*Cerpen
Oleh: Lilin
Di kampung kering dengan tanah pecah-pecah ini lah sekarang aku tinggal. Mengasingkan diri dari carut-marut kota yang selama ini membesarkan namaku dan tempatku menimba ilmu kewarasan hidup.
Tanah-tanah rekah dari bagian tanah yang disepelekan oleh negeri ini. Dimana setiap bagian dirinya tak lagi bisa ditanami. Seperti diriku sama sekali tidak bisa dipandang dan diberdayakan, meskipun nama besar di berikan oleh orang-orang yang pernah melihat dan mengenalku. Tapi seperti yang kuceritakan diawal, ilmu kewarasan tidak cukup mampu membuatku bertahan di perkotaan.
Begong namaku, tidak usah ditebak saat ini aku berada dimana? Karena tak ada satu keindahan yang bisa kuceritakan. Selain tumbuh-tumbuhan kemiskinan dan hujan di mata orang-orang sini lebih sering turun daripada hujan sesungguhnya. Bagiku perjudian dari kehidupan masih lebih bisa kumainkan daripada di kota. Hanya dengan selinting rokok dan air sadapan nira setidaknya aku bisa menikmati kehidupanku.
Dari seorang pemilik warung pinggiran desa, bisa kunikmati satu gambaran kemiskinan dengan jelas. Bagaimana matanya begitu sayu karena tidak tidur berhari-hari, dan rambutnya yang banyak diserang debu kemarau dari lalu lalang truk penambang batu kapur. Begitu terasa pahit di mata dan mulut, semenjak kedatanganku beberapa hari lalu.
“Apa yang sesungguhnya terjadi di sini?” Aku bertanya pada si pemilik warung.
“Tidak ada, seperti yang kau lihat. Dengan dua musim yang berbeda dengan daerah di perkotaan, menjadikan kami begitu berbeda dari kalian,” katanya lirih.
“Berikan aku apa saja, asalkan bisa menjadi bagian dari manusia di sini.” Kusebut pesanan yang saat ini bisa menghilangkan lapar.
Di depan meja lurus dari tempat lelaki itu berdiri, aku memilih tempat duduk. Nampak olehku beberapa orang sedang memesan air putih dan sepiring nasi putih beserta kerupuk. Tanpa sayur, tanpa sambal. “Mungkin mereka sedang ingin melakukan ritual puasa mutih,” pikirku.
Lelaki si pemilik warung nampak sibuk menyiapkannya. Kulihat tangannya begitu terampil menyiapkan pelayanan, mungkin saja itu bagian dari promosi dari warung ini, cepat saji dan murah meriah. Setidaknya aku bisa mencontoh keteladanan memberi layanan ke pelanggan jika nanti rejeki memberi kesempatan untukku memberdayakan diri.
“Ini pesanannya, selamat menikmati.”
Lelaki itu meletakan segelas air putih dan sepiring nasi putih beserta kerupuk, tanpa sayur dan sambal.
“Lah, kok cuma ini?” tanyaku padanya.
“Iya pesanan, mas’e.”
“Iya, tapi masa makanan seperti ini. Saya tidak sedang …”
“Tadi ‘kan pesannya apa saja, seperti orang-orang sini,” jawab lelaki itu, “ya ini yang biasa kami makan setiap hari.”
Apapun yang lelaki itu katakan, adalah satu kenyataan pahit. Lebih pahit dari secangkir kopi tanpa gula yang kunikmati setiap pagi. Aku sudah terbiasa mengatasi persoalan hidupku, tetapi untuk meminta sekedar lauk dan sambal terasa menghianati kata-kataku sendiri. Bukankah ini awal dari segala pengenalan, meskipun itu satu kemiskinan sekalipun.
Di pojok kiri jauh dariku, tampak seorang lelaki ganteng dengan dandanan super keren lebih tepatnya perlente. Dengan jam tangan, sepatu, dan handphone nangkring di saku kemeja dan celananya, menggambarkan bahwa hidupnya tidak biasa-biasa saja. Kulihat dia makan dengan sepiring nasi putih dengan ayam bakar di cobek kecil. Satu hal bisa kupastikan jika lelaki itu bukan bagian dari manusia di sini. Mengacu pada apa makanan yang ada di hadapannya saat itu.
Aku melahap makanan yang kupesan secara perlahan, mencoba menikmati. Karena bagaimanapun makanan ini adalah makanan spesial di dalam hidupku, dan aku tak ingin sampai mati sekarat jika saja kerupuk-kerupuk itu nyangkut di leherku. Maka kudorong saja makanan itu dengan segelas air putih, agar makanan segera tergelincir ke rongga dada dan memenuhi wadah lumbung pangan ditubuhku.
***
Aku memutuskan tinggal di desa ini, dan menghentikan perjalanan penuh ketololan di kota tidak bukan karena sahabatku, Wira Sanggalah. Seorang pecinta sastra dengan intelektual tinggi dan pemberani.
