Ruteng, Vox NTT- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Madiun St. Ambrosius menggelar webinar bertajuk “Kreativitas Jurnalistik di Tengah Era Post-Truth”, Senin (25/10/2021).
Era post-truth sendiri merupakan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Salah satu narasumber yang dihadirkan dalam webinar tersebut adalah dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Madiun Ardi Wina Saputra.
Dalam materinya, Ardi menjelaskan, fenomena maraknya penyebaran informasi yang keliru dan tidak sesuai fakta adalah salah satu penanda era pascakebenaran (post-truth era) .
Informasi yang disebar ke ruang publik tidak lagi berdasarkan realitas yang terjadi, tetapi justru berupaya menciptakan sebuah realitas agar dianggap benar oleh publik. Ringkasnya, era pembenaran selalu lebih dominan dibandingkan kebenaran (hyperrealitas).
Menurut dia, di era post-truth fakta dan perasaan nyaris muncul bersamaan. Selain itu juga ditandai matinya kepakaran, dalam hal ini banyak pendapat (ilmiah) para ahli diabaikan dan tidak menjadi rujukan informasi yang sahih.
Sebab di era post-truth, kebenaran diukur dari apa yang dipercayai sebagai kebenaran, bukan berdasarkan fakta.
“Jurnalisme di tengah era post-truth perlu dikembalikan kepada jurnalisme humanis dan solutif. Jurnalisme humanis memungkinkan pemeriksaan fakta secara mendalam dan berkali-kali. Jurnalisme perlu memproduksi berita-berita atau informasi yang solutif,” kata Ardi.
Ia menambahkan, perkembangan dan sejumlah inovasi dalam bidang teknologi informasi komunikasi telah menimbulkan dampak penyebaran informasi yang sangat cepat dewasa ini.
Selain cepat, akses orang terhadap informasi juga lebih mudah karena ditunjang perangkat-perangkat yang kian canggih.
Situasi ini menimbulkan dua tantangan sekaligus. Pertama, kebenaran informasi.
Di tengah banjir informasi yang beredar tiap saat, tidak sedikit yang bingung mencari mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah (bohong). Jika tidak disaring secara tepat, penggunaan informasi yang diterima bisa menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Kedua, literasi digital. Penyebaran informasi yang keliru, palsu, atau bohong kerap terjadi karena kurangnya literasi digital.
Literasi digital tidak hanya berkaitan dengan kecakapan menggunakan perangkat digital untuk mengakses dan mendistribusikan informasi, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan menyaring informasi yang diterima.
Di tengah situasi itu, posisi jurnalisme menjadi penting. Jurnalisme meniscayakan pengungkapan informasi berdasarkan fakta-fakta objektif.
Namun, di era post-truth, jurnalisme yang dibutuhkan adalah jurnalisme humanis dan solutif.
Jurnalis Bisnis Indonesia David Eka Setiabudi dalam paparannya menjelaskan, posisi media massa di era pascakebenaran menjadi kunci penyebaran informasi yang sesuai fakta.
“Fakta adalah kunci utama konten jurnalistik,” ujar David.
David menjelaskan, ada banyak perubahan yang terjadi di lingkup industri media seiring perkembangan teknologi informasi komunikasi. Agar informasi yang disajikan ke publik bisa benar-benar sesuai kebutuhan publik, industri media juga menggunakan layanan platform-platform digital dalam penyajian pesannya, dengan tetap mengedepankan objektivitas informasi dan sesuai kaidah-kaidah jurnalistik.
Dalam konteks era post-truth, skeptisisme seorang jurnalis dalam membaca sebuah realitas atau informasi turut mempengaruhi sebuah karya jurnalistik. Sikap skeptis mengantar seorang jurnalis untuk terus menggali fakta-fakta yang muncul di balik sebuah realitas.
“Jurnalis harus skeptis. Skeptisisme itu melahirkan sikap untuk mengonfirmasi sekian banyak fakta yang ditemukan, sehingga karya jurnalistik lebih dalam dan lebih objektif,” tutur David.
Sementara itu, Ketua Presidium PMKRI Cabang Madiun St. Ambrosius Asep Afron mengatakan, kegiatan webinar jurnalistik ini merupakan kegiatan informal rutin PMKRI Madiun.
Kegiatan ini diselenggarakan untuk membantu anggota PMKRI mendalami aktivitas jurnalistik, sebagai salah satu pilar demokrasi.
“Kegiatan-kegiatan informal PMKRI diarahkan untuk pengembangan potensi kader PMKRI, dalam hal ini bidang jurnalistik. Harapannya dengan pendalaman-pendalaman seperti ini, kader-kader PMKRI dapat lebih memahami praktik jurnalistik yang benar-benar menjawab tantangan zaman,” kata Asep.
Penulis: Ardy Abba