Ruteng, Vox NTT- Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia tentu saja membawa dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya, masyarakat dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kebiasaan baru akibat badai virus Corona, terutama di bidang ekonomi.
Dr. Marselus R. Payong, M.Pd, dosen di Unika St. Paulus Ruteng mengatakan, pandemi Covid-19 menjadi peluang dan tantangan tersendiri bagi pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia.
Data memperlihatkan bahwa selama tahun 2020, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia mencapai Rp1.100 triliun.
Menurut Marsel, di tengah lesunya ekonomi pada sektor-sektor lain, ekonomi kreatif justru masih bisa bertahan. Meski memang tidak pada semua sektor.
Hal ini disebabkan karena industri ekonomi kreatif bersifat industri individual dan industri rumahan yang kurang mempekerjakan banyak orang secara massal seperti pabrik, outlet-outlet atau perkantoran.
“Dalam konteks ini, sisi produksi dari ekonomi kreatif tidak terganggu,” kata Marsel saat hadir sebagai pemateri dalam Webinar Literasi Digital, Pengembangan Ekonomi Kreatif di Masa Pandemi, Senin (18/10/2021).
Marsel mengatakan, peluang tumbuhnya ekonomi kreatif selama pandemi Covid-19 justru dipicu juga oleh pemanfaatan teknologi digital. Bahkan banyak pelaku industri kreatif seperti content creator, youtuber, dan lain-lain yang justru menangguk untung dalam situasi ini.
BACA JUGA: Marsel Payong Ingatkan Pengguna Internet untuk Tidak Menjadi Hamba Teknologi
Meski begitu, lanjut dia, di sisi yang lain terutama dari segi pemasaran, beberapa sektor ekonomi kreatif mengalami stagnasi atau bahkan macet. Sebut saja misalnya, bisnis seni pertunjukan, barang antik, atau kerajinan-kerajinan tertentu ikut terkena dampak.
“Hal ini karena platform pemasarannya masih bersifat tradisional. Beberapa di antaranya seperti perajin-perajin yang mengandalkan pasar pada kawasan-kawasan destinasi wisata terganggu karena pembatasan kunjungan wisatawan,” kata Alumni PMKRI Cabang Ruteng itu.
Namun ketika beralih kepada platform digital, dengan memanfaatkan jasa pemasaran secara online, maka sektor ini bisa bertumbuh.
Ia menambahkan, ekonomi kreatif membutuhkan perubahan mindset dan cara berpikir di mana orang harus cerdas dan kreatif untuk menciptakan peluang dan mengubah nilai-nilai tambah tertentu pada produk-produk yang dihasilkan.
“Kreatif di sini artinya mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa dan bernilai ekonomis,” terang Marsel.
Potensi Pengembangan Ekonomi Kreatif di NTT
Dalam materinya pula, Marsel menyentil tentang potensi pengembangan ekonomi kreatif di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang ia nilai sesungguhnya sangat besar.
“Selain produk-produk kerajinan seperti tenun ikat, ada banyak produk-produk kreatif yang bisa dihasilkan dari bahan-bahan baku lokal yang ada,” pungkas Marsel.
Misalnya, sebut Marsel, kawasan-kawasan pesisir di NTT yang cukup banyak dengan komoditi kelapa.
Produk kelapa bisa mendatangkan banyak nilai tambah, selain hanya dijual buahnya. Kelapa yang sudah tua, selain bisa menghasilkan minyak kelapa murni, juga limbah-limbahnya bisa diolah melalui teknologi tertentu untuk menghasilkan kerajinan-kerajinan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Sabut kelapa misalnya, saat ini sudah bisa dibuat aneka kerajinan seperti keset, tas, tali, topi, dan lain-lain. Sedangkan tempurung/batok kelapa bisa diolah menjadi barang kerajinan seperti alat makan, hiasan dinding, lampu hias, bahkan bisa dibuat briket batok kelapa yang punya nilai jual ekonomi tinggi.
Persoalannya menurut Marsel, terletak pada sumber daya manusia yang masih rendah, kurangnya kreativitas dan keterampilan untuk mengolahnya, serta masih terbatasnya pelaku-pelaku ekonomi kreatif sebagai agen penggerak.
“Selain itu, dukungan teknologi dan modal yang masih terbatas juga menjadi kendala,” imbuh dia.
Namun demikian, lanjut dia, jika pemerintah daerah atau pemerintah desa punya kemauan maka hal itu bisa diatasi.
Khusus untuk masyarakat pedesaan, dana-dana desa dapat digunakan untuk pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan keterampilan masyarakat dan belanja teknologi.
“Dalam hal ini kita berharap banyak dari BUMDes yang ada di desa-desa agar dapat berkontribusi bagi tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi kreatif di desa-desa,” ungkap Marsel.
Pendidikan, Faktor Penting
Marsel menyebut, untuk menumbuhkan spirit dan semangat menjadi pelaku-pelaku ekonomi kreatif masa depan, maka pendidikan merupakan faktor penting.
Dalam konteks ini, ia berharap agar kurikulum pendidikan tidak hanya menekankan pada pembentukan kecakapan-kecakapan intelektual saja, tetapi lebih dari itu harus menghasilkan insan-insan yang cerdas dan kreatif di masa depan.
Menurut dia, insan cerdas kreatif tidak ditentukan oleh hasil ujian nasional atau hasil asesmen kompetensi minimal, tetapi oleh perubahan mindset sebagai pelaku-pelaku usaha dan bukan hanya sebagai pekerja.
“Saya melihat selain kurikulum 2013 dengan pendekatan saintifik yang berorientasi pada pembentukan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan pembentukan kreativitas, kurikulum muatan lokal memainkan peranan penting,” jelas Marsel.
Dikatakan, kurikulum muatan lokal selama ini hanya dipahami sebagai masuknya konten-konten budaya lokal ke dalam kurkulum di sekolah.
Padahal spirit dari muatan lokal itu sendiri adalah konten-konten yang berkaitan dengan pengembangan potensi lokal, di mana peserta didik itu berada.
“Sehingga kelak dia bisa memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya untuk mengolah potensi-potensi lokalnya,” imbuh dia.
Marsel mencontohkan, sekolah yang punya kekayaan alam seperti bambu, maka kurikulum muatan lokalnya adalah keterampilan-keterampilan kreatif yang berkaitan dengan pengolahan bambu.
“Dan untuk kurikulum muatan lokal tidak ada salahnya jika sekolah juga menggandeng pelaku-pelaku ekonomi kreatif terkait agar anak-anak sejak dini diperkenalkan dengan keterampilan-keterampilan untuk mengolah produk-produk lokalnya,” kata Marsel.
Penulis: Ardy Abba