Oleh: Ramli Lahaping
Kabar mengejutkan sampai ke telingaku empat hari yang lalu. Bibiku mengabarkan bahwa ibuku meninggal. Ia mengembuskan napas terakhir setelah terjatuh dari atas pohon nangka di halaman belakang rumah, dan sisi kepalanya membentur batu besar.
Akhirnya, aku merasa terpanggil untuk pulang dari kota pelarianku di pulau seberang. Aku merasa seharusnya demikian, meski aku masih membenci ibuku. Setidaknya, dengan begitu, aku bisa menepis kecurigaan dan gunjingan orang-orang atas apa yang terjadi di antara kami.
“Menikahlah dengan Juragan Halim!” tekan ibuku, tiga tahun yang lalu, sesaat sebelum aku meninggalkan tanah kelahiranku, ketika aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP.
Aku pun menangis. “Aku belum mau menikah, Bu. Aku mau sekolah seperti teman-temanku.”
“Aku tidak mau tahu!” solot ibuku. “Pokoknya, kau harus menikah dengan Juragan Halim!”
Aku menggeleng keras. “Aku tidak mau menikah dengannya, Bu. Kalau pun aku ingin menikah, aku akan menikah dengan lelaki pilihanku sendiri.”
Seketika pula, tamparan ibuku mendarat di pipiku. “Kau tidak akan pernah bahagia kalau kau tidak mematuhi perintahku. Aku ini ibumu!”
Aku terdiam saja dan terus menangis.
“Kau jangan membantahku! Ingat, tidak ada kehidupan yang baik untuk anak yang durhaka kepada ibunya!” tegasnya lagi, terdengar marah sekaligus menasihati.
Aku hanya terus mengurai air mataku.
Ia pun melengos kesal, dan pergi.
Akhirnya, pada malam setelah pertengkaran hebat itu, aku pun mengendap-endap keluar dari rumah, kemudian menumpang kapal untuk pergi ke kota yang jauh, di pulau seberang, demi menghindari perkawinan paksa yang tak bisa kuterima. Selama bertahun-tahun, aku pun hidup luntang-lantung dan mengemis penghidupan kepada orang-orang. Hingga akhirnya, aku menjadi seorang pramusaji di sebuah rumah makan.
Waktu demi waktu, aku terus bekerja keras demi bertahan hidup di usia muda. Aku terpaksa putus sekolah dan melupakan keinginanku menjadi seorang dokter. Padahal, aku terhitung sebagai siswi yang berprestasi, dan nilaiku senantiasa masuk ke dalam peringkat lima besar. Karena itu, kukira, kenyataan hidupku sangat mengecewakan bagi wali kelasku waktu itu, seorang guru mata pelajaran agama, yang senantiasa memberiku semangat untuk mengejar cita-citaku.
Tentu saja, aku menolak menikah dengan Halim, sang pengusaha peternakan yang kaya raya. Aku jelas tidak punya sedikit pun ketertarikan kepadanya. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk tertarik kepadanya. Itu karena ia adalah seorang lelaki tua beristri dua yang umurnya berjarak hampir tiga puluh tahun dariku. Ia jelas lebih pantas menjadi ayahku ketimbang suamiku.
Tetapi aku bisa memahami maksud ibuku. Ia berharap aku bisa hidup bahagia dengan harta benda sang juragan. Ia ingin aku hidup berkecukupan, atau bahkan jauh lebih dari cukup. Ia ingin aku hidup tenang tanpa memusingkan perihal kebutuhan pokok. Apalagi, waktu itu, aku dan dia hidup dalam keadaan yang miskin.
Kehidupanku bersama ibuku memang memprihatinkan. Kami hanya hidup berdua di sebuah rumah semi permanen. Kami bertahan dengan mengelola lahan sempit di belakang rumah, yang ditumbuhi barisan singkong dan sebuah pohon nangka, tanpa lelaki sebagai tulang punggung. Pasalnya, sepanjang hidup, aku tak pernah melihat sosok lelaki sebagai suaminya dan sebagai ayahku. Ia seakan-akan mengandungku tanpa sosok suami, dan aku terlahir tanpa sosok ayah.
