Oleh: Ardy Abba
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia harus jujur diakui masih belum berjalan maksimal. Boleh dibilang masih jauh dari harapan bersama, yakni menggapai pemilu berkualitas.
Sejumlah sumber menyebut setidaknya ada tiga (3) indikator keberhasilan pemilu. Pertama, Tingginya angka partisipasi pemilih. Kedua, Tidak adanya money politics (politik uang). Ketiga, Materi yang disajikan kepada masyarakat adalah berupa kampanye ide, gagasan dan program, bukan materi hoaks, ujaran kebencian dan politisasi SARA.
Dari tiga indikator tersebut, mari kita cek data. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan tahun 2020 lalu mencapai 76,09 persen. Angka tersebut merupakan hasil rekapitulasi partisipasi pemilih rata-rata pada pemilihan tahun 2020, dibagi 270 daerah yang menyelenggaran pemilu serentak.
Selanjutnya, indikator money politics. Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu, pada Pilkada serentak tahun 2020 terdapat 205 kasus money politics.
Dari total tersebut, 109 kasus berdasarkan laporan masyarakat dan 96 adalah hasil temuan pengawas pemilu. Kemudian, sebanyak 34 diteruskan ke penyidik, 55 diproses di pengawas pemilu, dan 116 dihentikan di pengawas pemilu. (Bisnis.com, 9 Desember 2020)
Sementara terkait politisasi SARA, Dilansir Tribunews.com, 2 Oktober 2020, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Mochammad Afifuddin menyebut setidaknya ada tujuh (7) Kabupaten/Kota dan tiga (3) Provinsi yang punya indeks kerawanan tertinggi terkait materi kampanye negatif di media sosial.
Materi kampanye negatif tersebut meliputi kampanye yang diwarnai ujaran kebencian, isu SARA, hoaks, hingga praktik kampanye hitam.
Menurut dia, 7 kabupaten/kota itu antara lain Kabupaten Sekadau, Kota Bukittinggi, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Solok, Kabupaten pasaman, Kota Sungai Penuh, dan Kabupaten Halmahera Timur.
Sementara 3 provinsi dengan kerawanan tinggi yakni Sumatera Barat, Bengkulu dan Jambi.
Potensi masalah seperti praktik politik uang, penurunan partisipasi pemilih, sampai kampanye hitam masih bisa terjadi. Hal ini tentu saja menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Salah satu aspek mengapa kemudian problem ini masih saja terjadi adalah soal sosialisasi pelaksanaan pemilu yang tentu saja belum menyasar ke semua lapisan akar rumput. Dalam arti, hanya segelintir orang saja yang mengenal dengan baik sistem pemilu dan minimnya pengetahuan akan calon pemimpin yang dipilih.
Padahal sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia, termasuk latar belakang figur-figur calon pemimpin sangat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Sosialisasi juga dianggap penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat karena setiap pemilu selalu saja diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda, walaupun tidak semua.
Dalam konteks ini, maka sangat dianjurkan agar penyelenggara pemilu, peserta pemilu, serta seluruh stakeholder untuk terus selalu menyebarluaskan informasi seputar pemilu secara massif.
Penyelenggara pemilu, misalnya, mesti lihai memilih beragam metode sosialisasi pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PKPU Tahun 2018, yang mana salah satunya adalah lewat media massa (radio, televisi, dan/atau media dalam jaringan).
Media massa harus kita akui sebagai salah satu sarana penyebarluasan informasi pemilu. Mengapa? Karena peran dan fungsi media massa begitu penting dalam perkembangan komunikasi masyarakat.
Bisa dikatakan, media massa sebagai penyebaran pesan secara luas, cepat, dan terus menerus kepada masyarakat luas, yang berpotensi mempengaruhi persepsi.
Apalagi saat ini tidak bisa dipungkiri, peran dan fungsi media massa tak dapat terpisahkan dari kehidupan khalayak. Fungsi media massa bisa sebagai pembentuk opini publik, menjadi media komunikasi antara pemerintah dan rakyat, menjalankan fungsi pengawasan, hingga melakukan misi sosialisasi untuk edukasi masyarakat.
Apalagi jika informasi tersebut disajikan secara terus menerus, maka bisa saja merubah pola pikir masyarakat dan mereka punya pengetahuan yang cukup tetang kepemiluan.
Semacam teori kultivasi yang beranggapan bahwa manusia yang selalu menonton tayangan tertentu dengan waktu yang lama, maka akan memiliki sebuah pemahaman bahwa dunia di sekelilingnya seperti yang ditayangkan di televisi. Misalnya saja, seseorang yang selalu menonton acara-acara yang mengandung tayangan kepemiluan dan kampanye dari para calon pemimpin dengan durasi lama dan frekuensi yang sering, maka akan memiliki pola pikir bahwa pemilu itu sangat penting.
Jadi, media massa tidak boleh dianggap sebelah mata saat sosialisasi kepemiluan. Dengan begitu, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu pasti merangkak naik. Indikator lain terkait kesusksesan pemilu pun akan dengan mudah digapai, jika masyarakat luas sadar akan hal-hal substansial dalam berdemokrasi.