Oleh: Yergo Gorman
Selintas fenomena tentang pariwisata Matim setahun terakhir dimulai dengan pembaptisan secepat kilat beberapa desa jadi desa wisata pada November 2020 lalu oleh Bupati Manggarai Timur.
Konon, potensi dan kekayaan lokal yang tersimpan padat di desa-desa itu hari ini diyakini punya daya tarik, nilai jual dan mampu mendobrak ekonomi warga.
Beragam potensi itu antara lain Pantai Nanga Rawa dan Tarian adat Vera di desa Bamo, Pantai Ligota di desa Compang Ndejing, kawasan Agrowisata Kopi di desa Colol, bukit Golo Depet di desa Golo Loni, dan Pantai Watu Pajung dan pengamatan satwa langka buaya darat (rugu) atau komodo desa Nanga Mbaur.
Kegiatan-kegiatan pelatihan pun dibuat. Puncaknya, Bupati Matim sabet penghargaan sebagai pemimpin dengan visi pariwisata berbasis masyarakat, sebuah penghargaan dengan basis penilaian pada visi dan bukan program.
Visi adalah kata-kata abstrak di ruang hampa dan bupati diapresiasi karena punya gambaran abstrak yang gemilang itu.
Sejauh ini kebijakan pemberdayaan bottom up dengan proyeksi pada penguatan kapasitas masyarakat di desa-desa wisata itu belum tampak. Faktanya di beberapa titik desa wisata, akses masuk masih krisis, seperti di desa Compang Ndejing dan desa Colol.
Tentu tak seindah visi Bupati di ruang penghargaan itu. Apapun situasinya, desa wisata di Matim telah lahir.
Kebijakan ini muncul di dalam kuasa politis pemerintah pusat mau bikin pariwisata jadi salah satu aktor pemulihan ekonomi nasional, secara sosial warga global maupun nasional tengah hidup dalam trend berwisata, dan secara psikografis, trend berwisata warga lokal yang masih tertatih-tatih.
Bagaimana membaca isu pariwisata Matim hari ini dan masa depan? Pendekatan-pendekatan apa yang lebih kontekstual dan perlu agar kekayaan lokal kita yang dibungkus dalam kerja pariwisata tak kehilangan nilai maupun otentisitasnya serta ada dampak bagi rakyat?
Desa Wisata: Hari Ini “Paksa Diri”, Besok Jadi Berkat
Obrolan publik soal wisata daerah kian tajam pasca ritual pembaptisan beberapa desa jadi desa wisata. Optimisme dan sikap pesimis saling bertarung.
Pemda berkhayal keberadaan desa wisata hari ini bisa ciptakan pertumbuhan ekonomi di desa. khayalan ini ditaruh secara obsesif di dalam kepala warga di desa wisata.
Sebagian pihak justru berpikir pembaptisan ini sangat konyol sebab sederet kebijakan yang memacu geliat wisata tak mendarat di desa-desa itu sebelumnya. Atraksi wisata pun tak tampak.
Lalu dalam sekejap desa-desa itu menjelma jadi desa wisata. Pemda atau dalam hal ini dinas Pariwisata daerah tentu punya kajian tersendiri bagaimana desa-desa itu bisa berlari cepat dan berubah jadi desa wisata.
Mungkin formula mimpi yang dibangun adalah apapun bentuk potensi lokal, di sana ada atraksi wisata.
Padahal analisis wisata tak cukup sampai pada penglihatan subyektif terhadap segala bentuk potensi lokal, tapi juga pada psikografi “pasar” sebagai fenomena.
Di lain sisi, perspektif pembanding soal penetapan desa wisata ialah bahwa desa wisata memiliki tingkatan tertentu, yakni Rintisan, masih berupa potensi dan belum adanya kunjungan wisatawan.
Selain itu sarana dan prasarananya masih sangat terbatas, dengan tingkat kesadaran masyarakat belum tumbuh; Berkembang, meski masih berupa potensi, namun sudah mulai dilirik untuk dikembangkan lebih jauh; Maju, masyarakatnya sudah sadar wisata dengan indikator sudah dapat mengelola usaha pariwisata, termasuk menggunakan dana desa untuk mengembangkan potensi pariwisata.
Wilayahnya juga sudah dikunjungi banyak wisatawan, termasuk dari mancanegara; Mandiri, sudah ada inovasi pariwisata dari masyarakat, destinasi wisatanya juga sudah diakui dunia dengan sarana dan prasarana yang terstandarisasi.
Selain itu pengelolaannya bersifat kolaboratif pentahelix (kemenparekraf.go.id). Bila mengacu pada konsep di atas, kita dapat mengidentifikasi bahwa desa-desa wisata di Matim masih tergolong ke dalam desa wisata rintisan.
Pemberdayaan warga mungkin jadi misi utama di balik kehendak Pemda bikin desa wisata itu. Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya (Dikutip Dye, 1981).
Melalui desa wisata, masyarakat diajak untuk berpikir, terlibat dan bertindak memperlakukan semua potensi yang tersimpan di desanya secara optimal.
Dalam konteks isu kebijakan publik, penetapan desa wisata di Matim tentu bukan berakar pada masalah saat ini.
