Oleh: Fortunatus Hamsah Manah
(Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT)
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 yang merupakan pengujian terhadap Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di mana pasal tersebut mengatur sebagian tentang kepemiluan menjadi polemik tersendiri dalam proses penyelenggaran pemilu.
Berdasarkan putusan MK, bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan implikasi dari putusan MK tersebut adalah dilaksanakan Pemilihan Umum Nasional Serentak, yakni pemilu yang dilakukan secara bersama-sama antara DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota yang dilakukan secara bersama tahun 2019 dan tahun-tahun selanjutnya.
Terkait keserentakan pemilu, argumen utama yang eksplisit disebut dalam putusan MK adalah bagaimana memperkuat sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, dan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan pemilihan dari sisi anggaran, waktu dan pengelolaan konflik.
Pemikiran tersebut ada benarnya sebab dalam empat kali pemilu (1999, 2004, 2009 dan 2014) pemerintahan yang terbentuk hanya menghasilkan pemerintah minoritas (minority government). Presiden terpilih berasal dari partai yang tidak meraih suara terbanyak di DPR (Harun Husein, 2014: 523).
Bagaimana desain keserentakan pemilu dan korelasinya dengan upaya memperkuat sistem presidensil. Itulah hal yang dikupas dalam tulisan ini.
Putusan MK ini sangat menarik, melalui pengujian Undang-undang, MK meletakkan agar sistem pemilu Indonesia dapat berkembang kearah yang lebih demokratis.
Putusan ini menjadikan penyelenggaran pemilu dilakukan secara simultan sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mengamatkan pemilu serentak, atau yang lebih spesifik disebut pemilu lima kotak.
Pada pemilu 2014, pemilihan legislatif dilakukan terlebih dahulu daripada pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk mendapatkan dukungan demi keterpilihan sebagai presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, calon presiden harus melakukan bargaining politik terlebih dahulu dan berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahaan dikemudian hari.
Pada kenyataannya tawar-menawar politik ini hanya bersifat taktis dan hanya untuk kepentingan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang.
Implikasinya adalah presiden akan memiliki ketergantugan pada partai politik dan dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan pemerintahaan menurut sistem presidensial.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013, MK juga menyiratkan bahwa diperlukannya penyatuan/kodifikasi Undang-undang pemilu legislatif dan presiden.
Hal demikian menjadi sangat penting sehingga peraturan perundang-undangan pemilu lebih terkonsolidasi dan sinergi. Maka lahirlah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang mengamanatkan Pemilu serentak untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam konteks pilpres, penyelenggaraannya dilakukan dengan menghindari adanya negosiasi politik yang sifatnyanya taktis dan sesaat, karena itu dibutuhkan penataan sistem pemilu yang dapat menciptakan coattail effect.
Teori coattail effect pemilih akan memilih partai politik yang sama dengan calon presidennya atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.
Coattail effect akan diperoleh jika pemilu dilaksanakan serentak. Hasil studi pada banyak negara dan menemukan bahwa semakin serentak pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif semakin dapat dipetik manfaat konsolidasi baik untuk sistem kepartaian di parlemen maupun sistem kepartaian kepresidenan.
Pada praktiknya, berdasarkan data yang dihimpun Bawaslu pada Pemilu 2019, keserentakan Pemilu melahirkan antusiasme pemilih terhadap Pilpres terbilang tinggi.
Hal itu dapat dilihat dari tingginya partisipasi pemilih yang mencapai 81,93 % dan suara sah Pilpres lebih besar dari suara sah Pileg pada gelaran pemilu serentak 2019 lalu.
Pada pemilu serentak tahun 2019 jumlah suara sah untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yaitu 154.257.601. Artinya ada kenaikan dari sebelumnya, yaitu pada Pilpres 2014 yang hanya 133.574.277.
Sementara pada level Pileg, jumlah suara sah juga mengalami peningkatan dari 124.972.491 pada Pileg 2014 menjadi 139.971.260 pada pemilu serentak 2019.
Dari gambaran diatas dapat dijelaskan bahwa, suara sah yang besar pada surat suara Pilpres dibandingkan dengan surat suara pada Pileg dapat dibaca sebagai gejala bahwa, panggung Pilpres jauh lebih “seksi” ketimbang Pileg.
Argumen ini diperkuat oleh temuan Charta Politika yang dirilis sebelum hari pemungutan dan penghitungan suara, pada April 2019 yang lalu, dimana 75,4 persen dari 800 responden yang disurvei menjawab akan memilih kertas suara Pilpres terlebih dahulu.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa, Pileg 2019 cenderung “diabaikan” masyarakat karena euforia kontestasi Pilpres 2019 yang ketat dan sengit. Ada pula sejumlah hal lain yang masih menyisakan persoalan, misalnya rumitnya proses administrasi pemilu serentak 2019, banyaknya korban penyelenggara pemilu yang meninggal akibat kelelahan, hoaks dan politik identitas yang meningkat serta masalah-masalah klasik pemilu lainnya.