Asal keturunanku yang misterius, terjadi karena masa lalu ibuku yang kelam. Dari cerita yang kudengar dari berbagai sumber, aku akhirnya tahu bahwa ibuku telah melalui jalan yang salah. Dahulu, sepeninggal kakekku, ibuku hanya tinggal berdua bersama nenekku setelah kakaknya beranjak menjadi tenaga kerja di negeri seberang. Di tengah keadaan yang serba kekurangan dalam soal ekonomi, ibuku pun menjual dirinya kepada lelaki hidung belang.
Pada waktu selanjutnya, di masa sebelum kelahiranku itu, kehidupan ibuku pun jadi semakin pelik. Itu karena nenekku sebagai teman satu-satunya, menghilang tanpa jejak. Banyak sangkaan-sangkaan tentang sebab hilangnya nenekku, tetapi taksiran yang paling kuat adalah nenekku sengaja menghilangkan dirinya karena malu atas kenyataan ibuku yang telah menjadi wanita penghibur. Tetapi meski begitu, ibuku terus saja melakoni pekerjaan haramnya demi bertahan hidup.
Hingga akhirnya, akibat dari pergaulan dunia hitam, ibuku pun hamil tanpa ada yang tahu siapa yang berhasil menanamkan benih manusia di dalam rahimnya kecuali dirinya sendiri. Akibatnya, aku pun lahir tanpa mengetahui sosok ayahku. Setiap kali aku bertanya, ibuku terus saja mengaburkan kenyataan dengan mengatakan bahwa ayahku telah meninggal, seolah-olah aku tidak akan pernah dewasa untuk menaruh curiga atas ceritanya setelah mendengar cerita orang-orang.
Tetapi pada akhirnya, aku tak berhasrat lagi untuk bertanya. Aku merasa tak mungkin bisa tahu perihal itu tanpa kejujuran ibuku. Aku menerima saja keadaanku sebagai anak yang terlahir tanpa kejelasan ayah. Apalagi, pada waktu-waktu kemudian, ketika aku bertanya dengan penuh curiga, ibuku hanya akan diam dan menangis, atau bahkan malah memarahiku.
Atas kenyataan itu, aku pun menyalahkan ibuku atas keadaan hidupku yang penuh masalah. Aku menyalahkannya karena tidak menghadirkan sosok ayah untukku. Apalagi, ia malah berlaku sewenang-wenang atas diriku dengan memaksaku untuk menikah dengan seorang lelaki yang tidak kuinginkan. Karena itu, kadang-kadang aku berpikir, seandainya bisa, aku memilih untuk tidak dilahirkan di dunia ini, atau setidaknya tidak dilahirkan melalui rahimnya.
Tetapi bagaimanapun, sebagai seorang anak, aku tak pernah benar-benar sanggup untuk membencinya secara penuh. Pun, sebagai seorang ibu, kukira, ia tak pernah punya niat untuk menyengsarkan hidupku. Makanya, setelah aku mendapatkan kabar perihal kematiannya dari bibiku yang telah pulang dari negeri seberang, aku pun memutuskan untuk pulang, sembari membawa bentuk perasaanku yang tak lagi berbentuk terhadapnya.
Akhirnya, tiga hari yang lalu, aku kembali berada di kampung halamanku setelah prosesi penguburan ibuku selesai. Aku tak sempat menatap wajahnya untuk terakhir kalinya, kerena prosesi penguburan memang harus dilakukan sesegera mungkin. Tetapi aku tahu bahwa keadaannya mengenaskan, sebab ia ditemukan meninggal dengan cara yang tragis di samping pohon nangka di belakang rumah. Karena itulah, aku merasa memang sebaiknya untuk tidak menyaksikan keadaannya, sembari mendoakannya saja untuk segala hal yang telah kuikhlaskan atas dirinya.
