Oleh: Fransiskus Sardi*
(Hermes menyadari bahwa kekudusan adalah dosa yang dicurangi seperti sedekah tanpa senyuman, negara tanpa perkara dan hidup tanpa masalah, itu adalah dosa.)
Hari sudah sangat gelap. Matahari sudah beranjak jauh, meninggalkan hitam yang pekat. Bulan pun enggan menampakan cahayanya. Remang-remang cahaya lampu menyinari sepanjang jalan kota.
Cahaya lampu kota menyinari jalan yang ditetesi air hujan sore tadi. Suasana alam seperti sedang menggambarkan suasana hati Asoka. Hati yang penuh dengan kecemasan akan hidup, masa depan dan cita-cita.
“Apakah engkau mencintainya”? tanya Hermes pada Asoka memulai percakapan keduanya.
“Cinta? heheh… Aku tak ingin berbicara tentang cinta sekarang! Aku lebih menikmati pekerjaanku saat ini. Ngamen jauh lebih asyik dari pada bercinta Hermes” jawab Asoka
“Hah? Bercinta? Aku tidak membicarakan hal itu. Kenapa kamu tiba-tiba berpikir tentang bercinta. Bercinta itu hal tabu dan tidak bisa dibicarakan sesuka hatimu!” ucap Hermes sembari melototkan matanya melihat ekspresi dingin dari Asoka.
“Heheh… Aku sedang membayangkan itu sambil bertanya-tanya Mes. Bagaimana mungkin sesorang bisa bercinta tanpa cinta? Apa itu mungkin? (Asoka diam sejenak) Sudahlah! (sambil menarik napas panjang) Kita lanjutkan ngamen dulu, itu lampu lalu lintas sudah merah. Kita hanya punya waktu 10o detik. Nanti baru kita bicarakan lagi hal ini.” ujar Asoka sambil mengajak Hermes berjalan menuju zebra cross di perempatan jalan, tempat mereka mengamen setiap akhir pekan.
Jalanan malam itu cukup ramai. Keduanya melihat beribu manusia lalu lalang seperti semut. Ada yang menggunakan motor, ada yang menggunakan mobil, ada yang menggunakan taksi online, ada yang menggunakan kendaraan pribadi. Ada bermacam manusia, dari yang kulitnya cerah sampai yang hitam manis. Seperti itulah realita dunia! Selalu beragam.
Di zebra cross di depan berpuluh biji mata, Asoka dan Hermes menari-nari seperti orang gila tanpa lantunan irama musik. Setiap sabtu malam keduanya selalu menari dengan gerakan yang sama. Mata dan otak manusia mengenal mereka dengan sebutan pengamen al a manusia perak. Padahal mereka memiliki nama, tapi nama mereka sekarang bukan nama pemberian orang tua, bukan nama baptisan, bukan juga nama pemberian Kyai. Nama mereka ditandai dengan cat silver yang melekat pada tubuh telanjang.
Semua yang berhenti menunggu cahaya hijau, menatap Asoka dan Hermes menari. Keduanya tidak pernah malu, toh semua orang yang antri di situ tidak ada yang mengenal mereka. Kalau pun ada yang mereka kenal, dijamin seratus persen orang itu tidak mengenali wajah mereka yang berlumuran cat.
“Kenapa kita harus ngamen ya Asoka?” tanya Hermes setelah keduanya kembali duduk di pinggir trotoar menunggu cahaya lampu merah berikutnya.
“Heheh… kita hanya bisa ngamen Mes. Apakah kau punya ijasah untuk melamar pekerjaan yang jauh lebih baik dan terhormat dari ngamen? Dan bukannya semua pekerjaan itu sama?” pinta Asoka.
“Engkau tahu aku baru menyelesaikan kuliah Asoka, tapi ijasahku hanya menjadi hiasan. Sekarang, ijasah tidak menjamin seorang memiliki pekerjan!” Hermes mengeluh.
“Heheh… kita harus bersyukur dengan apa yang kita kerjakan dan miliki. Syukurilah kita masih hidup, walaupun sepertinya tidak berguna di mata tatanan sosial. Toh, menjadi seorang PSK pun kita wajib bersyukur, menjadi penggaguran pun kita juga harus berterima kasih, karena tidak semua orang memiliki waktu dan kesempatan seperti kita untuk menari dan membuat orang terhibur!” ucap Asoka sambil menyemangati Hermes.