Sebagaimana biasanya suatu kebijakan selalu lahir dari tegangan atau problem sosial rakyat, tetapi punya proyeksi masa depan. Kebijakan ini dibuat untuk merebut isu di masa depan yakni kemandirian desa di sektor wisata.
Hemat saya desa wisata adalah sebuah kebijakan ilusif, “paksa diri” hari ini tapi rebut berkat di masa depan. Fenomena berwisata masyarakat baik lokal, nasional, maupun asing berbeda hari ini dan di masa depan.
Siklusnya bertumbuh setiap waktu. Bisa saja desa-desa wisata di Matim hari ini lesuh, sepi pengunjung, tapi bakal ramai ke depan.
Terlepas dari semua konsep dan strategi pengembangan desa wisata, ada beberapa fenomen mutlak yang mesti dipahami oleh para policy makers pariwisata lokal.
Pertama, paham psikografi pasar. Psikografi berkaitan dengan gaya hidup dan kepribadian. Di dunia pariwisata, psikografi bertalian dengan aktivitas wisata sebagai kebutuhan hidup.
Pertanyaannya adalah sejauh mana masyarakat lokal kita melihat aktivitas wisata sebagai kebutuhan hidup? Apakah berwisata sudah jadi trend gaya hidup bagi orang Manggarai, Flores, dan NTT pada umumnya?
Pertanyaan ini butuh analisis yang kuat dan perlu diikuti kajian segmentasi demografis. Jangan heran bila desa-desa wisata masih lesuh.
Krisis atraksi dan infrastruktur pendukung bukan hanya jadi sebab tunggal dibalik kelesuan itu, tapi bisa muncul karena mentalitas dan gaya hidup berwisata masyarakat di sebuah kawasan yang belum kuat.
Kedua, pertanian adalah panglima. Proyek pengembangan wisata desa tak relevan bila menggeser sektor pertanian warga desa. Pertanian ialah kerja pokok orang Manggarai.
Pertanian menjadi sektor unggulan yang harus terus melibatkan intervensi pemerintah. Sementara pariwisata adalah kesibukan kelas dua.
Ketiga, kepemimpinan dan pengendalian kebijakan. Konsekuensi logis dibalik pembaptisan desa wisata adalah para kepala desa di desa wisata dipaksa punya imajinasi wisata, konsep, inovasi maupun strategi sejak dalam pikiran sampai pada produk kebijakan.
Kebijakan di sektor wisata mesti dipimpin dan dikendalikan. Tanpa kepemimpinan dan pengendalian, sebuah kebijakan akan menjadi liar dan tak tentu arah.
Mengubah Pendekatan
Rumusan kebijakan di sektor wisata desa sudah tak bisa lagi pakai kaca mata birokrasi. Apalagi birokrasi yang birokratis. Pendekatan birokratis mesti dikubur dalam-dalam.
Zaman telah berubah, pola main pun mesti fleksibel. Pilihan pendekatan yang tepat akan berbanding lurus dengan produk pengembangan wisata yang dihasilkan. Hemat saya ada beberapa pendekatan yang perlu dilakukan.
Pertama, riset dan kajian. Riset memiliki peran vital dibalik pengembangan wisata. Riset memungkinkan segala sumber daya teridentifikasi secara optimal serta pembacaan yang holistik mengenai daya dukung seperti segmentasi pasar, kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman.
Tanpa riset dan kajian awal, produk maupun atmosfer pariwisata suatu kawasan akan berpotensi jalan di tempat. Melalui riset, kita bakal memahami sifat dan kompleksitas “pasar”.
Dengan demikian sajian pariwisata lokal tidak sebatas sibuk bangun dan bikin potensi, tapi mampu membaca bagaimana “pasar” memandang pariwisata itu sendiri.
Kedua, melestarikan identitas/kearifan. Pengembangan sektor wisata desa pertama-tama mesti dipahami sebagai gerakan solidaritas dan konsolidatif melestarikan identitas atau kearifan lokal.
Suatu upaya serius untuk merawat nilai maupun kekayaan leluhur berabad-abad lamanya. Modifikasi kearifan itu ke dalam suatu orientasi ekonomi bakal mengaburkan secara perlahan, spiritualitas dan otentisitas yang dimiliki.
Kenyataan bahwa globalisasi berpotensi menyeret kearifan lokal kita ke dalam target ekonomi belaka tak dapat terhindarkan.
Akibatnya masyarakat merusak tatanan nilai hanya untuk uang. Maka pengembangan wisata desa mesti berjalan di dalam kerangka merawat identitas dan kearifan.
Ketiga, kolaborasi. Geliat pariwisata mensyaratkan terciptanya kolaborasi lintas elemen. Baik pemerintah maupun masyarakat.
Kerja pariwisata tak bisa hanya mengandalkan mekanisme style birokrasi pemerintah, sebab semua serba administratif. Dalam kolaborasi, inovasi dan kreativitas terpantul.
Melalui kolaborasi, ada potensi bagi kelahiran perspektif baru yang bukan hanya berasal dari kamar birokrasi. Sehingga kajian formulasi pengembangan wisata lebih luas dan mendalam.
Penulis, Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa