Oleh: Jefrino Fahik
Di tengah kegelisahan akibat wabah Covid-19, Bupati Malaka Simon Nahak mengeluarkan kebijakan untuk memberhentikan tenaga kontrak (teko) daerah. Alasan Bupati Simon sederhana, supaya menghemat anggaran negara.
Bagi Simon, setiap tahun negara mengalami kerugian Rp57 miliar. Anggaran negara itu dikeluarkan untuk membayar upah para teko- yang menurut Simon- kerjanya tidak becus, tenaga daerah yang disfungsi, dan tak berkualitas.
Karena itu, guna memanfaatkan anggaran negara secara hemat dan tepat,dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan masyarakat Malaka.
Menimbang Kembali Surat Keputusan Bupati Malaka
Kebijakan Bupati Simon untuk menghentikan ribuan teko daerah merupakan keputusan transformatif. Sebab, kebijakan tersebut berkaitan dengan gagasan epistemik di dalam visi politiknya.
Visi politik SNKT (Simon Nahak-Kim Taolin) adalah mewujudkan kembali karakter Kabupaten Malaka yang berbudaya, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Visi ini selain mengandung narasi meritokrasi politik paket SNKT, juga mengandung argumentasi epistemis-etis yang mengacuh pada sakralnya nilai baku peduli dan cinta daerah.
Artinya, visi politik tersebut selain bertujuan untuk membangun basis argumentasi epistemis dalam duel argumentasi melawan petahana, Stefanus Bria Seran (SBS), dalam debat Pilkada 2019 lalu, juga bernuansa etis: menyelamatkan wajah demokrasi Malaka dari kekuatan oligarki.
Poin inilah perlu dipahami terlebih dahulu oleh segenap warga Malaka dalam melihat semua kebijakan Simon, agar menghindari pemahaman yang karikatural juga membantu masyarakat menilai setiap kebijakan secara jernih.
Lantas, pertanyaan kita adalah seberapa urgenkah kebijakan tersebut sehingga dikeluarkan mendadak pada saat masyarakat berteriak minta tolong di tengah wabah Covid-19 dan bencana Seroja hari ini? Mengapa pula demi menjalankan visi dan misi pemerintah, Simon mengabaikan masalah kemanusiaan?
Justru dengan kebijakan seperti ini Simon malah memperlihat kegagalan visi-misinya: mengangkat kesejahteraan masyarakat. Betapa tidak, pemerintah dengan terang benderang abai terhadap kehidupan masyarakat.
Kebijakan tersebut membuat banyak orang menjadi nganggur, banyak sarjana muda kehilangan pekerjaan dan keluyuran, belum lagi para guru dan perawat honorer yang yang sampai hari ini masih dibekukan gajinya.
Fenomena tersebut memberikan potret gelap cara kerja pemerintah yang gagal bertanggung jawab terhadap masalah kemanusiaan.
Berdasarkan fenomena tersebut dapat ditunjukan dua kecacatan mendasar SK bupati tersebut. Pertama soal etika kebijakan publik. Kedua berkaitan dengan “cara” kerja pemerintah.
Poin pertama langsung mendesak pemerintah untuk bersikap etis: bahwa tanggung jawab etis pemerintah seharusnya mendahului setiap keputusan saintis dan praktis apa pun.
Kesadaran etis inilah yang menggerakan hati pemerintah untuk peduli terhadap masalah sosial-kemanusiaan di masyarakat.
Sebab, nuansa etis ini bukan lagi menunjuk perbedaan suku dan ras atau perbedaan pilihan politik, melainkan suatu kesadaran moal bersama yang mengutamakan kepetingan humanitas.
Pokok ini harus menjadi impreatif etis untuk senantiasa mengusahakan kesejahteraan bersama (Bonum commune). Karana itu, kebijakan pemerintah menghentikan teko daerah untuk bekerja adalah keputusan fatal.
Hannah Arendt dalam The Human Condition, sebetulnya sudah berbicara soal bahaya itu. Bagi Arendt, kerja (labor), berkarya (work), dan bertindak (action) adalah tiga aktivitas yang membentuk kondisi manusia (human condition) (Arendt: 1959, 9-10).
Karena itu, perkara kerja adalah urusan hidup itu sendiri. The human condition of labor, demikian tulis Arendt, is life itself (Arendt: 1959, 9).
Maka, menghentikan seseorang dari pekerjaanya adalah menghentikan hidupnya, membunuhnya dan melenyapkan eksistensi dirinya untuk mengekspresikan dirinya di dalam dunia.
Dengan bekerja manusia menunjukan siapa dirinya, hidupnya, dan keberadaan dirinya bagi dunia. Artinya, bekerja tidak hanya menegaskan kelangsungan hidup individu tertentu (individual survival) tetapi menunjukan kehidupan manusia itu sendiri.
Poin kedua, ibarat seorang anak disiksa oleh orangtuanya karena tidak menyetujui kejahatan orangtuanya. Artinya, fenomena pemberhentian teko daerah hari ini sedang mempertontonkan arah politik Simon yang tidak jauh berbeda dengan “cara” politik klasik: politik Machiavellian yang tidak bermoral itu!