Di tengah perkabunganku, orang-orang pun datang melayat. Mereka berusaha menghiburku. Mereka seperti mengerti tentang keadaanku. Mereka tidak melontarkan cibiran atau sekadar pertanyaan atas keputusanku telah meninggalkan ibuku. Mereka tampak memahami bahwa aku telah berada di dalam situasi yang runyam, sehingga aku memutuskan untuk pergi.
Salah seorang yang datang melayat adalah Pak Makdir, mantan wali kelasku dan guru mata pelajaran agamaku dahulu, yang tinggal tak jauh dari rumahku. Ia tampak begitu prihatin atas kepiluanku. Ia berharap agar aku bisa bersabar, sembari menawarkan dirinya kalau-kalau aku ada keperluan di tengah keadaan hidupku yang masih mencemaskan.
Dan akhirnya, pagi ini, ia kembali bertandang sembari membawa serantang opor ayam untukku. Karena itu, setelah ia pulang, aku pun memancing pembicaraan dengan bibiku, “Pak Makdir itu orang yang sangat baik, ya, Bi. Saat aku masih sekolah, ia adalah guru favoritku.”
Bibiku lantas tersenyum. “Ia memang orang baik. Apalagi, ia seorang guru agama yang lahir dari keluarga yang religius.”
Aku pun merasa senang.
Sampai akhirnya, bibiku pun menuturkan cerita perihal ibuku dan Pak Makdir sebelum kelahiranku, “Eh, dahulu, ibumu itu pernah punya hubungan yang spesial dengan Pak Makdir, semasa mereka SMA.”
Aku sontak penasaran. “Lalu?”
“Tetapi hubungan mereka ditentang oleh keluarga kedua belah pihak. Nenek menilai Makdir berasal dari keluarga dengan perekonomian yang biasa saja, sehingga ia memilih untuk menjodohkan ibumu dengan seorang pedagang jagung yang kaya raya. Sebaliknya, orang tua Pak Makdir juga tidak setuju, sebab mereka menilai bahwa keluarga ibumu, keluarga kita, bukanlah keluarga yang religius,” urai bibiku.
Seketika, aku terenyuh mendengar kisah itu dan mulai menerka indikasi bahwa ibuku menjodohkanku kerena ia pernah mengalami hal serupa. “Lalu, apa yang terjadi dengan mereka?”
“Ya, mereka tidak lagi menampakkan kedekatan mereka di depan keluarga atau khalayak. Sampai akhirnya, kisah mereka berakhir setelah Makdir menikah dengan seorang wanita pilihan orang tuanya, sedangkan Ibumu lari dari rumah dan menggelandang di tengah kota untuk menghindari perkawinan paksa,” jawab bibiku, dengan raut sayu.
Tak pelak, aku merasa terharu atas akhir kisah itu. Diam-diam, aku membayang-bayangnya, seandainya saja aku memiliki sosok ayah yang baik seperti Pak Makdir.
Waktu pun bergulir cepat di tengah pikiran-pikiranku.
Lewat tengah hari, tiba-tiba, hujan deras turun beserta angin yang bertiup kencang. Selama setengah jam, gejolak alam itu terus berlangsung, hingga pohon nangka yang ditanam ibuku di belakang rumah kami menjadi rebah.
Akhirnya, menjelang sore, ketika angin dan hujan telah reda, aku dan bibiku lantas mengecek keadaan yang kacau di sisi belakang rumah. Beberapa lama kemudian, aku pun terkejut setengah mati setelah menyaksikan tulang dan tengkorak manusia pada cerukan tanah bekas landasan akar pohon nangka yang telah tumbang.***
Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa disapa melalui Twitter (@ramli_eksepsi).