Oleh: Ardy Abba
Meski Pemilu dan Pemilihan serentak 2024 masih jauh, namun Komisi Pemilihan Umum mulai memikirkan serius dengan menyiapkan sejumlah program untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Salah satunya yang baru saja diluncurkan adalah program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan.
Program tersebut ditetapkan melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 290/PP.06-Kpt/06/KPU/IV/2021.
Sebagaimana dijelaskan dalam Lampiran Keputusan KPU Nomor: 290/PP.06-Kpt/06/KPU/IV/2021, program kerja ini merupakan salah satu bentuk pendidikan pemilih.
Pendidikan pemilih pemilu dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota merupakan elemen penting dalam demokrasi. Sebab, akan melahirkan pemilih yang mandiri dan rasional, di mana hal ini merupakan ukuran kualitas demokrasi di suatu Negara.
Pemilu sebagai instrumen utama sistem politik demokrasi. Dalam sistem pengelolaan negara (state-craft) Indonesia, penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung diwujudkan melalui dilakukan melalui pemilihan umum untuk memilih anggota dewan dan presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, dan bupati/wakil bupati.
Untuk mendorong kedaulatan rakyat lewat pemilu inilah mungkin menjadi salah satu alasan mengapa program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan diluncurkan.
Ada mimpi besar KPU di balik peluncuran program tersebut. Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam proses pemilu maupun pemilihan. Kesadaran itu harus tumbuh mulai dari desa, kelurahan, dan kampung.
Mengapa desa dianggap penting? Karena desa menjadi pertautan terakhir antara pemerintah dengan masyarakat. Jadi, KPU sebenarnya ingin memperhatikan prinsip demokrasi berbasis kemandirian dan mengangkat sisi rasionalitas di level entitas masyarakat paling bawah, yakni desa dan kampung.
Sebab itu, program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan diharapkan bisa mewujudkan pemilihan yang cerdas, rasional, mandiri, dan bertanggung jawab.
Dilansir dalam Kanal YouTube KPU RI, Ketua KPU Ilham Saputra menyebut program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan tidak berorientasi kepada kepentingan jangka pendek. Lewat penerapan program bisa hindari kemudian money politics dan bisa menghindari pilihan di luar rasional pemilih.
KPU lewat program ini hendaknya mendorong para pemilih agar dapat memberikan suara berdasarkan pertimbangan rasional, yakni visi misi dan rekam jejak pasangan calon.
Tidak hanya itu, KPU juga ingin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam hal menggunakan hak pilih, memantau pelaksanaan pemilu, hingga menjadi panitia dalam pemilu.
Lantas apa alat ukur yang bisa dipakai berhasil atau tidaknya program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan? Tentu jawaban yang sudah disiapkan KPU adalah bisa diukur secara kuantitatif, yakni berdasarkan angka partisipasi pemilih pada pemilu dan pemilihan. Dan yang paling penting adalah bagaimana pemilih secara sadar mengedepankan kemandirian dan rasionalitasnya.
Ihwal Politik Uang
Sejumlah program KPU, termasuk program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan memang masih dihantui fenomena politik uang (money politics).
Kita coba cek kembali fenomena politik uang pada Pilkada serentak tahun 2020 lalu. Data Bawaslu RI menunjukkan, penanganan dugaan pelanggaran politik uang pada Pilkada tahun 2020 lalu berjumlah 262 kasus.
Dari total tersebut, yang telah sampai pengkajian dan penyidikan, terdapat 197 laporan masyarakat dan 65 kasus merupakan temuan Bawaslu. Angka penanganan politik uang tersebut dikumpulkan hingga 17 Desember 2020.
Dari data, dapat dibaca bahwa fenomena politik uang di Indonesia masih marak terjadi bahkan mungkin sangat sulit dihentikan. Boleh dibilang sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh para calon atau kontestan politik untuk meraup banyak dukungan.
Harus kita sepakat bahwa politik uang merupakan kejahatan paling parah dalam alam demokrasi Indonesia. Kejahatan ini bahkan paling ganas bak virus mematikan dan bisa menumbuhkan sikap antidemokrasi.
Politik uang bisa merebak tentu karena banyak faktor, mulai dari alasan ekonomi, minimnya pengetahuan demokrasi, budaya, calon yang tidak punya program, dan karena lemahnya aturan penegakan hukum.
Misalnya, perlakuan hukum UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemberian sanksi dapat diberikan kepada penerima dan pemberi. Sedangkan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hanya pemberi yang dapat diberikan sanksi bila terjadi politik uang.
Pasal 187A UU Nomor 10 Tahun 2016 menegaskan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sedangkan, subjek pemberi uang dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pada tahap kampanye dan masa tenang hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye. Artinya, siapa pun di luar mereka tidak dapat diberi sanksi. Padahal, di lapangan banyak juga pelaku politik uang oleh orang yang bukan pelaksana, peserta atau tim kampanye.
Kita tentu tahu bahwa praktik politik uang dilakukan dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk calon dan atau partai yang bersangkutan. Artinya, jika praktik busuk ini mulus dilakukan, maka akan berdampak pada peningkatan partisipasi pemilih.
Sementara di sisi lain, keberhasilan program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan salah satunya bisa diukur dari peningkatan angka partisipasi pemilih pada pemilu dan pemilihan. Artinya indikator keduanya sama, yakni peningkatan partisipasi pemilih.
Hanya saja ada penambahan tujuan, yakni program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan diharapkan bisa mewujudkan pemilihan yang cerdas, rasional, mandiri, dan bertanggung jawab.
Lantas pertanyaannya apa alat ukur terdekat yang secara kasat mata bisa dilihat bahwa pemilih berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena ia cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab? Apa juga alat ukur untuk mengidentifikasikan bahwa pemilih ke TPS karena politik uang atau karena karena ia cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam ajang demokrasi tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu masih belum bisa dijawab secara tuntas.
Dari sekian persoalan money politics tersebut yang kerap menggeroti alam demokrasi kita, maka mesti menggejot upaya-upaya solutif agar ke depan kita dapat menggapai pemilu dan pemilihan berkualitas.
Misalnya, mesti melakukan pembenahan tuntas pola rekrutmen kader parpol, penyelenggara mesti dipastikan betul-betul independen, sosialisasi pemilu dan pemilihan kualitas harus masif dilakukan, dan lain-lain.