(Oleh: Kristoanus Putra Halley)*
Pendahuluan
Negara Indonesia dalam sistem kenegaraanya telah menjadikan demokrasi sebagai tatanan hidup seluruh masyarkatnya. Demokrasi sebagai jantung kehidupan bangsa berakar dan bersumber dari semangat hidup bangsa Indonesia sendiri.
Transfigurasi nilai-nilai budaya bangsa Indonesia menjelma dalam tubuh demokrasi. Sebagaimana para pendahulu bangsa Indonesia (the founding father), Ir. Sukarno melihat aspek in se demokrasi sebagai representasi kekuatan rakyat yang berdaulat dan dalam pelaksanananya dijiwai oleh nilai-nilai lokal bangsa Indonesia (Soekarno, 2005). Tidak heran jika demokrasi menjadi dasar bagi pertumbuhan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu.
Pelaksaana demokrasi di Indonesia semacam mengalami metamorfosis dari waktu ke waktu. Penerapannya yang terus berubah secara kondisional dan kontekstual, sejalan dengan laju transformasi kehidupan bangsa menjadikan demokrasi sebagai bagian integral dari tubuh bangsa Indonesia. Hal ini teraktualisasi lewat berbagai model demokrasi yang diterapkan di Indonesia sejak awal berdirinya tahun 1945 sampai sekarang. Penerapan demokrasi dari waktu ke waktu baik Orde Lama, Orde Baru maupun Era Reformasi menunjukan sebuah indikasi transformasi wajah demokrasi sebagai wujud rekonstruksi tatanan hidup bangsa Indonesia.
Tanpa dimungkiri laju pertumbuhan praksis demokrasi memperlihatkan situasi yang cukup memprihatinkan. Wajah demokrasi Indonesia semacam mengalami degradasi “kronis”. Berbagai problem sosial, politik, ekonomi serta pembangunan beberapa tahun belakangan ini menampilkan semacam rumor demokrasi sebagai “cangkak kosong’. Di mana demokrasi “cangkang kosong” mengandung pengertian mendasar bahwa praksis kulit luar demokrasi tidak sejalan dengan substansi yang menjiwai demokrasi itu sendiri (Bavitri Susanti, Kompas, 2021).
Berbagi problem ironi demokrasi mulai muncul dalam tubuh bangsa Indonesia seperti kemiskinan struktural, narasi kekuasaan yang mendominasi, problem UU ITE, konflik dalam pembangunan, tendensi kekuasaan sebagai alat menindas rakyat kecil, kebebasan berpendapat yang mulai dipasung, praktik demokrasi winners take all serta dominasi kekuasaan menuju sebuah praksis oligarki politik yang berselingkuh dengan oligarki bisnis. Problem-problem yang terjadi dalam tubuh bangsa Indonesia secara relasi kausal hendak menampilkan bentuk feedback dari sistem demokrasi yang timpang.
Habermas melihat implementasi demokrasi yang timpang sebagi gejala dari dominasi kekuasaan. Subyek berdiri otonom sebagai entitas yang monologis dan terbentuk tidak berdasarkan hubungan dengan yang lainnya. Dengan demikian subyek mereduksi adanya kehadiran sesama sehingga tidak terciptnya bonum commune dalam kehidupan bersama.
Dalam wajah demokrasi asas individu lebih diunggulkan dengan menggurkan kepentingan bersama. Melihat realitas serupa pada generasi awal Mazhab Frankuft dengan tendensi mengagungkan philosophy of consciousness, Habermas menggas sebuah bentuk demokrasi wajah baru yang menjunjung tinggi peran serta individu dalam raung publik.
Gagasan demokrasi deliberatif Habermas mengandung satu konsepsi penting yang bersumber pada rasio komunikatif. Cara berpikir komunikatif (comunicatif action) dilihat oleh Habermas sebagai bentuk fundamental aktifitas manusia serentak menjadi jalan mempersatukan masyarakat modern dalam suatu paradigma interaksi yang konstruktif.
Rasionalitas komunikatif sebagai penyokong demokrasi deliberalif menempatkan bentuk demokrasi yang efektif dengan ciri adanya partisipasi warga, ketersediaan ruang bagi individu untuk terlibat dalam proses publik serta proses komunikasi yang tampan antara individu (masyarakat) maupun antar masyarakat dengan pembentuk kebijakan (Firman Wijaya, Bawaslu Kota Bogor news, 2019)
Berhadapan dengan konteks ketimpangan dalam praksis demokrasi Indonesia, Habermas lewat demokrasi deliberatifnya memberi semacam tawaran bagi terbentuknya rekonstruksi demokrasi di Indonesia. Rasionalitas komunikatif menjadi jalan bagi Habermas untuk mebentuk transformasi wajah demokrasi yang baru dan ideal.