Pilihan atas format pemilu semestinya merupakan satu kesatuan rangkaian paket pilihan bersama-sama dengan sistem pemerintahan, sistem perwakilan, dan sistem kepartaian.
Artinya, harus ada koherensi dan konsistensi antara pilihan atas sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian.
Karena itu pilihan atas format dan sistem pemilu semestinya bertolak dari kesepakatan tentang tujuan berpemilu itu sendiri, apakah lebih pada tujuan pertama yakni representativeness atau keterwakilan politik semua unsur, kelompok, dan golongan dalam masyarakat, atau lebih pada tujuan kedua yaitu menghasilkan pemerintah yang bisa memerintah atau yang populer disebut sebagai pemerintahan yang efektif.
Dalam praktiknya, Pemilu Serentak 2019 tidak memiliki keterhubungan dimaksud, karena masing-masing sistem bekerja sendiri-sendiri.
Bahkan ada kesulitan misalnya model kertas suara-(ballot) juga tidak sinergis tetapi terpisah-pisah. Hampir muskil menjadikan model kertas suara perihal pemungutan dan penghitungan suara berdampingan antara calon presiden/wakil presiden dengan calon anggota DPR.
Hal itu diakibatkan penerapan sistem proporsional terbuka yang menyulitkan dalam pembuatan disain kertas suara yang diharapkan tidak berbeda, tetapi pada kertas yang sama.
Rumit dan banyaknya jenis surat suara menyebabkan pemilih bahkan kesulitan dalam menentukan pilihan, dan jeda waktunya cukup panjang dari satu pilihan ke pilihan lainnya.
Dalam praktiknya, sistem berjalan sendiri-sendiri tidak ada keterhubungan sama sekali satu dengan lainnya. Dalam konteks keterhubungan antar sistem juga dilihat dari sisi substansi dan sistem kepartaian yang dihasilkan oleh pemilu.
Gambaran Pemilu 2019 di atas menunjukkan bahwa perubahan skema pemilu, dari tidak serentak menjadi serentak hasilnya tetap sama.
Artinya tidak terlalu ada perbedaan antara skema pemilu yang terpisah dengan yang diserentakkan, bahkan pemilu serentak model 5 kotak melahirkan kecenderungan pemilih terfokus pada pemilihan presiden dan wakili presiden, dan malah “menenggelamkan” esensi dari pemilu legislatif dan DPD.
Dari sisi penyelenggaraannya pun terasa rumit dan kompleks, belum lagi dari sisi hasil pemilu yang kurang compatible untuk menghasilkan komposisi politik di satu sisi dan kekuatan politik di sisi lain yang dapat memperkuat sistem presidensial.
Beberapa kajian yang pernah dilakukan oleh para ahli menyebut bahwa kombinasi sistem pemilu proporsional, multi partai dan presidensial, seperti yang dilakukan oleh Mainwaming dan Scully (1955) menyebut bahwa ketiga kombinasi itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Salah satu masalahnya, pemilu tidak menghasilkan kekuatan mayoritas, bahkan partai minoritas berpeluang atau dapat memenangkan pilihan presiden.
Juga terdapat kesulitan-kesulitan dalam membentuk pemerintahan yang kuat atau efektif, karena kesulitan koalisi. Linz dan Stepan (1996) menyebut, dalam presidensial tidak ada watak koalisi seperti dalam parlementer.
Kecenderungan presidensial yang rentan dalam merinci demokrasi, dianggap menimbulkan ketidakstabilan.
Argumentasi terkait keserentakan pemilu memperkuat sistem pemerintahan presidensial, dan melahirkan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan pemilihan dari sisi anggaran, waktu dan pengelolaan konflik belum dapat terwujud dengan sungguh sepanjang sistem pemilu tidak diubah ke arah penyederhanaan partai politik.
Bahkan dari sisi anggaran di pemilu serentak 2024, lembaga penyelenggara Pemilu membutuhkan anggaran sebanyak Rp86 triliun. Anggaran yang dicanangkan KPU itu bisa diambil dari APBN 2021, 2022, 2023, 2024 dan 2025.
Dengan tidak diubahnya Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sebagai dasar pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pemilu serentak 2024, dapat dibayangkan cita-cita memperkuat sistem presidensil melalui desain keserentakan pemilu belum sungguh dapat terwujud.
Menurut saya, desain keserentakan dan sistem pemilu semestinya bertolak ke arah penyederhanaan partai politik demi mewujudkan sistem pemerintahan presidensil yang kuat, demokratis, efektif dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.