Oleh: Lilin
Kukira ini adalah tahun terakhir dari kehidupanku. Dengan usia yang telah melewati batas penghidupan rata-rata manusia di bumi, enam puluh lima tahun. Aku yang tidak lagi bisa berdiri tegak, berlari, atau mengayuh sepeda, menjadi sangat kepayahan menjalani kehidupan saat ini. Melewati rumah-rumah dengan pintu yang lebih lebar dua kali rentangan tanganku, setiap subuh adalah rutinitas yang harus kujalani. Demi mengantarkan setampah kue cucur buatan istri ke kedai-kedai di ujung jalan.
Sementara tulang-tulang kakiku tak lagi bisa kuajak berkejar-kejaran dengan waktu. Kulit perut tua kami tidak bisa dilipat hanya dengan sekali ikat. Dengan tersaruk-saruk tanah yang kulewati, dan sisa gelora perjuangan di dada, sejam terlalu cepat untuk sampai di kedai pertama.
Dua puluh biji kue cucur kutitip di pagi ini, sekiranya habis sore nanti akan ada dua liter beras bisa kubawa pulang. Itu saja tidak cukup. Masih ada dua puluh kue cucur lagi yang harus kuhantarkan ke kedai kedua dan ketiga. Masih ada ikan dan minyak yang harus kutebus sebagai peneman dua liter beras. Agar esok hari perut tua ini terisi dengan nasi dan makanan bergizi.
Seperti hari kemarin, aku dan istriku harus punya tenaga ekstra demi menunggu satu kepastian. Apakah tahun ini adalah tahun terakhir dari masa penghidupan kita. Di saat orang-orang duduk dengan santai di pagi hari, menikmati secangkir kopi dan koran harian pagi. Aku dan Sutinah harus terus berjuang, bertarung di medan perjuangan.
Seperti kata teman seperjuanganku kemarin, “tahun ini adalah tahun terakhir perjuangan kita.”
Aku dan Rusdi sebenarnya telah lelah terus berjuang. Mengenakan baju berwarna hijau lumut, mengetuk berbagai pintu hanya untuk mendapatkan pengakuan. Bahwa negeri ini ada karena kami. Orang-orang setiap pagi bisa duduk santai dan menikmati koran pagi adalah karena jasa kami.
Jika lima atau sepuluh tahun lalu, kedua kaki ini masih bisa kugunakan untuk mengayuh sepeda onthel tua peninggalan bapakku. Pergi menuju komplek pejabat negara setiap malam dengan udara dingin yang bersahabat. Hanya untuk sekedar menjaga rumah-rumah mereka dari serangan anjing liar pembuat kekacauan. Agaknya semua itu hanya bisa kulakukan, untuk memperoleh sekarung beras dan sedikit uang jasa, agar kami tetap hidup.
***
Aku lelaki tua pengantar kue cucur, Mbah Soekardji orang memanggilku. Di siang yang terik di samping rumah besar sekali lagi kuistirahatkan tubuh renta. Menebar angan-angan jika nanti seseorang yang puluhan tahun lalu mengingat pernah mengenalku datang dan memberikan mimpi-mimpi yang kutinggalkan di medan perjuangan.
Dengan bahasa-bahasa sederhana, dan makanan seadanya. Kuantarkan setiap pagi dan siang hari untuk mereka yang berjalan di jalur gerilya. Tanpa mereka minta aku memata-matai apa saja yang bisa mendukung langkah mereka mencapai kemerdekaan. Hanya ketulusan dan tanpa keterpaksaan kusediakan keberanian, berjalan di antara wajah-wajah asing yang sesekali mencurigaiku.
Sampai sebuah tujuan dengan akhir yang indah bisa mereka peroleh. Satu persatu mereka yang berjalan menemukan titik akhir yang indah, kemerdekaan. Nama dan lencana tersemat di bahu. Berkarung-karung beras dan uang setiap bulannya lancar terkirim. Bahkan nama mereka tertera di buku-buku sejarah atau setidaknya cukup di selembar kertas bertuliskan Legiun Veteran Republik Indonesia. Akhir yang indah.
