Oleh: Eugenius M. Darmawan
Keinginan untuk memperbaiki kualitas hidup adalah salah satu faktor pendorong perubahan sosial. Secara umum kualitas hidup didasarkan pada tiga faktor, yakni pendapatan, kesehatan, dan pendidikan.
Faktor-faktor ini mendorong manusia untuk memeperbaiki kualitas hidupnya. Pada saat yang sama kebutuhan manusia bertambah kompleks.
Dalam perkembangan zaman, memperbaiki kualitas hidup dan pemenuhan akan berbagai kebutuhan menjadi suatu keharusan atau tuntutan zaman.
Perubahan sosial terjadi semakin cepat dan masif, menyentuh berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Hal ini terjadi karena tuntutan atau keharusan zaman.
Berbagai dampak baik positif maupun negatif dirasakan masyarakat. Di samping modernisasi, kesejahteraan masyarakat yang meningkat, efisiensi dalam kehidupan masyarakat, dan integrasi sosial, perubahan sosial juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan marginalisasi.
Jaringan advokasi tambang (Jatam) mencatat terdapat 3.092 lubang tambang yang tidak direklamasi di Indonesia (CNBC Indonesia). Potret negatif perubahan sosial ini terjadi akibat eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan atas dasar pembangunan.
Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) disebutkan pihak swasta akan diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi serta penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu, pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator.(http:// www. Kemendag.go.id).
Hal ini berarti, negara membuka pintu bagi pemodal baik pemodal asing maupun domestik menjadi pelaku utama pembangunan dan mengeksplorasi serta mengeksploitasi sumber daya alam.
Pembangunan diklaim sebagai suatu proses, yang mengantar kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Pembukaan tambang seperti tambang batu bara didasarkan atas dasar pembangunan. Tambang dinilai mampu meningkatakan kualitas pembangunan.
Suatu anggapan umum bahwa, kualitas pembangunan bertalian erat dengan kualitas kehidupan masyarakat/kesejahteraan masyarakat.
Semakin baik kualitas pembangunan semakin baik pula kualitas kehidupan masyarakat, pun sebliknya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tambang mampu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Hal ini benar jika mengacu pada berbagai dampak positif atas dibukanya tambang, seperti meningkatkan pendapatan, menambah lapangan pekerjaan, mendorong pembangunan sarana dan infrastuktur, dan berbagai keuntungan lainnya.
Namun, realisasinya seringkali berbanding terbalik. Manfaat tambang tidak dirasakan secara merata. Seolah manfaatnya dirasakan masyarakat tertentu dan di daerah tertentu, bahkan menyebabkan ketimpangan sosial.
Salah satunya ketimpangan sosial ekonomi, seperti ketimpangan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin.
Dalam film dokumenter berjudul Sexy Killers garapan Dandi Laksono yang diunggah chanel Youtube Watchdoc, diperlihatkan bagaimana jaringan tambang itu bekerja hingga menyebabkan kerusakan lingkungan dan marginalisasi masyarakat di sekitar daerah tambang.
Menjadi ironi karena sebagian besar perusahan tambang tersebut dimiliki oleh sejumlah pemangku jabatan di negeri ini. Menyaksikan berbagai penderitaan yang dialami masyarakat, eksplorasi dan eksploitasi SDA yang dilakukan atas dasar pembangunan dilihat sebagai suatu proses pemiskinan sistemik.
Tambang dinilai dan disebut sebagai suatu proses pemiskinan sistemik jika mengacu pada berbagai dampak negatif yang diakibatkan tambang.
Tambang yang bekerja secara terstruktur dan sistematis menjadi perangkap yang membawa masyrakat pada kemiskinan. Tambang sebagai proses pemiskinan sistemik sendiri dapat diartikan sebagai proses pembangunan yang menggiring dan menjebak masyarakat ke dalam perangkap kemiskinan (deprivation trap).
Masyarakat jarang menyadarinya karena “dibutakan” oleh berbagai keuntungan yang diperoleh melalui tambang. Dampak buruk akibat tambang antara lain kerusakan lingkungan dan marginalisasi.
Pertama, kerusakan lingkungan. Masalah lingkungan di Indonesia mulai mendapat perhatian sejak diselenggarakannya seminar mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasonal oleh Unpar (http://www.menlh.go.id).
Jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan sumber pemenuhan kebutuhan hidup menurun. Sementara itu, pembangunan(salah satunya melalui tambang) sebagai solusi pemenuhan kebutuhan hidup mendorong masalah pencemaran lingkungan.
Perusahaan tambang banyak berciri eksploitatif. Perusahaan tambang mengeksploitasi sumber daya secara besar-besaran dan kegiatan reklamasi pasca-tambang sering diabaikan. Hal ini banyak dilakukan oleh perusahaan tambang yang beroperasi secara ilegal.
Komisi IV DPR mengungkapkan pertambangan ilegal di hutan Indonesia mencapai 8,7 juta hektar. Negara bahkan dirugikan hingga triliunan rupiah (Kompas, 19 Januari 2021). Lubang bekas tambang juga banyak menelan korban jiwa.
Terhitung 34 korban jiwa akibat lubang tambang di Kaltim (Mongbay.co.id). aktivitas tambang yang kurang berorientasi pada kelestarian lingkungan kerap memunculkan persoalan seperti pencemaran tanah, air, udara, kerusakan hutan, erosi dan sedimentasi, rusaknya hutan, hingga menelan korban jiwa.
Kedua, marginalisasi. Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah salah stu kelompok yang mengalami marginalisasi akibat pertambangan. Pembukaan kawasan hutan untuk penambangan menyebabkan KAT kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan.
Masyarakat marginal hidup di dalam perangkap kemiskinan yang terdiri atas kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan (isolisasi), kerentanan, dan ketidakberdayaan (Pratiwi dkk,2014:51).
Pembukaan kawasan tambang diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Akan tetapi, kondisi ini sering menyebabkan marginalisasi pekerja. Selain itu,banyak petani yang kehilangan lahannya hingga menjadi pengangguran.
Berbagai hal di atas hendaknya menyadarkan kita bahwa tambang melalui berbagai dampak negatif tersebut justru menjadi perangkap kemiskinan. Tambang menjadi proses pemiskinan sistemik.
Penulis adalah siswa SMAS Seminari Pius XII Kisol