Oleh: Ardy Abba
Omong perbuatan biadab yang namanya korupsi itu memang tidak pernah berakhir. Entah sampai kapan, belum ada yang tahu. Sejauh ini pun belum ada hasil riset yang secara fulgar menyampaikan ke publik kapan berakhirnya korupsi.
Korupsi di Indonesia sudah terjadi di mana-mana. Mungkin sudah menjadi budaya. Anehnya, meski aparat penegak hukum kian garang, namun tidak membuat koruptor jera atas hukuman yang diberikan.
Tindakan korupsi sebetulnya kejahatan kerah putih atau white collar crime. Itu kata Hazel Croal, Profesor Kriminologi Universitas Glasgow Caledonian.
Ia mengenalkan istilah white collar crime dalam studinya tentang kejahatan dilakukan mereka yang terlibat langsung dalam kepemimpinan, proses pengambilan keputusan, sampai yang ikut ambil bagian dari proses itu, baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok. Tindakan kejahatan tersebut berbuntut menggarong uang.
Kejahatan kerah putih yang marak akhir-akhir ini di Indonesia menyasar di dana desa. Air liur para calon koruptor meleleh setelah mendengar APBN pada tahun 2015 mengalokasikan dana desa sebesar Rp20,76 triliun.
Sejak saat itu, modus operandi dalam melakukan korupsi dana desa sudah menjalar di segala lini kehidupan. Bahkan, usaha untuk kaya mendadak untuk para pejabat di level desa semakin gencar. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat desa masih jauh dari harapan. Boleh dibilang utopis.
Dilansir Kompas. com, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak tahun 2015 hingga 2020, sedikitnya ada 676 terdakwa korupsi dari perangkat desa. ICW juga mencatat dalam periode tersebut, akibat tindakan korupsi yang dilakukan aparat desa, negara mengalami kerugian sebesar Rp111 miliar.
Belum lama ini di linimasa Facebook ramai mengunggah foto infografis Kompaspedia tentang korupsi dana desa. Data-data dalam infografis tersebut diperoleh Kompaspedia dari Kementerian Keuangan, ICW dan BPS.
Dalam flyer infografis secara jelas menggambarkan grafis tentang korupsi dana desa di Indonesia. Tahun 2015 kerugian negara sebesar Rp9,12 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 17. Tahun 2016 naik sebesar Rp10,4 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 48. Lalu, tahun 2017 naik lagi menjadi Rp39,3 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 98.
Selanjutnya, tahun 2018 sebesar Rp37,2 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 96. Tahun 2019 sebesar Rp32,3 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 46.
Kompaspedia juga menyodorkan penyebab maraknya korupsi dana desa antara lain, (1). Minimnya kompetensi perangkat desa, (2). Tidak adanya transparansi, (3). Kurang pengawasan pemerintah, masyarakat, dan desa, (4). Adanya intervensi atasan, (5). Maraknya mark up harga, (6). Pelaksanaan kegiatan fisik yang tidak sesuai dengan perencanaan, (7). Adanya kultur memberi barang atau uang sebagai bentuk penghargaan, (8). Perencanaan sudah diatur sedemikian rupa oleh kepala desa dan BPD, (9). Pengelolaan DD dan ADD tidak sesuai dengan rancangan anggaran biaya (RAB), (10). Belanja tidak sesuai dengan RAB, (11). Adanya fee dari penyedia material dan spesifikasi tidak sesuai, (12). Minimnya pengetahuan perangkat desa dalam memahami aplikasi Siskeudes, (13). Standarisasi harga barang dan jasa bervariasi antardesa, (14). Nomenklatur kegiatan kurang sesuai dengan prioritas penggunaan DD, (15). Minim kesejahteraan pemerintah desa, (16). Belum terpenuhinya kesejahteraan operator atau perangkat desa.
Beragam penyebab maraknya korupsi dana desa tersebut memang masih sangat kompleks. Kondisi ini tentu saja membutuhkan solusi jitu agar kita keluar dari cengkeraman wabah korupsi.
Salah satu pintu masuknya menurut saya saat momen pemilihan kepala desa. Masyarakat sebagai pemilih perlu membekali diri dengan pemahaman yang cukup sebelum menggunakan hak pilih menentukan calon pemimpin di desa.
Pesta demokrasi di tingkat desa ini hendaknya tidak boleh dianggap sebelah mata. Pilkades harus menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan rumusan sosok pemimpin desa ideal. Calon tersebut memang penting dan dibutuhkan dalam memajukan desa, serta gerak cepat mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Kita harus sepakat untuk menuntut kepala desa agar berlaku transparan dalam penggunaan anggaran. Sebab, jika kita masih berada di zona nyaman, maka dana desa yang begitu besar dari pemerintah tidak bakal membuat masyarakat sejahetara.
Selain kiat tersebut, sudah saatnya pula kita bekerja sama untuk mengawal dan membasmi garong dana desa. Jika dilawan secara bersama, maka tentu ruang gerak para koruptor dana desa semakin dipersempit.