Artikel ini menjadi sebuah kajian untuk menjawabi realitas ketimpangan demokrasi di Indonesia dengan bertitik tolak pada model demokrasi liberatif yang digagaskan Habermas. Di sini paradigma komunikasi sebagai jantung demokrasi delibertif Jurgen Habermas menjadi landasan yang dapat dipakai untuk menghidupi bentuk transfarmasi dalam wajah demokrasi di Indonesia.
Ada Apa dengan Wajah Demokrasi Indonesia?
Demokrasi merupakan salah satu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan dalam suatu negara sebagai upaya dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atau negara yang dijalankan oleh pemerintah sebagai wakilnya. Semua warga negara memiliki hak yang sama dan setara dalam pengembilan keputusan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Di sini demokrasi menjunjung tinggi partisipasi seluruh warga negara baik secara langsung mapun tidak langsung lewat perwakilan dalam pengambilan keputusan, perumusan, pengembangan dan pembuatan hukum (Herlina Sari, 2019).
Prinsip dasar demokrasi Indonesia ialah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Keberadaan rakyat menjadi peletak dasar citra demokrasi yang ideal. Singkatnya bahwa demokrasi di Indonesia meletakan sutau model tatanan hidup masyarakat yang berkomitmen pada kesejahteraan umum (bonum commune) dan keterlibatan aktif dalam hal ikhwal politik.
Dalam demokrasi urusan publik memberi aksentuasi pada perhatian dan upaya tertentu dari setiap warga negara yang memiliki kemampuan politik (political will) untuk berpartisipasi mengatur hajad hidup bersama. Dasar dan hakikat dari perhatian dan upaya masyarakat adalah adanya kemauaan bersama (general will) (Felix Baghi, 2009) untuk menata diri secara politis demi perwujudan nilai-nilai keadilaan, persudaraan dan kesejahteraan bersama.
Lebih jauh khazanah politik demokrasi kontemporer melihat nilai-nilai seperti kesetaraan, keragaamaan, penghormataan atas hak-hak asasi dan tanggung jawab bersama sebagai aspek substansial dari demokrasi.
Di sini lebih jauh aspek demokrasi dipahami sebagai pemerintahan yang dipimpin oleh demos (rakyat) yang membentuik suatu komunitas politik yang sama-sama terlibat (partisipasi publik) dalam sebuah wadah diskursus untuk memutuskan dan mengatur segala aspek berkaitan dengan nilai-nilai kesejahteraan bersama (Felix Baghi, 2009).
Peran serta rakyat lewat jalan ambil bagian secara aktif dalam urusan publik menjadi corak demokrasi Indonesia yang cakap dan ideal.
Wajah demokrasi di Indonesia menunjukan sebuah capaiaan positif pada 2009-2019. Hal ini merujuk pada indeks peningkatan demokrasi dari 67,3 (2009) ke 74,92 (2019) dan dibagi rata dengan angka perbaikan kinerja demokrasi mencapai 0,69 poin per tahun.
Kemajuan demokrasi yang ditakar secara kuantitif menampilkan sebuah gambaran pencapaian kesejahteraan yang ideal. Namun toh realitas di lapangan tetap meninggalkan banyak pertanyaan mengenai substansi dari parksis demokrasi di Indonesia. Wawan Sabori dalam salah satu ulasannya tentang “Memikirkan Ulang Demokrasi” melihat adanya ketidakseimbangan antara kuantitas dan kualitas yang menjadi takaran kemajuan demokrasi di Indonesia. Indeks peninggkatan demokrasi di Indonesia tidak sejalan dengan praksis aktual demokrasi.
Di mana sejumlah persoalan turut membayangi perbaikan performa demokrasi Indonesia. Terdapat berbagai aspek, variabel dan indikator yang justru mengidentifikasikan adanya gambaran kemunduran dalam praksis berdemokrasi (Wawan Sabori, Kompas, 2021).
