Oleh: Ferdi Jehalut
Beberapa waktu lalu, di media sosial, viral foto guru di pelosok Manggarai, tepatnya di SDK Langgo Kecamatan Satarmese, memikul muridnya yang ikut ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer) untuk mendapatkan jaringan internet.
Foto itu kemudian memicu beragam komentar dari netizen. Ada netizen yang memojokkan Menteri Kominfo karena kejadian itu justru terjadi di daerahnya.
Netizen lain justru terharu dengan pengorbanan sang guru yang rela melakukan apa pun demi kesuksesan anak didiknya.
Terlepas dari beragam reaksi netizen terhadap foto yang viral itu, kejadian itu sebenarnya menggambarkan potret kesenjangan digital yang terjadi di Indonesia saat ini.
Kesenjangan digital itu memang menjadi narasi yang memilukan dan paradoks di era revolusi industri 4.0 yang mengharuskan banyak orang untuk melaksanakan aktivitas dalam jaringan (daring).
Munculnya revolusi industri 4.0 tentu sangat berpengaruh terhadap pembentukan mental manusia, pola relasi antar-manusia, jaringan kerja, sistem produksi, dan sistem ekonomi.
Secara mental manusia tidak lagi suka pada hal-hal yang rumit. Manusia ingin segala sesuatu terlaksana dengan begitu mudah, cepat, dan efisien.
Hal ini didukung oleh sistem digitalisasi yang hampir menyentuh semua ranah kehidupan manusia.
Apabila orang hendak pergi ke suatu tempat, berbelanja, dan memesan makanan misalnya, orang tinggal menggunakan aplikasi digital yang ada di smartphone-nya.
Dalam waktu yang singkat penyedia jasa kendaraan segera datang atau barang dan makanan yang diinginkan segera tiba.
Demikian pun jika orang melakukan transaksi keuangan, orang tinggal menggunakan aplikasi mobile banking yang ada di smartphone-nya.
Pola relasi serta sistem kerja di atas pada mulanya dipandang sebagai gaya hidup (life style) oleh sebagian orang. Namun, dalam perjalanan waktu hal itu dipandang sebagai tuntuan hidup.
Dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan orang untuk menjaga jarak, pola relasi serta sistem kerja seperti itu bahkan dipandang sebagai sebuah keniscayaan.
Namun, apa yang dianggap sebagai sebuah keniscayaan itu hanya mungkin terlaksana apabila semua masyarakat menjadi bagian dalam jaringan.
Itu artinya akses internet harus menjangkau semua orang dari berbagai lapisan kelas dan daerah. Tantangannya justru terletak di sini.
Sebab di Indonesia kesenjangan digital (digital divide) masih menjadi persoalan utama hingga saat ini.
Dorong Akselerasi Transformasi Digital
Jika mengacu pada Ragnedda (2020) sebagimana diulas oleh Herwantoko (2021), sekurang-kurangnya ada dua bentuk kesenjangan digital.
Pertama, kesenjangan digital tradisional. Kesenjangan digital ini meliputi kesenjangan akses terhadap internet dan teknologi digital, kesenjangan kemampuan menggunakan teknologi digital secara optimal, serta kesenjangan terkait outcome dari kemampuan tersebut ketika dikonversikan ke dalam berbagai jenis kapital lain seperti kapital ekonomi.
Kedua, kesenjangan digital baru atau yang sering disebut algoritma divide. Kesenjangan ini berkaitan dengan pengetahuan tentang cara kerja algoritma dalam kehidupan setiap hari.
Dari kedua bentuk kesenjangan digital di atas, bentuk kesenjangan pertama rupanya lebih urgen dibahas di sini.
Dasarnya ialah pembicaraan mengenai kesenjangan digital yang kedua mengandaikan masyarakat sudah memiliki akses terhadap jaringan internet.
Berkaitan dengan bentuk kesenjangan digital tradisional, Laporan Bank Dunia terbaru menyebutkan bahwa hingga tahun 2019 hanya 36 persen penduduk dewasa di pedesaan di Indonesia yang terkoneksi internet.
Jumlah itu meningkat 30 persen dibandingkan dengan tahun 2011.
Sedangkan di perkotaan, 62 persen penduduk dewasa sudah terkoneksi internet. Jumlah itu meningkat 42 persen dibandingkan tahun 2011.