Masa tua yang menyenangkan. Senyaman tidur di ranjang berselimut hangat ketika hujan datang. Menikmati sarapan yang enak sebelum aktivitas pagi dimulai. Seindah mimpi-mimpi yang kuberikan kepada Sutinah, tatkala dengan sedikit keragu-raguan kutinggalkan ia di depan pintu rumah kami yang reot. Sementara di tanganku ada sedikit makanan yang kuminta sebagian untuk sahabat-sahabat yang ada di garis depan.
Sungguh, akhir yang kuinginkan adalah membersamainya dengan kemuliaan. Mengajaknya mengunjungi tempat-tempat bersejarah dimana dulu aku dengan gagah perkasa membawa rantang makanan untuk mereka dengan diiringi tatapan mata curiga para kompeni.
Sungguh aku hanya seorang lelaki tua pengantar cucur, sesekali bermimpi mujur mendapatkan sekarung beras tanpa harus berjalan tersaruk-saruk.
Sepertinya langit hari ini cukup mengerti. Cuaca yang terik berubah mendung, alam memahami bahwa cucur buatan istriku cukup enak dinikmati kala awan bergulung-gulung mengepung, angin bertiup sedikit kencang sehingga kehangatan begitu dicari oleh mereka yang dompetnya cukup terisi.
Membuang uang seribu dua ribu rupiah untuk duduk menikmati cucur buatan Sutinah tidaklah begitu merugi.
Aku cukup menikmati, jika ada tangan-tangan yang terus saja tanpa henti mengambil lagi dan lagi. Sambil bibirku tak berhenti menghitung berapa rupiah yang bisa kubawa pulang. Rasanya tahun ini bukanlah tahun terakhirku.
***
“Apakah benar yang kaukatakan itu, Rus. Bahwa akhir tahun ini kita akan dipanggil ke balai kota?”
Rusdi sore ini menemuiku di kedai Kirman. Salah satu anak teman sejawat yang nasibnya lebih beruntung daripadaku. Ia lebih dulu dipanggil ke balai kota sebelum ajal memanggilnya. Hingga Kirman bisa membuka kedai kopi dan aku punya kesempatan mempertahankan hidup. Satu lagi keberuntungan temanku itu, ia memiliki Kirman, sedangkan Tuhan tak pernah membiarkan Kirman lain tumbuh di rahim Sutinah. Pun demikian aku sangat mencintainya.
Kerlap-kerlip lampu jalanan, menyilaukan kedua mataku. Mimpi-mimpi menjadi penghalang jarak pandang untuk sekian meter. Di persimpangan, sebuah minibus merenggut senyum terakhir kali di bibirku. Sampai sore ini masih terlilit mimpi-mimpi, esok pagi tak ada lagi tangan gemetar Sutinah mengaduk adonan kue cucur berwarna-warni.
Kulelapkan tubuh tua ini untuk kesekian kalinya dalam buaian mimpi. Akhir tahun adalah batas perjuanganku. Di balai kota akan ada yang menyambutku dengan sebutan bapak, jabat tangan, dan yang lebih kuharapkan adalah sekarung beras dan biaya penghidupan bagi kami berdua.
Dalam senyum terakhir, mataku mengelus kepala Sutinah yang telah ditumbuhi rambut putih di sana-sini. Lalu dengan malu-malu kunamai Sutinah sebagai janda Veteran Republik Indonesia.
Surabaya, 10 November 2021
Bionarasi Penulis
Lilin adalah nama pena dari ibu rumah tangga 37 tahun kelahiran kota Surabaya ini. pengagum sunyi dan sendiri. Menulis merupakan expresi meluahkan segala perasaan. puisinya bisa dinikmati dalam antologi bersama pemuisi Jatim, puisi dua larik ‘Kalam 16 Seroja’, ‘Sepotong Sajak di Tepian Senja’ bersama grub literasi SASTRA PUJANGGA INDONESIA. Serta karya solo noveletnya “Jejak Yang Tertinggal” sedang dalam proses cetak. Dan masih banyak antologi-antologi yang saat ini sedang dipersiapkanya. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media online saat ini.
Jejaknya bisa dilacak di akun instagram Farren_farrenz atau farrenmey
bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin(Mey Farren)