*Cerpen
Oleh: Stefan Bandar
(Anggota biara Rogasionis-Maumere)
Matanya menatap tajam ke depan. Entah sudah berapa menit, bola mata itu masih saja tertuju pada sosok yang berdiri jauh di depan sana. Sesekali mata itu berputar menatap orang-orang yang duduk di depannya. Seutas senyuman mulai nampak pada raut wajahnya. Kemudian ia menunduk. Dengan segera rambut sebahu yang ditatanya dengan rapih beberapa jam yang lalu kini berjatuhan begitu-begitu saja.
Entah mengapa tiba-tiba ia menangis. Air mata yang sedari tadi dibendungnya kini jatuh berguguran. Rupanya kelopak mata tidak mampu lagi membendung deraian air mata yang ditahannya beberapa saat yang lalu. Untunglah ia memilih duduk di tempat yang paling ujung belakang sehingga tidak ada seorangpun menyadari apa yang terjadi dengannya. Hanya dia sendiri yang tahu benar apa yang terjadi dengannya.
Terima kasih Tuhan atas kesempatan yang Engkau berikan untuk kami sehingga kami tidak menjadi dua yang asing. Terima kasih karena Engkau telah mempertemukan kami. Terima kasih juga sebab pada akhirnya Engkau memilih dia untuk menjadi alatMu, katanya dengan nada datar. Sesaat kemudian ia tersenyum sembari menatap sosok yang berdiri di depannya sedang berdiri berbalutkan jubah putih. Mungkin senyuman itu adalah luka-luka yang paling pedih dari penantian dan kerinduan yang pernah menyiksanya.
Sepertinya takdir kita memang berbeda, Riko. Kini engkau telah dimilikiNya dan aku harus pergi sejauh mungkin agar dapat menghapus kenangan yang masih tergenang dan bisa meninggalkan harapan untuk hidup bersamamu. Demikian gumannya dalam hati sembari mencoba menghapus air mata yang berjatuhan di pihnya dengan selembar sapu tangan hitam yang dikeluarkannya dari tas jinjingan beberapa saat yang lalu.
Aku tidak akan pernah menyesal dengan semuanya meskipun engkau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Sekarang aku mengikhlaskanmu. Aku merestui pilihanmu. Rupanya jubah putih lebih pantas dari janji suci kita, gumanya lagi. Sesaat kemudian ia melangkah keluar setelah sosok yang berdiri di depan sana pergi meninggalkan gedung tua itu.
~~~~
Bulan terang benderang tepat di atas ubun. Ribuan bintang mengitar di sekitarnya membentuk beberapa formasi. Angin malam berhembus perlahan mengoyangkan dedaunan yang masih bertengger pada rantingnya. Di sana sini terlihat beberapa helai daun kering yang berjatuhan, mengotori halaman yang cukup luas. Beberapa helainya jatuh lalu bertengger di atas kursi-kursi yang telah diatur membentuk sebuah lingkaran.
Seorang pria remaja sedang berdiri di depan sebuah meja yang berbalutkan kain putih bersih. Riko, demikian ia biasa dipanggil. Tangannya sibuk membolak-balik sebuah Kitab Suci tebal berwarna hitam. Mungkin dia sedang mencari ayat-ayat yang akan dibacakannya. Di atas meja juga terlihat dua batang lilin yang sedang menyala.
“Selamat malam ka Frater”, sebuah suara tiba-tiba muncul bersama dengan udara sejuk yang berhembus perlahan. Riko segera meluruskan pandangannya ke depan sembari mencari asal suara itu. “Eh, selamat malam. Silahkan duduk.” Katanya mempersilahkan gadis itu duduk. “Sendirian saja, dik?” tanyanya. “Iya ka Frater. Kebetulan saya dipercaya untuk mengikuti perlombaan baca kitab suci sehingga saya datang lebih awal. Takut terlambat”, kata gadis itu dengan sedikit malu.
“Oh, iya. Nama adik siapa?” tanya Riko lagi. “Nama saya Puan, kak”, jawab gadis itu dengan sebuah senyuman yang mulai muncul di wajahnya. “Rumah di mana, Puan?” tanya Riko lagi. “Rumah saya di depan tu ka Frater, di dekat kios,” jawab gadis itu ramah. “Sekarang Puan sudah SMA atau?” tanya Riko. “Sekarang saya sudah kelas 3 SMA, kak frater,” jawab gadis itu singkat.
Menit terus berlalu. Beberapa orang mulai berdatangan. Perlombaan dimulai. Tidak lupa pula beberapa acara selingan dibawakan oleh beberapa kelompok gadis dan anak-anak. Semua orang yang hadir sungguh menikmati malam itu.
~~~~
Tiga puluh September 2009. Demikianlah pertama kali aku bertemu dengannya. Itulah hari pertama kisah kami dimulai. Itulah pertama kali aku mengagumi seorang lelaki. Ya, harus kuakui bahwa ia adalah pribadi yang sangat dikagumi oleh semua gadis remaja. Setelah pertemuan di malam itu, kami semakin dekat dan kami juga sering berkomunikasi.