Secara keseluruhan, penduduk dewasa di Indonesia yang terakses internet meningkat dari 13 persen pada 2011 menjadi 51 persen pada 2019.
Selain itu, Berdasarkan data Desember 2020 lalu, tercatat masih ada 12.548 dari 74.961 desa di Indonesia belum mendapatkan akses jaringan internet generasi keempat alias 4G (https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/552289/terobosan-kominfo-mempercepat-konektivitas-desa, diakses pada 30 September 2021).
Lebih lanjut, untuk menggambarkan betapa besarnya ketimpangan digital di Indonesia, hasil survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2019-kuartal II/2020 mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa (dari 266 juta jiwa populasi penduduk).
Jumlah ini meningkat 25,5 juta jiwa dari tahun 2018 yang hanya mencapai 171,2 juta jiwa.
Namun yang menarik ialah dari jumlah itu, wilayah Pulau Jawa masih mendominasi yakni sebesar 56,4 persen, pulau Sumatera sebesar 22,1 persen, Pulau Bali dan Nusa Tenggara 5,2 persen, Kalimantan 6,3 persen, Sulawesi 7 persen serta Maluku dan Papua 3 persen (https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/552289/terobosan-kominfo-mempercepat-konektivitas-desa, diakses pada 30 September 2021).
Data-data di atas memperlihatkan bahwa memang ketimpangan digital di Indonesia itu sangat besar. Ketimpangan digital ini tentu akan berdampak pada ketimpangan pendidikan, akses informasi, dan ekonomi.
Pandemi Covid-19 yang mengharuskan berbagai aktivitas dilaksanakan secara daring tentu akan memperbesar ketimpangan itu jika tidak segera diatasi.
Menyingkapi ketimpangan digital di atas, Jokowi mengingatkan Kominfo untuk mempercepat transformasi digital di Indonesia.
Dalam rapat terbatas pada Senin, 3 Agustus 2020 silam terkait perencanaan transformasi digital misalnya, Presiden Jokowi memberikan lima arahan penting terkait perencanaan transformasi digital (KOMINFO next, Edisi 29 Mei 2021:24).
Pertama, perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital. Kedua, persiapkan betul roadmap transportasi digital di sektor-sektor strategis, baik di pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, sektor pendidikan, sektor kesehatan, perdagangan, sektor industri, dan sektor penyiaran. Ketiga, percepat integrasi Pusat Data Nasional sebagaimana sudah dibicarakan. Keempat, siapkan kebutuhan SDM talenta digital. Kelima, Presiden minta yang berkaitan dengan regulasi, berkaitan dengan skema-skema pendanaan dan pembiayaan transformasi digital segera disiapkan secepat-cepatnya.
Sebagai tanggapan atas arahan presiden di atas, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan sigap merumuskan berbagai kebijakan real di lapangan.
Salah satu di antaranya ialah terkait pembangunan infrastruktur teknologi, informasi, dan komunikasi.
Kominfo menargetkan penyelesaian pembangunan Base Transceiver Station (BTS) untuk sinyal 4G di seluruh Indonesia pada tahun 2022.
Terkait kebijakan ini, untuk mendorong pemerataan di seluruh Indonesia, Menkominfo, Jhonny G. Plate, mengubah pola pendekatan lama yang berusaha membangun infrastruktur telekomunikasi, informasi, dan komunikasi berbasis pada jaringan atau network ke pendekatan teritorial atau wilayah (KOMINFO next, Edisi 29 Mei 2021:19).
Pendekatan ini tentu menguntungkan masyarakat di wilayah 3T yang selama ini diabaikan dalam kebijakan berbasis network.
Dalam paparan Menteri Jhonny G. Plate, terdapat total 9.113 desa dan Kelurahan yang menjadi prioritas pembangunan BTS.
Dari jumlah tersebut yang sudah dibangun BTS 4G ialah 1.209 desa dan kelurahan. Sedangkan sisanya sebanyak 7.904 telah diprogramkan pada tahun 2021 dan 2022.
Sementara untuk wilayah Non-3T terdapat 3.435 desa dan kelurahan saat ini sedang disiapkan oleh operator seluler.
Kebijakan Menkominfo di atas dapat dibaca dari berbagai perspektif.
