Labuan Bajo, Vox NTT – Kapolres Manggarai Barat AKBP Felli Hermanto diminta agar memerintahkan Kasat Serse dan jajarannya segera menuntaskan pengusutan dugaan mafia tanah di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo.
Kasus tersebut melibatkan Mahmud Hasan dan Ali Usman. Keduanya adalah warga Desa Gotontalo.
Kasus tersebut telah dilaporkan ke Polres Mabar tahun 2018 dan laporan dicatat dengan Nomor: LP/80/IV/2018/NTT,Res Mabar, tanggal 20 April 2018.
“Sudah tiga tahun lebih laporan itu mengendap di Mapolres. Kami minta agar kasus tersebut segera naik ke penyidikan dan segera tetapkan tersangka. Itu kasus dugaan mafia tanah dengan membuat nama Fungsionaris Adat abal-abal,” kata Siprianus Edi Hardum, SH, MH, Selasa (14/12/2021).
Siprianus Edi Hardum, SH, MH dari Kantor Hukum “Edi Hardum and Partners”, merupakan kuasa hukum Yohanes Pasir dan Aloysius Saida, dkk. Mereka adalah pelapor kasus tersebut.
Selain, Siprianus Edi Hardum, SH, MH, kuasa hukum lain dalam kasus ini adalah Gabriel Kou, SH, dari Kantor Hukum Gabriel Kou, S.H. Law Office GABRIEL KOU,S.H & Partners, Labuan Bajo.
Edi Hardum mengatakan, John Pasir dan Aloysius Saida, dkk adalah pemilik sebidang tanah kering yang terletak di Gorontalo, Desa Gorontalo (dulu Desa Labuan Bajo), Kecamatan Komodo seluas kurang lebih 6 hektare.
Batas-batasnya antara lain; sebelah utara tanah kosong, sebelah timur tanah milik Seminary John Paulus II dan SMAK St.Ignatius Loyola Labuan Bajo; sebelah selatan Kali Wae Mese; dan sebelah barat Kali Wae Mese sekaligus tanahnya Zakarias Suryanto.
Tanah tersebut diperoleh dari Fungsionaris Adat/Tua Adat Kedaluan Nggorang Ishaka (almarhum) dan Wakilnya Haku Mustafa (almarhum) secara tertulis pada Mei 1992.
Kala itu yang menjadi Tua Golo atau Kepala Kampung Gorontalo adalah Mahamu Hasan.
“Waktu itu, kami meminta tanah tersebut (kapu manuk lele tuak) kepada Fungsionaris Adat/Tua Adat Kedaluan Nggorang Bapak Ishaka, almarhum dan Wakilnya Bapak Haku Mustafa almarhum; kemudian kedua beliau itu memanggil Tua Golo Gorontalo Mahamu Hasan. Bapak Mahamu Hasan tidak berwenang menandatangani surat penyerahkan tanah waktu itu. Yang berwenang adalah Bapak Ishaka sebagai Dalu Nggorang,” kata Aloysius Saida.
Pada Januari 2016, para pelapor mau mengerjakan lahan tersebut, tiba-tiba tergugat Ali Usman mencegat dan mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya dan masyarakat Gorontalo sebanyak 19 orang berdasarkan Surat Bukti Penyerahan Tanah Adat tanggal 6 Oktober 2003 oleh Tua Golo/Tua Adat Gorontalo Mahmud Hasan kepada Ali Usman yang bertindak untuk dan atas nama masyarakat di Gorontalo.
Edi menegaskan, setelah pihaknya mengecek di Gorontalo tidak satu pun masyarakat mengetahui Tua Adat atau Tua Golo Gorontalo bernama Mahmud Hasan, yang ada adalah Mahamu Hasan.
Menurut Edi, tanda tangan dalam Surat Bukti Penyerahan Tanah Adat tanggal 6 Oktober 2003 oleh Tua Golo/Tua Adat Gorontalo Mahmud Hasan kepada Ali Usman sebagaimana diklaim Ali Usman beda dengan tanda tangan Mahamu Hasan.
Edi menegaskan, objek dari laporan tersebut adalah Surat Bukti Penyerahan Tanah Adat tanggal 6 Oktober 2003 oleh Tua Golo/Tua Adat Gorontalo Mahmud Hasan kepada Ali Usman.
Edi menduga surat Surat Bukti Penyerahan Tanah Adat tanggal 6 Oktober 2003 oleh Tua Golo/Tua Adat Gorontalo Bapak Mahmud Hasan kepada Ali Usman adalah fiktif.
“Artinya yang menyerahkan tidak ada. Hanya nama yang menyerahkan dibuat mirip dengan nama Tua Adat sebenarnya yakni Mahamu Hasan, dibuat Mahmud Hasan. Terus tanda tangan dibuat mirip juga. Namun, yang namanya palsu tetap bisa dilihat kepalsuannya, walau dengan mata telanjang,” kata dia.
Edi menambahkan, kasus tersebut masuk dalam dugaan tindak pidana pemalsuan nama dan kewenangan Fungsionaris Adat Nggorang Ishaka dan Haku Mustafa serta Tua Golo Torontalo, Mahamu Hasan sebagaimana diatur dalam Pasal 263, 264 dan 266 KUHP.
Penulis: Ardy Abba