Rumahku yang letaknya tidak jauh dari biara tempat ia tinggal, merupakan suatu kemungkinan bagi kami untuk terus bertemu. Pantai yang membentang luas di belakang biara tempat tinggalnya seolah menjadi cara alam agar kami selalu bertemu. Ya, setiap senja di akhir pekan kami selalu bersua di sana. Memang bukan hanya aku dan dia, tetapi juga beberapa frater lainnya. Namun hanya aku dan dia yang mengerti bahwa ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam hati kami.
Kami bercanda bersama. Terkadang tawa juga muncul di sela-sela canda yang semakin asyik. Atau beberapa kali juga aku menjadi penonton saat ia bermain bola kaki bersama temannya. Harus kuakui bahwa dia adalah salah satu pemain bola yang hebat di antara teman-temannya.
Perkenalan kami semakin dekat. Nomor WA sudah tertukar. Namun terkadang aku membencinya sebab ia hanya menggunakan chellphonenya hanya setiap hari minggu. Bandingkan dengan aku yang selalu bersama dengan chellphoneku setiap hari, bahkan setiap jam. Saat-saat seperti itulah rindu muncul dan membuat aku berjuang seorang diri. Berjuang menunggu kabar darinya.
Harus kuakui bahwa ketika aku jauh darinya terkadang waktu seolah berputar begitu lamban. Apalagi saat dia tidak meberiku kabar atau sekedar menyapa hari-hariku. Sedangkan saat aku berada di dekatnya, seolah waktu berputar begitu cepat. Akh, waktu memang kejam. Mengalir begitu saja tanpa ada yang bisa menghentikaannya.
Suatu hari, saat hujan turun perama kali di bulan itu. Ia mengutarakan perasaannya kepadaku. Ia mengutarakan seluruh rindu yang hinggap di hatinya. Katanya, terkadang ia membenci aturan yang membuat ia tidak dapat bertemu denganku. Dan karena itu maka serigkali ia menyebut namaku dalam doa-doanya.
Aku menerima isi hatinya dan bersedia menjadi teman dekatnya. Hanya saja ada satu syarat yang aku berikan untuknya. Biarkan hubungan ini hanya aku, kau, dan Tuhan saja yang tahu. Itulah syaratnya. Ia tidak keberatan dengan syarat yang aku berikan. Asalkan engkau menjaga hatimu hanya untukku, demikian katanya.
Hari-hari terus berlalu. Bulan berganti dan tahunpun berlalu. Hubungan kami terus berlanjut. Terkadang kami berusaha mencari kesempatan untuk dapat bertemu. Semenjak ia mengutarakan isi hatinya padaku, setiap hari aku berusaha mengikuti perayaan ekaristi di biaranya. Aku mengajak adikkku untuk mengikuti perayaan ekaristi. Namun sebenarnya intensi utamaku adalah memastikan apakah dia baik-baik saja di sana.
Hubungan kami sedikit menjauh ketika ia pergi ke negeri seberang. Ia harus melanjutkan formasi dan studinya di sana. Ia tinggal di sana selama beberapa tahun. Kadang ia memberi kabar kepadaku begitu-begitu saja. Minggu depan aku akan mohon izin untuk pulang, demikian kata-kata yang seringkali diucapkannya.
Aku sering bertanya kepadaya tentang hubungan kami. Aku hanya ingin memastikan bahwa diriku bukanlah seseorang yang menunggu suatu kesia-siaan. Dan tentunya aku tidak berharap bahwa dia bukanlah pemberi harapan palsu. Aku berharap kamu menjaga hatimu untukku di sana, sayang. Demikian sederet kata penghantar tidur yang ia kirim untukku.
~~~~
Hari terakhir di bulan Agustus 2020, tepatnya tanggal 31. Itulah saat di mana aku harus melepaskannya. Itulah saat terakhir dari semua penantianku. Dan itulah jawaban dari semua keraguan serta pertanyaanku, ketika ia mengenakan jubah putih pada tubunya sembari mengangkat roti dan piala. Itulah saatnya aku benar-benar ikhlas untuk kepergiannya.
Tetapi darinya banyak hal yang aku sadari. Aku menyadari bahwa kita memang berhak mencintai tetapi kita tidak berhak untuk dicintai. Kita memang berhak menunggu cinta datang tetapi kita tidak berhak memaksanya datang. Kita berhak mengagumi tetapi terkadang kita tidak berhak memiliki. Dan seandainya semua tentang cinta menjadi suatu keharusan bagi kita, ingatlah bahwa kita sedang menodai cinta.
Ya, terkadang mencintai itu berarti kita harus berkorban, tetapi jangan sampai semua hal kita korbankan hanya demi cinta. Terkadang mencintai itu berarti kita harus menderita, tetapi jangan sampai semua penderitaan itu dikarenakan cinta. Terkadang mencintai itu berarti kita harus merindukan, tetapi jangan semua waktu dihabiskan hanya untuk merindukan. Terkadang mencinta itu berarti kita keluar dari diri kita menuju seseorang, tetapi jangan sampai peziarahan itu membuat kita asing bagi diri kita sendiri.
Cintailah sewajarnya saja, jangan berlebihan. Berharaplah secukupnya saja, jangan memaksa keadaan. Jika bukan demikian, maka kita sedang menanam luka dalam hidup. Jika demikian, maka sebenarnya kita sedang menyusun penderitaan dalam skenario hidup kita di mana kita sendiri adalah aktornya.