Oleh: Fancy Ballo
(Mahasiswa Filsafat Semester VII pada STFK Ledalero)
Merdeka dari rezim Orde Baru telah membawa Indonesia kepada dunia reformasi yang menggembirakan. Masyarakat Indonesia mulai merasakan kelegaan nafas demokrasi dan menyatakan kebebasannya kapan dan di mana saja.
Ruang kebebasan hampir tak bisa terbendung. Jadi apa yang kita kenal hari ini, sebagai demokrasi dan kebebasan berpendapat adalah buah perjuangan reformasi.
Di mana pada tahun 1998 menjadi tahun penuh berkat lahirnya reformasi yang membawa perubahan besar dalam pelbagai bidang sosial dan politik. Dengan ini bangsa Indonesia yakin akan mengalami kemajuan dengan mencapai masa depan yang gemilang.
Dengan berkalungkan medali reformasi, sejak ditumbangnya rezim otoriter, setiap orang dari pelbagai kalangan seakan merasa ke luar sebagai pemenang. Kebebasan berpendapat pun semakin kebablasan.
Saling teriak antara lawan politik dalam pilpres, pilgub, pilkada, dan bahkan menjamur hingga di ajang pilkades (pemilihan kepala desa) pun sudah sebagai hal yang lumrah atas nama reformasi.
Demi kebebasan pelbagai organisasi perjuangan dibentuk. Ada yang menggalang keadilan dengan memberontak dan melawan aparat keamanan, para mahasiswa berdemo: melempari dan merusak fasilitas publik.
Ada DPR yang menjadi pecundang diri fakta rakyatnya, menteri yang kehilangan nalar, hingga kepala negara yang haus kuasa. Ini semua atas nama reformasi.
Trend hari ini, para pejabat dan figur publik saling lapor, saling cemooh, tuding-menuding, mencari pembelaan, semua bersuara atas nama reformasi. Yani Wahid, pernah bertutur di majalah Tempo (2021), “Reformasi telah membuat orang bebas menyatakan diri, apa saja maunya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah ketidakteraturan, benturan, dunia berubah menjadi rimba raya tanpa hukum”.
Sadar atau tidak, atas nama kebebasan kita juga menjadi musuh di dalam kebebasana itu sendiri. Musuh bagi diri sendiri yang tak terkontrol dan musuh bagi sesama.
Reformasi yang mulia diperjuangkan ini malah menjadi dasar suatu alat tindakan yang irasional. Kebebasan malah menjadi kebablasan. Semua orang ingin merdeka menurut konsepnya sendiri dan ketika opininya ditantang, malah dicap sebagai pelaku Orba.
Kebijakan pemerintah untuk menekan bias reformasi akhir-akhir ini, hamat saya perlu disambut secara positif. Namun, hal ini perlu diatur secara seimbang agar tidak menghilangkan esensi dari reformasi yang paling otentik dalam negara demokrasi ini.
Kita sepakat bahwa dengan reformasi, masa depan negeri ini akan menjadi lebih baik. Namun, tidak bisa dibiarkan pula bahwa bias reformasi justru menjadi dalil yang menghambat persatuan dan kemajuan bersama.
Karena siapa bisa menyangkal bahwa kebebsan dari buah reformasi itu bebas nilai dan menjadi tunggangan pelbagai kepentingan. Agar Indonesia bisa sampai kepada kemajuan bersama, yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, juga ditanggalkan dari pelbagai isu radikalisme, rasialisme, hoaks, dan ujaran kebencian, maka diperlukan suatu sistem dan aturan untuk mencegah bias reformasi.
Dengan kembali pada pemahaman reformasi sebagai suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan.
Maka, reformasi seharusnya membangun suatu kemaslahatan bersama, untuk masa depan sebagai bangsa yang harmonis, sejahtera, dan maju, dengan menciptakan suatu sistem hukum yang baik dan berimbang.