Pertama, secara teknis kebijakan akselerasi transformasi digital sangat strategis dalam mengatasi ketimpangan digital yang terjadi di Indonesia saat ini.
Kebijakan itu juga diprediksi dapat berkontribusi menurunkan indeks Rasio Gini di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Sebab koneksi internet dapat mendorong peningkatan taraf perekonomian masyarakat melalui aktivitas bisnis digital seperti bisnis transportasi dan akomodasi (misalnya: traveloka, tiket.com, grab, dan gojek), e-commerce (membuka tokoh-tokoh online), marketplace (misalnya: lazada.co.id, tokopedia.com, dan bukalapak, dll.), financial (transaksi keuangan online), dan jasa digital.
Kedua, dari perspektif HAM, kebijakan Menkominfo dalam mengentas ketimpangan digital yang ditargetkan tuntas pada tahun 2022 dipandang sebagai angin segar bagi masyarakat di daerah 3T yang selama ini merindukan kehadiran negara untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas akses informasi.
Ini berkaitan dengan kewajiban negara untuk memenuhi (obligation to fulfill) hak-hak dasar masyarakat. Dari perspektif ini, selain mendorong terciptanya Indonesia digital pada tahun-tahun mendatang, kebijakan akselerasi transformasi digital juga merupakan bentuk afirmasi kehadiran negara bagi masyarakat pinggiran yang selama ini sering terabaikan.
Ketiga, secara politik kebijakan Menkominfo, Jhonny G. Plate yang menggunakan pendekatan teritorial dalam membangun BTS merupakan salah satu upaya merawat kesatuan Indonesia.
Poin ini perlu ditekankan karena imajinasi kolektif kita sebagai satu bangsa selalu rapuh di hadapan berbagai macam praktik ketidakadilan dan diskriminasi pembangunan.
Dalam konteks ini, sadar atau tidak, imajinasi Jhonny G. Plate dalam pandangan saya melampau hanya sekadar slogan “NKRI harga mati”.
Menteri Jhonny Plate rupanya sadar bahwa slogan “NKRI harga mati” itu baru memunyai jiwa jika berbagai macam ketidakadilan diatasi.
Keempat, dengan menerapkan kebijakan afirmasi bagi daerah 3T dalam pembangunan BTS, Menteri Jhonny Plate bagi saya sedang melabrak tradisi klasik yang mempraktikkan pembangunan dari pusat ke pinggir atau sentrum-periferi.
Ini menarik karena pendakatan pembangunan sentrum-periferi yang selama ini dipraktikkan di Indonesia cenderung Jawasentris. Padahal Indonesia bukan hanya Jawa.
Dalam konteks ini pendekatan dari pinggir ke pusat atau periferi-sentrum yang dipraktikkan oleh Menkominfo searah dengan visi Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggir.
Dari berbagai perspektif di atas, tidak berlebihan jika saya menyebutkan Jhonny G. Plate sebagai “Menteri Sadar Konteks”.
Kebijakannya bagi kami yang berasal dari daerah tertinggal sangat kontekstual. Itu sesuai dengan kebutuhan kami yang selama ini sering naik gunung untuk mendapatkan jaringan internet yang bagus.
Boleh jadi ini merupakan buah refleksi beliau sebagai seorang anak kampung yang juga pernah mengalami kesulitan yang sama.
Pada titik ini, tidak salah juga jika Menteri Jhonny G. Plate dijuluki sebagai “Sang Punggawa Internet Indonesia”.
Kendati kebijakan Menkominfo, Jhonny G. Plate dinilai sangat positif dari berbagai perspektif, sebagai masyarakat yang hidup di daerah 3T di pelosok NTT, saya menilai itu belum cukup jika biaya internet di daerah kami masih melambung tinggi dibandingkan dengan di Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Padahal, sebagian besar masyarakat di daerah kami tergolong miskin. Pada tataran ini jaringan 4G yang lancar tentu tidak akan banyak berdampak secara ekonomis jika biaya untuk mengaksesnya melambung tinggi.
Jika ini tidak segera diatasi, dalam perspektif saya, kehadiran jaringan 4G bisa menjadi alat pemerasan terselubung bagi masyarakat miskin.
Hal ini kiranya diperhatikan secara serius juga oleh Menkominfo yang diharapkan akan tetap menjadi pembawa perubahan bagi nasib masyarakat di daerah 3T.