendikia, yang masih mendidik ataupun mengajar dengan tidak memakai HATI / CINTA, melainkan dengan menggunakan “tangan besi” atau kekerasan, baik verbal maupun non verbal.
Akibatnya banyak peserta didik yang terluka perasaan dan hatinya. Kekerasan, baik verbal maupun non verbal, tidak akan membuat peserta didik kita berubah mental dan sikapnya, malah dia akan menjadi tambah ”liar”, terpuruk, down, karena sudah terstigmata dengan ucapan atau predikat yang dialamatkan kepadanya.
Ingat, batu karang yang keras akan berlubang juga, jika ditetesi dengan tetesan air yang terus menerus.
Demikianpun dalam mendidik ataupun mengajar peserta didik kita, yang ”nakal atau bandel, lambat belajar”, tidak harus dengan kekerasan fisik atau dengan kata-kata kasar/ sinis/ makian.
Justru dengan itu, malah membuat mereka menaruh dendam pada kita atau menanam kebencian pada kita, juga membuat mereka kurang simpati pada kita.
Oleh karena itu, jika kita pendidik/guru ingin dicintai, diidolakan, dikagumi dan dikenang oleh peserta didik, maka tanamkanlah CINTA, kebaikan, maka kita akan menuai CINTA dan kebaikan pula.
So, mendidik ataupun mengajar dengan HATI, menyadarkan kita, bahwa mendidik ataupun mengajar peserta didik (manusia) harus menyentuh HATI-nya, percayalah pasti dia akan berubah 180 derajat.
Apalagi didukung dengan PendiKar (Pendidikan Karakter), mewajibkan kita untuk mengolah pikiran (literasi dan numerasi), mengolah HATI (etika, spiritual), mengolah rasa (estetika), mengolah raga/jasmani (kinetetik).
Paling tidak kita terlebih dahulu menginternalisasikan nilai-nilai PendiKar itu. Buahnya akan memancar keluar lewat sikap, perilaku, tutur kata dan tindakan kita, lewat keteladanan dan pembiasaan hidup kita.
Pendidik/guru yang sungguh-sungguh mendididik ataupun mengajar dengan HATI serta menginternalisasikan nilai PendiKar, maka pola pendekatannya adalah pendekatan hati (heart approach).
Pendekatan hati tidak berarti membiarkan peserta didik yang lambat belajar, yang bersalah, yang ’’kurang ajar’’, melainkan lebih kepada meng-orangkan orangnya, dengan prinsip keras dalam tindakan, lunak dalam cara (mollis in duris action in via). Itulah mendidik dan mengajar dengan HATI, menurut hemat saya.
Nilai yang Ditanamkan melalui Mendidik dan Mengajar dengan Hati
Mendidik ataupun Mengajar, bukanlah semata-mata penyampaian materi bahan ajar, melainkan usaha untuk membekali pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta nilai-nili karakter kemanusiaan.
Pertanyaannya, dengan cara apa yang paling efektif untuk mendidik ataupun mengajar?
Jawaban yang mungkin bisa dicoba adalah mendidik ataupun mengajar dengan HATI, sembari kita memahami potensi dan posisi diri kita terlebih dahulu, baru kemudian mencoba untuk melihat dari kacamata orang lain, sehingga kita dapat memperlakukan peserta didik sesuai dengan harapannya serta berempati terhadap keadaannya dan akhirnya, yang utama adalah contoh perbuatan (keteladanan) yang pasti akan membekas dan diingat.
Jika kita pendidik/guru paham, mendidik ataupun mengajar dengan HATI, tentu dunia pendidikkan kita, akan meretas kaula muda yang cerdas dan berkarakter, positif dan membanggakan, baik secara intelektual, emosional, spiritual, sosial dan moral. Inilah nilai hasil pendidikan yang holistik.
Maka, mari kita mulai dari berpikir diri kita secara positif, kemudian pikirkan peserta didik secara positif juga, sehingga kita bisa mendidik ataupun mengajar mereka dengan HATI yang positif, untuk keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Oleh karena itu, mari:
“Jaga HATI kita, maka mereka akan menjadi pikiran kita, Jaga pikiran kita, maka mereka akan menjadi kata-kata kita, Jaga kata-kata kita, maka mereka akan menjadi tindakan kita, Jaga tindakan kita, maka mereka akan menjadi kebiasaan kita
Jaga kebiasaan kita, maka mereka akan menjadi sifat kita, Jaga sifat kita, maka mereka akan menjadi siapa mereka”.
Ingat, apa yang kita didik ataupun kita ajar, itulah yang akan kita tuai. Buah tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya, kecuali tanahnya miring.
Lebih lanjut, keberhasilan pendidikkan, khususnya di sekolah tidak hanya ditentukan oleh kemahiran para pendidik/guru dalam mendidik ataupun mengajar, namun lebih kepada bagaimana seorang pendidik/guru dalam mendidik ataupun mengajar peserta didiknya.
Pendidik/guru yang baik dan profesional adalah seorang yang bisa mendidik ataupun mengajar sekaligus peserta didiknya, dengan menggunakan HATI.
Dengan kemampuannya, untuk mendidik ataupun mengajar secara baik dengan HATI, maka akan menghasilkan peserta didik yang tidak hanya cerdas secara kognitif/intelektual, namun juga berkarakter, berakhlak dan beriman, yang pada akhirnya akan melahirkan generasi penerus yang arif dan bijaksana, serta ber-HATI mulia.
Mendidik dengan HATI, lebih kepada bagaimana sikap dan perilaku pendidik/guru dalam keseharian. Ia akan menjadi role model atau figur teladan bagi peserta didik.
Mendidik dengan HATI, berarti juga setiap pendidik/guru dalam dirinya harus memiliki HATI yang lembut nan belas kasih, sebagai seorang ibu dan bapak, terhadap setiap peserta didiknya.
Demikian juga saat mengajar, harus juga menggunakan HATI yang lembut penuh belas kasih, sabar terhadap peserta didik yang rewel, nakal dan lambat belajar. Bahwa mengajar yang baik itu dengan cara mendidik.
Oleh karena itu, mengajar itu penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah kegiatan mendidik.
Mengajar lebih mengarah kepada bagaimana membangun kecerdasan pikiran manusia; membangun manusia-manusia yang pandai secara intelektual.
Kegiatan mendidik lebih terarah kepada bagaimana menyadarkan peserta didik dapat mengubah dirinya, menjadi manusia seutuhnya (holistik), baik secara intelektual, emosional, spiritual, sosial dan moral.
Penyadaran itu tidak bisa dilakukan melalui mengajar saja, tetapi terutama lewat mendidik, di mana prinsip keteladanan dan pembiasaan dari sang pendidik/guru menjadi sangat penting.
Tanpa sebuah keteladanan (melalui kata maupun tindakan) dan pembiasaan yang baik, seorang peserta didik yang ”nakal” akan tetap menjadi nakal, bahkan mungkin akan semakin nakal atau ”liar”.
Mewujudkan Pola Mendidik dan Mengajar dengan Hati
Mendidik ataupun mengajar dengan HATI, berarti seorang pendidik/guru, sesungguhnya dalam dirinya telah memiliki dan menghayati sikap kepedulian dan keprihatinan.
Tidak hanya itu, jika para pendidik/guru, melakukan tugas profesi dengan mendidik ataupun mengajar dengan HATI, berarti juga mereka telah menginternalisasikan nilai sikap HATI yang mengasihi.
Mendidik ataupun mengajar dengan HATI, sesungguhnya adalah ciri pendidik/guru sebagai seorang hamba yang siap melayani.
Baginya HATI merupakan pusat pikiran atau pertimbanganya, maka segala kata dan tindakannya berasal dari HATI-nya.
Dengan demikian, ketika peserta didiknya bermasalah atau ber-ulah, maka setiap pendidik/guru yang memiliki HATI sebagai seorang ibu dan bapak, akan sangat bijaksana menyikapinya, bahkan dia menunjukan sikap empati.
Sikap empati adalah sikap peduli kepada orang lain (peserta didik) secara nyata, baik dalam kata maupun tindakan.
Maka, pendidik/guru yang berempati adalah sosok yang murah senyum, ramah, lembut hati tetapi tegas.
Ia tidak akan mudah marah kepada peserta didiknya yang membuat ulah. Ia akan mencari tahu mengapa seperti itu; solusi apa yang tepat untuk memecahkan masalah itu.
Jika demikian, maka tidak berlebihan, bila pendidik/guru disebut sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa, yang selalu memiliki etos kerja atau semangat untuk mengabdi tanpa pamrih.
Dalam dirinya terdapat prinsip atau nilai yang luhur, bahwa menjadi pendidik/guru adalah panggilan Ilahi untuk ikut serta dalam “mencipta dan membebaskan” manusia muda dari kebodohan dan kelemahan manusiawinya”.
Maka, dalam arti ini para pendidik/guru dapat menjadi rekan kerja Allah atau co-creator Allah.
Dan jikalau pendidik/guru adalah pahlawan, maka ia seharusnya mau berjuang bagi banyak orang, terutama bagi peserta didiknya.
Ia memelekan mata hati yang buta pengetahuan, membebaskan mereka yang terbelenggu kebodohan, serta memberi tuntunan kepada mereka yang tidak tahu arah tujuan.
Ini adalah pengabdian besar dan tidak mudah. Pendidik/guru yang memiliki HATI yang empati, tidak akan pernah menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis, melainkan medan perjuangan untuk membangun generasi muda yang arif dan bijaksana, cerdas dan berkarakter.