“Hati-hati di kampung sini tidak semuanya memiliki intelektual tinggi, jika tidak berhati-hati bisa terjungkal,” kata Wira mengawali perbincangan kita siang ini.
“Demi Tuhan aku tidak mengerti dengan kalimat yang kamu ucapkan barusan, Kawanku. Darimana kamu belajar ketidakwarasan itu.”
Wira Sanggalah adalah seorang penambang batu di desa ini, selama ini penghasilannya sebagai penambang batu cukuplah untuk menghidupi seorang istri dan dua anaknya. Serta memuaskan sedikit kegemarannya dengan membeli buku-buku. Tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Gaya bicara dengan segala kemampuan intelektualnya tidak serta merta mampu merubah keadaan.
Gaya bicaranya sungguh berbeda dengan saat kita masih bersama-sama melakukan ketololan hidup di kota. Semua berbanding terbalik, lebih lembut, dan cenderung berhati-hati. Namun demikian masih sesekali kudengar kalimat sarkastik dari celoteh-celoteh yang tanpa sengaja keluar dari bibir yang menghitam dan sedikit terkelupas. Seperti alam desa ini yang meranggas.
“Semua berawal saat para investor asing itu memasuki desa ini, dengan berbagai ilmu pengetahuan dan kecanggihan yang mereka bawa telah menjadikan kehidupan kami seperti di neraka, sekarat tetapi tidak mati-mati.” Kudengar kata-katanya seperti nada keputusasaan. Sungguh tidak kusangka kalimat seperti itu keluar mulut temanku. Si Wira Sanggalah yang tulisan-tulisannya begitu tegas berapi-api.
Hanya beberapa tahun kita tidak bertemu, tetapi perubahan begitu terasa. Tidak hanya secara fisiknya, tetapi daya berpikirnya. Mungkin saja semua ini dikarenakan kepergian istrinya kembali ke rumah orang tua dengan membawa kedua anaknya. Perempuan yang dicintainya itu rupanya takut kemiskinan tidak hanya membunuhnya tetapi juga membunuh masa depan anak-anak mereka.
Dapat kurasakan ketakutan itu rupanya juga telah menyergap kawanku ini. Terbukti setelah kesendirian dan segala pemberontakannya atas ketidakadilan dari para investor asing tidak menghasilkan apa-apa. Ia mulai mengangkat kapak genggam tinggi-tinggi di bawah arahan kepala unit. Salah satunya seperti yang kulihat di warung nasi beberapa waktu kemarin.
“Puas-puaskan kau makan sore ini, Kawanku. Sebelum esok pagi tubuhmu akan menjadi sekering aku.” Satu suapan nasi ikan lele bakar sambal kecap masuk ke mulutnya. Kulihat bara di wajahnya menyala dan padam secara bergantian.
Kami berdua akhirnya tertawa.
Malam harinya hujan turun dengan derasnya. Seakan-akan langit mengerti bagaimana cara mendinginkan hati orang-orang yang mulai menggelegak. Karena orang-orang mulai merasakan darahnya berdesir ketika Wira dan aku, yang mereka sebut Begong menggonggong membangunkan anjing-anjing liar di dalam diri orang-orang desa ini. Demi memperjuangkan hidup dan kenyamanan.
“Baiklah aku akan segera tidur, dan besok kita akan bertemu. Akan kutunjukkan bagaimana hukum keadilan benar-benar bisa berdiri tegak.”
Ruang tengah ini kini benar-benar hening. Hanya suara hujan terdengar di atas genting seperti memberi tepuk tangan kepadaku. Kedatanganku membawa ilmu ketololan hidup tidak sia-sia, api telah berhasil kupercikan di wajah kawanku itu, dan kini neuron-neuron di kepalanya telah kembali berfungsi.
Menghadapi kehidupan saat ini kami harus memiliki pertimbangan-pertimbangan, tetapi tidak lantas menjadi mudah diremehkan. Sesekali menjaga ketololan itu bisa membahayakan buat kedudukan mereka-mereka yang di kursi kekuasaan.
Surabaya, 01 November 2021
Bionarasi Penulis
Lilin adalah nama pena dari ibu rumah tangga 37 tahun kelahiran Kota Surabaya. Dia pengagum sunyi dan sendiri. Menulis merupakan ekspresi meluangkan segala perasaan. Puisinya bisa dinikmati dalam antologi bersama pemuisi Jatim, puisi dua larik ‘Kalam 16 Seroja’, ‘Sepotong Sajak di Tepian Senja’ bersama grup literasi SASTRA PUJANGGA INDONESIA. Serta karya Solo noveletnya “Jejak Yang Tertinggal” sedang dalam proses cetak. Dan masih banyak antologi-antologi yang saat ini sedang dipersiapkannya. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media online saat ini.
Jejaknya bisa dilacak di akun instagram Farren_farrenz atau farrenmey. Bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin (Mey Farren)