“Apakah engkau yakin Asoka bahwa mereka yang melihat kita menari terhibur?” tanya Hermes
“Heheh… pasti mereka terhibur Mes. Buktinya mereka memberikan kita uang” jawab Asoka sambil menunjukan kotak uang yang dipegangnya pada Hermes.
“Tapi ada yang tidak memberikan uang pada kita Asoka!” Hermes kembali mempersoalkan jawaban Asoka
“Heheh… (diam sejenak) Hermes, seharusnya engkau sadar, di zebra cross ini, kita bisa melihat siapa itu manusia. Ada banyak pelajaran yang kau temukan! Jangan terlalu sering membaca buku cetak yang berisi huruf mati, jika ada beribu tulisan pelajaran hidup dari realitas seperti ini.” jawab Asoka bak seorang guru besar. Padahal dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan formal dari guru dan dosen di ruang kelas seperti Hermes.
“Bagaimana mungkin kau kelihatan lebih cerdas daripada saya Asoka? Padahal saya sudah menyelesaikan kuliah dan punya gelar strata satu? heheh…” tanya Hermes sambi tersenyum tipis.
“Heheh… tanyakan pada sistem!” Jawab Asoka singkat.
Setelah lampu lalu lintas kembali menampakan cahaya merah, keduanya kembali mengamen. Begitulah pekerjaan mereka sepanjang malam itu. Lampu hijau mereka mundur, lampu merah keduanya bergerak. Hasil ngamen keduanya sudah lumayan banyak. Uangnya sudah lebih dari cukup.
“Terima kasih ya Mas dan Mbak semuanya. Semoga Tuhan memberkati perjalanannya” ucap Hermes kepada setiap orang yang memberikan sedekah pada mereka. Kalimat itu sudah menjadi dogma yang melekat dalam otak Hermes dan Asoka.
Setiap kali keduanya menerima sedekah, kalimat itu akan dengan sendirinya keluar dari mulut mereka. Walaupun tidak ada yang memintanya untuk berterima kasih. Itulah kata-kata pertama yang mereka hafal sejak keduanya bisa berjalan dan berbicara dengan orang lain.
“Apakah kita harus berterima kasih untuk mereka Ya Asoka?” tanya Hermes saat menghitung jumlah uang di trotoar.
“Heheh… Ya… Kita harus berterima kasih untuk semua orang yang memberi sedekah.” Jawab Asoka sambil merapikan kotak sedekah dan bersiap-siap untuk pulang.
“Jika uang sedekah ini hasil korupsi, masihkah kita perlu berterimakasih?” Tanya Hermes lagi saat mereka menyusuri trotoar.
Gerimis mulai reda sejak mereka mengamen dan menari-nari. Cahaya bulan purnama sudah tampak bersinar terang. Hermes memang suka bertanya. Semua fenomena ditanyakannya. Bahkan orang yang melakukan hubungan seksual, juga menjadi perkara. Padahal dalam kehidupan sosial ada privasi yang tidak boleh ditanyakan.
Bagi Hermes, bertanya adalah cara terbaik untuk mengetahui. Tidak ada batasan dan privasi yang harus dijaga selama itu bisa dikaji. Setiap pertanyaan adalah interogasi atas fakta yang kelihatan indah. Hermes selalu mencurigai suatu fenomena yang kelihatan rapi, sistematis dan adem tentram. Hermes menyadari bahwa kekudusan adalah dosa yang dicurangi, seperti sedekah yang tidak diwarnai senyuman tulus, negara tanpa perkara dan hidup tanpa masalah, itu adalah dosa.
“Heheh… Jika kamu ingin menanyakan asal usul uang itu, jangan tanya padaku Mes! Tanyakan langsung pada orang yang memberi sedekah tadi! Jika kamu keberatan dengan uang haram, karena hasil korupsi atau curi, berikanlah semuanya pada saya, dan saya akan tunjukan padamu bahwa tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang luput dari dosa. Jika demikian faktanya maka semua kenyataan dan manusia adalah haram bagimu.” tegas Asoka sambil melihat pasangan muda-mudi yang duduk di pinggiran trotar menikmati akhir pekan.