Pendidik/guru yang baik yang profesional, yang memiliki HATI tidak hanya menguasai bidang pengajarannya, tetapi ia juga yang sadar bahwa peserta didiknya tidak hanya meneladani apa yang ia ajarkan malalui PBM di dalam kelas, tetapi terlebih dari sikap dan perilaku sang pendidik/guru melalui keteladanan dan pembiasaan hidup.
Para pendidik/guru yang memiliki HATI, dalam mendidik ataupun mengajar harus juga memiliki HATI yang selalu tergerak dan bergerak untuk bertindak oleh belas kasihan kepada peserta didik yang “sakit, buta, lambat belajar, lumpuh, cacat” secara intelektual, emosional, sosial, spiritual dan moral.
Sebagaimana Yesus Sang guru sejati, tergerak hati-Nya oleh belas kasihan kepada para pengikutNya, mereka yang lapar, yang menderita (bdk. Mat.9: 32- 38).
Maka sekali lagi kita harus berguru kepada HATI sang guru sejati, yakni Yesus., yang selalu bersabda “belajarlah pada-Ku, sebab Aku ini lemah lembut dan rendah hati.
Akhirnya, berikan HATI-mu wahai pendidik/guru, maka ‘kan engkau lihat secercah perubahan pada diri peserta didikmu.
Penutup
”Tujuan besar dari pendidikkan bukan pengetahuan, tetapi tindakan (action).” Herbert Spencer Filsuf Inggris “
“Orang-orang yang paling berbahagia, tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik, dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya”
Setiap pendidik/guru harus menyadari dirinya sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.
Secara filosofi pendidikan adalah proses yang panjang dan berkelanjutan, untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang lebih manusiawi.
Itulah sebenarnya tujuan dari sebuah pendidikan, yang di dalamnya pasti ada unsur mendidik ataupun mengajar, tetapi harus dengan HATI, sehingga bermakna.
Betapa pentingnya mendidik ataupun mengajar dengan HATI, sebab mengajar yang berdampak bukanlah dari kepala ke kepala (head to head), tetapi dari HATI ke HATI (heart to heart).
HATI adalah pusat pertimbangan, sebelum kita menentukan pilihan tindakan tertentu. HATI membuat kita peka akan perasaan orang lain, dalam hal ini peserta didik, sehingga kita mampu berempati dengan keadaan peserta didik, tidak mudah menghakimi atau melecehkan peserta didik.
HATI membuat kita mempertimbangkan perlakuan yang tepat, yang dibutuhkan oleh harus peserta didik. Mengajar dengan kepala sangatlah mudah, tetapi mengajar dengan HATI jauh lebih sulit, meski pasti akan lebih bermanfaat dan berdampak luas.
Mendidik dengan HATI menjadi penting, karena sesungguhnya itulah mengajar yang mengubah hidup (Dr. Howard G. Hendricks, Teaching to Change Lives, 1987).
Peserta didik yang kita didik adalah makhluk yang memiliki HATI nurani atau perasaan/emosi.
Emosi berperan penting dalam kehidupan, sebab emosilah yang menggerakkan kita untuk bertindak.
Kesadaran diri dan pengetahuan tentang emosi memungkinkan kita memulihkan kehidupan, membangun hubungan kasih yang langgeng dan menimbulkan kebahagiaan sejati.
Itu berarti para pendidik/guru perlu memiliki kecerdasan emosional, yang akan menolongnya untuk menunjukkan bela rasa/berempati, penyesuaian diri dan pengendalian diri.
Orang yang cerdas secara emosi dapat menentukan pilihan-pilihan yang baik dan mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan orang lain. Karena itu para pendidik/guru, perlu belajar mencerdaskan emosi, agar memiliki kepekaan dalam mendidik ataupun mengajar dengan tepat.
Bagaimana caranya menjadi cerdas secara emosi? Pertama-tama, kita perlu mengembangkan kesadaran emosional aktif yaitu mengenali sepenuhnya setiap emosi yang kita rasakan setiap hari, kemudian kita menggunakan emosi bersama dengan daya kesadaran kita, untuk menjalani kehidupan ini dengan lebih baik dan pasti lebih bijaksana.
Semua pembelajaran dimulai dari perasaan, peserta didik harus merasa nyaman, senang dengan pendiidik/guru yang mendidik ataupun mengajar, mereka mampu menerima apa yang mereka rasa, serta menolak apa yang harus ditolak.
Sadarilah pula, bahwa tugas awal para pendidik/guru adalah membangun relasi dengan peserta didik, dengan memakai HATI, niscaya mereka akan terbuka, serta akan terjadi perubahan yang signifikan dalam dirinya.
Mulailah dari dan dengan HATI, mendidik ataupun mengajarlah dengan HATI, agar perintah dipandang sebagai pelita, ajaran adalah cahaya yang menuntun pada kehidupan (Amsal 6:23).