Regresi mulai nampak dalam wajah demokrasi dengan berbagai realitas yang menyimpang. Berbagi bentuk dominasi kekuasaan, praktik pemasungan terhadap kebebasan berpendapat dan berserikat, praktik kekuasaan yang mutlak, oligarki politik yang berselingkuh dengan oligarki bisnis, problem UU ITE yang mengkerdilkan aspirasi dan opini publik, politik uang, tendensi demokrasi individualisme serta adopsi demikrasi winers take all menjadi fenomena publik yang secara implisit menggambarkan bentuk regresi nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Degradasi nilai-nilai demokrasi di Indonesia menurunkan kualitas kesejahteraan umum dalam kehidupan masyarakat. Peran serta masyarakat sebagai unsur fundamental dalam demokrasi mulai terkikis.
Nampak bahwa individulisme mulai mendominasi dan menjadi penentu utama demokrasi Indonesia. Sehingga tidak heran tahun 2020 indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. The Economist Intelligence unit memindahkan Indonesia dari posisi 85 (2019) menjadi posisi 102.
Anjlok di peringkat 17 ini menampilka skor terendah Indonesia dalam 14 tahun terakhir. Penurunan ini menandai sebuah citra demokrasi yang mulai memudar terutama dalam aspek budaya politik, kesejahteraan ekonomi, pembangunan dan kemerdekaan publik.
Realitas regresi demokrasi di Indonesia secara tidak langsung hendak membahasakan suatu bentuk degradasi nilai kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Aspek demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan dan kedaulatan untuk mencapai suatu pola civil bonum commune perlahan-lahan mulai pudar di bawah pengaruh dominasi demokrasi individualisme. Elit pilitik atau para pemegang kekuasaan mulai menampilkan kekuatan individu yang menyimpang sehingga melunturkan hakikat kedaulatan rakyat sebagai sebagai prinsip utama kehidupan demokrasi. Peran serta rakyat (demos) sebagai substansi dasar demokrasi mulai tergantikan dengan peran yang lebih mendominasi dari orang, kelompok atau elit politik tertentu.
Dengan demikain praksis demokrasi di Indonesia memasuki ambang krisis implementasi, gambaran wajah demokrasi yang cacat di tengah dunia kontemporer.
Paradigma Rasionalitas Komunikatif Habermas: Titik Pijak Demokrasi Deliberatif
Paradigma interaksi Habermas merupakan sebuah bentuk kritik terhadap pemikiran Karl Marx yang mereduksi makna praxis sebagai kerja. Dalam pandangan Karl Marx nilai mendasar dari praxis adalah kerja. Di sini Marx lebih menekankan kerja sebagai aktualisasi dari praxis serta wujud kegitan indrawi manusia yang bersifat objektif.
Oleh karena itu, hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat lebih bersifat objektif dengan asas relasi-relasi yang dibangun itu independen dari kehendak manusiawi. Pemikiran Marx yang cukup ortodoks bertendensi untuk mereduksi syarat-syarat pembebasan sejati umat manusia yaitu lewat penghapusan pembagian kerja di dalam masyarakat (Rocky Marbun, Deni Setya Bagus Yuherewan dan Muhamad Mulyadi, 2021).
Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahawa gagasan praksis Marx mereduksi tindakan manusia hanya pada konteks dan basis kerja. Unsur pembabasan sejati terhadap aktualisai interaksi dikesampingkan demi mencapai perwujudan terhadap aspek kerja sebagai nilai utama dari tindakan manusia.
Habermas dalam pemikiran yang lebih konstruktif melihat motif utama kehidupan masyarakat adalah komunikasi. Konsepsi mengenai praxis dalam pemikiran Habermas membentuk sebuah korelasi antara kerja dan interaksi. Interkasi yang terjadi dibangun atas dasar nilai-nilai komunikasi yang baik dan ideal.
Di samping itu, tujuan utama rekonstruksi pemikiran ortodoks Marx menuju paradigma komunikasi adalah upaya untuk memperoleh konsensus dan terciptanya demokrasi radikal, sebuah hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup bebas penguasaan. Konteks komunikasi semacam ini menampilkan perjuanagan kelas dalam pandangan klasik-revolusi politis diganti dengan perbincangan rasional yang menjung tinggi argument sebagai unsur emansipatoris.
Refleksi diri dalam terang Hebermas menjadi faktor yang mampu menghasilkan emansipasi dan pencerahan (F. Budi Hadirman, 2009).
Rasio komunikasi Habermas dalam praksis sosial berusaha membimbing tindakan komunikatif untuk mencapai tujuannya; bersepakat mengenai sesuatu atau mencapai konsesus tentang sesuatu. Di sini poin interaksi menjadi hal substansial yang harus dibangun dalam realitas intersubjektifitas. Gagasan intersubjektifitas memberi konsep yang lebih luas tentang rasionalitas komunikatif, yang mana di dalamnya setiap orang dituntut untuk mampu mengatasi pandangan subjektifitasnya berdasarkan aspek mutualitas yang dimotivasi secara rasional.