Asoka memang jarang sependapat dengan Hermes. Walaupun keduanya sudah tinggal bersama sejak bayi, karakternya selalu berbeda. Asoka selalu memulai pembicarannya dengan tersenyum sambil tertawa kecil. Tertawa menjadi gambaran perjuangannya atas hidup. Dia tidak ingin mempersoalkan semua realita. Dia mau menjalani hidup dengan penuh tawa, entah itu suka maupun duka. Mempersoalkan realita akan melahirkan masalah baru. Asoka juga minder dengan Hermes yang memiliki kesempatan untuk belajar di sekolah formal sedangkan dirinya hanya belajar dari para pengasuhnya.
“Kau salah Asoka! Aku tidak mempersoalkan haram dan halal. Aku hanya ingin bertanya, apakah pantas bersyukur untuk sebuah keburukan, berterimakasih pada sebuah kejahatan? Engkau harus tahu Asoka, dalam diri kita sudah melekat tiga ciri yang membedakan kita dengan binatang, yakni kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dalam bahasa akademisnya verum, bonum dan pulcrum. Itu artinya kita harus melihat yang benar, baik dan indah” ujar Hermes berlagak bak akademisi.
“Heheh… kau tidak perlu bangga dengan istilahmu itu dihadapanku! Terlalu mengawang-awang! Selama istilah itu tidak dimengerti oleh kaum miskin, marjinal, tidak berpendidikan, terlantar dan berbagai identitas minus, istilah itu tidak akan pernah mengubah dunia. Jangan menggunakan bahasa yang kelihatan akademis untuk menutup kedunguan. Belajarlah untuk menjadi sederhana, agar orang-orang sederhana mendekatimu” ucap Asoka sinis
“Asoka, engkau adalah orang cerdas yang aku kenal sejak kecil. Setelah aku menyelesaikan kuliah, aku tidak menjamin bahwa ijasah dan nilai yang tertera di dalamnya adalah represtasi kecerdasan seseorang. Ada banyak mahasiswi yang menjual tubuh untuk mendapat nilai A. Dengan demikian, kau masih percaya pada nilai yang ditulis dilembar ijasah? Lihatlah Asoka, realitanya sekarang yang korupsi adalah orang-orang yang sekolahnya tinggi. Mereka punya gelar yang panjang dan beragam” tegas Hermes.
“Mengenai istilah tadi, kata itu aku dengar dari dosen. Seharusnya itu berakhir di ruang kelas. Walau pun kuliah sekarang tidak menjamin masa depan, kita harus tetap bersyukur Asoka. Ada banyak peradaban yang lahir berkat pendidikan. Johannes Gutenberg menjadi penemu mesin cetak berkat pendidikan. Memang ada irononya juga, kadang kuliah hanya menghabiskan uang orang tua, tapi toh pendidikan itu sangat penting” ujar Hermes sambil memeluk pundak Asoka yang sedari berjalan pelan disampingnya menuju asrama.
Keduanya sekarang berjalan sambil berpelukan seperti anak kecil. Mereka tidak memedulikan mata orang-orang yang berjalan di trotoar malam itu. Keduanya sudah terbiasa dilihat khalayak ramai. Asoka dan Hermes merenungkan tentang makna nama keduanya. Nama yang membuat keduanya berbeda karakter.
Hermes adalah nama yang diambil dari tokoh mitologi Yunani Kuno yang menjadi penyampai pesan para dewa. Hermes suka menafsir, dan namanya erat dengan tindakan menafsir. Dia bangga karena pengasuhnya mengatakan bahwa nama itu memiliki hubungan dengan kata hermeneutika.
Sedangkan Asoka, berarti pribadi yang tidak memiliki duka. Namanya berasal dari Bahasa Sanskrit, a berarti tanpa, soka artinya duka. Itulah alasannya mengapa dia selalu memulai pembicarannya dengan senyum dan tawa.
“Ayo bersihkan diri kalian” ucap pemilik panti, setelah keduanya sampai di rumah asuhan. Begitulah hari-hari mereka di akhir pekan. Menari, tertawa sambil berperkara.
Ruang Clatia, Yogyakarta, November 2021
(*Fransiskus Sardi, Putra Manggarai Timur, NTT. Sedang merantau di Yogyakarta)