Oleh: Marselus Natar
(Mahasiswa pada STIPAR, Ende)
Setiap tanggal 28 Oktober kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Barangkali masih segar dalam ingatan kita tentang perjuangan kaum muda pada era prakemedekaan, orde lama, orde baru dan pada era reformasi.
Sebagai misal, kita ingat gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia, yang kemudian berinisiatif melaksanakan kongres di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat untuk merumuskan dan menghasilkan teks Sumpah Pemuda.
Atau peristiwa lainnya, seperti peristiwa yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945, yang mana para pemuda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan mendesak Soekarno dan Hatta agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya di penghujung era orde baru, para pemuda kembali bersatu dalam orasi dan demonstrasi mendesak Soeharto agar segera turun dari jabatannya.
Alhasil pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan kepemimpinannya sebagai presiden. Pernyataan Soeharto tersebut ibarat angin segar bagi peradaban bangsa Indonesia, sekaligus sebagai permulaan suatu era yang baru yakni era reformasi.
Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, kepemimpinan nasional segera beralih dari Soeharto ke B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden.
Beralihnya pemerintahan ke B.J. Habibie sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia dinilai sebagai jalan baru demi terbukanya proses demokrasi di Indonesia.
Kondisi demokrasi Indonesia periode reformasi dinilai sedang menuju sebuah kesempurnaan. Warga negara bertugas mengawal demokrasi agar dapat teraplikasikan dalam aspek kehidupan.
Berikut ini karakteristik demokrasi pada periode reformasi: Pemilu lebih demokratis, Rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah, Pola rekrutmen politik terbuka, Hak-hak dasar warga negara terjamin.
Sepak terjang perubahan atau peradaban bangsa Indonesia yang perlahan menuju kesempurnaan tidak pernah terlepas dari kegigihan dan keberanian para pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan pada zaman itu.
Eksistensi kaum muda kala itu tidak dapat dipandang sebelah mata. Sikap militansi dan visioner mereka sangat jelas, mengantar Indonesia menjadi suatu negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Quo Vadis Pemuda Indonesia di Era Digital?
Rentetan ulasan yang dikemukakan pada bagian awal tulisan ini merupakan sejarah masa lampau. Kita mengapresiasi, mengingat dan mengenang kembali perjuangan kaum muda pada zaman lampau agar genaplah perkataan Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Sejarah sebagai bagian dari masa lalu memang senatiasa dikenang namun hal subtansi apa yang mesti kita pelajari dari kenangan itu?
Substansi dari tulisan sederhana ini mengandung dua hal, pertama memberikan pemahaman kepada khayalak pembaca tentang pentingnya mempelajari sejarah di masa lampau, teristimewah sejarah seputar perjuangan kaum muda dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan.
Kedua, mengajak khalayak pembaca teristimewa kaum muda di era digital untuk mencontohi atau meneladani spirit kaum muda di masa lampau dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan.
Sebagaimana judul pada sub bab kecil di atas; quo vadis pemuda Indonesia di era digital, maka titik fokus tulisan sederhana ini adalah menggugat kaum muda di era digital tentang sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara, terhadap dunia di mana mereka berada.
Mempertanyakan eksistensi kaum muda, quo vadis; hendak ke mana, di era digital saat ini hemat saya adalah suatu keharusan mengingat sikap dan mental kaum muda yang cenderung tenggelam dalam arus globalisasi yang ditandai dengan sikap masa bodoh atau apatis terhadap sesama (individualistik), pola hidup konsumtif dan hedonisme yang menguburkan nilai-nilai kepedulian, simpati dan empati terhadap sesama, gaya hidup kebarat-baratan dengan mengesampingkan atau malah menganggap budaya sendiri sebagai sesuatu yang kolot atau primitif.
Harapan macam apa jika kaum muda kita mempertontonkan sikap dan sifat semacam ini? Jika bercermin dan merenungkan spirit kaum muda di masa lampau, kita sepakat bahwsannya perjuangan mereka tentunya dilandasi oleh semangat kebersamaan, kepedulian, rasa simpati dan empati terhadap sesama, cinta terhadap budaya dan bangsa yang dibingkai dalam satu organisasi atau perhimpunan.
Bukannya bersikap pesimistis terhadap pelbagai gerakan yang dilakukan kaum muda masa kini, melainkan sebuah catatan kritis agar tetap mengedepankan nilai-nilai dan spirit yang dimilki oleh para pemuda masa lampau dalam memperjuangkan kemerdekaan, keadilan dan kebenaran.
Kaum muda harus tetap menjadi manusia yang beradap kendati hidup di tengah arus peradaban zaman yang menggiurkan, dengan demikian arah dan tujuan hidup pun menjadi jelas.