Editorial, Vox NTT – Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak diselenggarakan di sejumlah kabupaten di Provinsi NTT pada tahun 2021. Beberapa kabupaten yang menyelenggarakan Pilkades serenteak itu di antaranya: Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Kupang.
Kabupaten Manggarai Timur sudah menyelenggarakannya pada 26 Agustus lalu. Demikian pun dengan Kabupaten Flores Timur, Pilkades serentak sudah diselenggarakan pada 16 Oktober lalu. Sedangkan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Manggarai, Pilkades serentak itu akan diselenggarakan pada bulan November mendatang.
Berdasarkan data yang dihimpun media ini, rincian desa di NTT yang menyelenggarakan Pilkades serentak pada tahun 2021 ialah sebagai berikut: Manggarai Timur 27 desa, Manggarai 94 desa, Kabupaten Kupang 57 desa, dan Flores Timur 118 desa. Dengan demikian, total desa di NTT yang menyelanggarakan Pilkades serentak pada tahun 2021 ialah 296 desa.
Salah satu hal yang patut disoroti dan dievaluasi dari Pilkades serentak yang diselenggarakan di sejumlah wilayah itu ialah minimnya keterwakilan calon perempuan. Di Manggarai Timur misalnya, mayoritas calon kepala desa ialah laki-laki. Dari sejumlah calon yang ada seratus persen kepala desa terpilih juga laki-laki. Di Manggarai, khususnya di Kecamatan Cibal dan Cibal Barat, dari 17 desa yang menyelenggarakan Pilkadas serentak hanya ada satu calon perempuan.
Data di atas memperlihatkan sekaligus mempertegas dominasi laki-laki dalam politik. Dari sisi keterwakilan, perempuan hampir tidak pernah mengimbangi laki-laki dalam menduduki jabatan-jabatan politik. Laki-laki selalu tampil lebih dominan daripada perempuan. Ini merupakan dampak nyata dari budaya patriarki yang sudah menyatu dengan masyarakat kita. Dalam masyarakat patriarki, kiprah perempuan itu terbatas pada ranah domestik. Kalau pun mereka terlibat dalam urusan-urusan publik atau berkarier sebagai pejabat publik, jarang sekali mereka menduduki posisi-posisi strategis.
Dampak dari kenyataan di atas ialah kebijakan-kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan perempuan sangat minim. Padahal, sebagai salah satu kelompok rentan di tengah masyarakat, perempuan harusnya lebih banyak diberdayakan dan dilindungi oleh negara. Upaya pemberdayaan dan perlindungan yang otentik dan efesien oleh negara dapat dilakukan pada level kebijakan dan legislasi. Hanya negara yang efektif beroperasi di wilayah itu. Rakyat bisa saja berpartisipasi di dalamnya, tetapi secara teoretis rakyat lebih efektif beroperasi pada level advokasi dan konsientisasi (penyadaran).
Terkait dengan minimnya keterwakilan perempuan di pentas Pilkades, pertanyaanya, apa yang dapat dilakukan oleh negara pada level kebijakan dan legislasi? Di ranah ini negara dapat saja memberikan “tindakan afirmatif” bagi kelompok perempuan dengan memberikan kuota khusus bagi perempuan. Langkah ini mungkin tidak sepenuhnya akan berhasil meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam pentas Pilkades karena akan selalu terganjal oleh pola pikir patriarkis masyarakat dalam memilih pemimpin. Akan tetapi, paling tidak dengan memberikan “tindakan afirmatif” seperti itu negara menunjukkan keberpihakannya terhadap perempuan yang secara kultural tidak beruntung. Selain itu, pendekatan itu juga dapat mengubah cara berpikir patriarkis yang sudah terlanjur membius kesadaran masyarakat.
Secara gamblang dapat dikatakan bahwa logika dasar di balik kebijakan “afirmative action” bagi perempuan dalam pentas Pilkades ialah bahwa sebagai manusia, perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Kesetaraan itu tidak saja terkait dengan status ontologisnya sebagai manusia, tetapi juga kesetaraan peran sosialnya di ruang publik yang dikonstruksi oleh masyarakat.
Sebagai counter opinion, sejumlah pertanyaan kritis dapat diajukan, misalnya: apakah politik representatif (baca: representasi politik perempuan) merupakan sebuah tujuan an sich (dalam dirinya sendiri) dalam demokrasi ataukah itu hanya sebagai sarana dalam mewujudkan kesejahteraan umum? Seberapa penting kriteria “perempuan atau laki-laki” sebagai pemimpin dalam mewujudkan kesejahteraan umum? Apakah dijamin jika suatu komunitas politik dipimpin oleh perempuan, kepentingan-kepentingan perempuan terakomodasi dalam berbagai kebijakan publik?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dari berbagai sudut pandang. Dari perspektif teori politik, pertanyaan-pertanyaan itu mencerminkan pergeseran paradigma (paradigm shift) dari “politik gagasan” (politics of ideas) menuju “politik kehadiran” (politics of presence) (Phillips, 1995 dalam Dewi H. Susilastuti, 2013).
Dari perspektif politik gagasan, keterwakilan perempuan dalam politik tidak menjadi isu prioritas sejauh kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan publik. Dalam konteks ini, laki-laki yang memiliki wawasan feminis dapat saja dianggap sebagai representasi kehadiran perempuan dalam politik sejauh ia secara konsisten menyuarakan kepentingan perempuan dalam perumusan kebijakan-kebijakan publik.
Sebaliknya, dari perspektif politik kehadiran, laki-laki yang memiliki wawasan feminis tidak cukup dianggap sebagai representasi kehadiran perempuan dalam politik kendati ia secara konsisten memperjuangkan nasib perempuan. Sebab, seorang laki-laki tidak sepenuhnya memahami kebutuhan-kebutuhan perempuan dan aneka persoalan yang dialaminya. Dalam konteks ini perempuan merasa bahwa tidaklah cukup mereka sekadar memiliki wali (trustees) di lembaga-lembaga politik, tetapi mereka harus memiliki delegasi dari kalangan perempuan sendiri yang mewakili mereka dalam pembuatan kebijakan publik. Pada tataran ini delegasi perempuan itu memiliki arti simbolis. Paradigma inilah yang menjadi dasar dalam memperjuangkan representasi perempuan di pentas Pilkades pada khususnya dan di ranah politik pada umumnya.
Penulis: Ferdinandus Jehalut