Model politik Machiavellian tersebut membuat Simon terobsesi pada kekuasaannya dan sibuk mengurusi visi misinya tetapi mengabaikan kondisi real di masyarakat. Masyarakat dibuatnya menganggur ibarat anak ayam tanpa induk.
Karena itu, sekarang kita harus menyaksikan pembalikan dinamika politik yang cukup serius. Visi misi Simon yang berdasarkan lansadasan epistemik yang ketat tersebut, kini balik menyerang dirinya dan seluruh warga Malaka.
Mula-mula warga Malaka mengira bahwa Simon akan menjadi penyelamat bagi seluruh masyarakat Malaka. Namun kenyataanya miris.
Banyak warga Malaka kehilangan pekerjaan dan infrastruktur berantakan. Pemerintah sibuk mengurus visi-misinya, sedangkan perakara kemanusiaan diabaikan. ‘Mesias’ yang ditunggu-tunggu warga Malaka malah kembali menyalibkan mereka.
‘Mesias’ Telah Menyalibkan Warganya
Bonum commune suprema lex, salus populi suprema les esto. Kesejateraan rakyat adalah hukum tertinggi, atau keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi.
Adagium ini sebetulnya diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM). Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat, keselamatan rakyat menjadi tujuan utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum. Adagium terebut digaung-gaungkan hingga hari ini terutama oleh para elite politik.
Bupati Simon Nahak hari ini menggunakan adagium raksasa itu di hadapan masyarakat Malaka, NTT. Namun sayang, ungkapan tersebut kini busuk di kuping warga Malaka.
Bagi, masyarakat Malaka, ungkapan tersebut sebetulnya hanya dipakai sebagai instrumen untuk melancarkan tatik politik Machiavellian-nya.
Hal ini bisa terbaca lewat Surat Keputusan (SK)–No. BKPSDM.816/282/6/2021–pemerintah daerah untuk memberhentikan sementara ribuan Tenaga Kontrak (Teko) atau Tenaga Kontrak Daerah (Teda) itu.
Kebijakan tersebut, sadar atau tidak tidak, telah menyengsarakan masyarakat yang terkena dampaknya. Lantas apa artinya, bonum commune suprema lex, salus populi suprema les esto bagi masyarakat Malaka? Rasa-rasanya seperti tombak yang sedang menusuk masyarakat untuk disalibkan di muka Bupati Simon.
Sulit dibayangkan betapa pemerintah dengan terang benderang mengelabui masyarakat lewat ungkapan tersebut?
Betapa mudahnya pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut saat masyarakat berjibaku dengan Covid-19 dan bencana seroja?
Kini, masih layakah jika Simon disebut sebagai sang penyelamat (mesias) demokrasi di Malaka? Rupanya sang penyelamat malah menjadi predator yang kembali menyalibkan masyarakatnya.
Fenomena ini memuat kita sedih, marah, kecewa, bingung, karena perilaku elite politik yang cepat berubah dan buas.
Namun, sosok menakutkan itu perlu dikontrol untuk mencegah semakin semakin banyak predator yang memangsa warga.
Model Berpolitik yang Diharapkan
Politik bukan selera pemerintah, juga bukan selera pribadi atau kelompok tertentu. Politik adalah tentang humanitas dan komunitas.
Karena itu, mahkota politik idealnya adalah masyarakat-warga itu sendiri. Maka, berpolitik bukan hanya urusan pemerintah, atau perkara sebagian orang, melainkan urusan bersama warga satu kedaulatan.
Karena itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah kita dalam mengurus kehidupan bersama tersebut.
Pertama, memperhatikan prinsip Bonum Commune. Prinsip ini menuntut kecakapan etis pemerintah kita: bahwa setiap kebijakan politik, setiap urusan bersama, setiap perkara umum, harus diputuskan secara etis dengan mempertimbangkan kepentingan dan tujuan bersama warga satu kedaulatan.
Keputusan tersebut tidak mengorbankan salah satu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu tetapi selalu bertujuan untuk kepentingan humanitas dan komunitas hidup bersama.
Prinsip tersebut harus menjadi impreatif etis di dalam upaya mewujudkan masyarakaat yang sejahtera, adil dan beradab.
Kedua, pentingnya pemerintah mengakui eksistensi masyarakat dalam berpolitik. Hal ini sentral karena sebuah tatanan politis idealnya lahir dari apa yang disebut komunitas politik. Artinya, dalam perkara politik masyarakat harus dilihat sebagai subjek politik dan bukan objek politik.
Adalah naif ketika masyarakat dipakai sebagai instrumen politik, misalnya saat pilkada atau pemilu saja (setelah itu masyarakat menjadi penonton buta permainan elite politik).
Cara berpolitik seperti ini memalukan dan absurd. Seperti sudah disebutkan di atas, masyarakat itu adalah mahkota politik.
Ia subjek politik yang menjadi tujuan dari suatu tatanan politis. Karena itu setiap kebijakan politik hendaknya selalu bernuansa etis, yakni mengutamakan kepentingan humanitas dan komunitas. Dengan begitu, minuman persaudaraan kita tetap bakar menyala.
Jefrino Fahik adalah pemerhati sosil-politik, peminat ekologi. Alumus STF Driyarkara. Dia juga peminat musik klasik.