Konsep rasionalitas komunikatif Habermas medorong lahirnya masyarkat demokratis. Masyarakat komunikatif dalam pemikiran Habermas bukanlah masyarakat yang membangun paradigma interkasi yang bablas dan menyimpang.
Maksudnya bahwa komunikasi yang dibangun bukan pertama-tama atas dasar kritik revolusi dalam kekerasan melainkan lewat argumentasi yang cakap dan benar. Habermas sendiri melihat adanya dua distingsi argumentasi yang komunikatif yakni perbincangan (diskursus) dan kritik.
Implementasi diskursus teoritis, praktis dan eksplikatif serta kritik yang cakap, benar dan ideal menjadi acuan kompetensi komunikatif (F. Budi Hadirman, 2016). Dengan demikian paradigma komunikatif Habermas dalam lingkup sosial mampu membentuk model kehidupan masyarkat yang demokratis. Unsur interaksi demi mencapai sebuah konsensus menjadi prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi oleh masing-masing orang dalam lingkup kehidupan sosial.
Demokrasi deliberatif Habermas dibentuk melalui proses diskursus politik secara berkala baik fomal maupun informal. Di sini penggunaan istilah deliberatif menandaskan sebuah pendekatan politik yang berbeda dalam memahami demokrasi.
Distingsi deliberatif memiliki pertalian dengan upaya meningkatkan kualitas praktik demokrasi yang ada sebagai usaha transformasi terhadap karakter dan bentuk partisipasi. Demokrasi deliberatif sendiri mampu melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prosedur deliberasi dalam lembaga formal dan masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini memberi arti bahwa keputusan-keputusan politik hanya bisa diterima dan mengikat semua anggota masyarakat jika ia merupakan produk dari sebuah kontinuitas proses dialog yang berawal dari wilayah perifer kemudian bergerak menuju parlemen, melalui prosedur-prosedur demokratik dan konstitusional (Ibid., Firman Wijaya).
Model demokrasi delibertif menekankan partisipasi masyarakat sebagai aspek dasar konstruksi sebuah demokrasi yang ideal. Ketersedian ruang publik menjadi medium partisipasi masyarakat. Gambaran demokrasi deliberatif menjadi titik awal proses demokrasi eksternal sistem politik.
Di mana demokrasi berada di luar lembaga-lembaga formal sistem politik dan memiliki basis yang lebih bersifat informal sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai organisasi serta asosiasi yang membentuk masyarakat sipil.
Corak semacam ini melihat setiap kebijakan publik harus diuji terlebih dahulu lewat konsultasi publik atau diskursus publik dalam sebuah ruang publik (publik spehere). Ruang publik bagi Habermas menjadi lokus bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam pembentukan kebijakan publik.
Masyarakat dalam kehidupan demokrasi mengambil peran sebagai public body yang mendorong kesejahteraan hidup bersama.
Pemikiran kritis Habermas mengenai demokrasi deliberatif bertitik tolak pada dua konsepsi besar. Pertama, kritik terhadap Marxisme (generasi awal mazhab Frankfurt) yang bergantung pada otonomi entitas yang monologis, terbentuk tidak berdasarkan hubungan dengan entitas lainnya.
Ia bergerak monolog atas dasar perjuangan mengendalikan alam bagi kepentingan materialnya yang tercermin dalam perkembangan kekuatan produksi. Di sini nampak bahwa aspek kerja lebih mendominasi dalam sebuah praksis (philosophy of consciousness).
Kedua, adanya paradigma interaksi yang berpusat pada komunikasi. Model ini menjunjung tinggi aksi komunikatif (communicative action) sebagai bentuk aktifitas primer manusia dan sebagai satu-satunya jalan jalan keluar untuk mempersatukan masyarakat modern yang bertumpu pada rasionalisme.
Menurut Habermas manusia dalam dirinya adalah pribadi yang kompleks sehingga ia menawarkan gagasan rasio komunikatif, sebuah tatanan berpikir dengan membangun komunikasi antara subjek dengan subjek lainnya. Paradigma interkasi mampu membentuk citra demokrasi ideal, sebuah tatatan demokrasi deliberatif. Adapun tiga ciri substansial yang dihidupi dalam model demokrasi deliberatif yakni adanya partisipasi warga, ketersediaan ruang bagi individu untuk terlibat dalam proses publik serta proses komunikasi yang tampan antara individu (masyarakat) maupun antar masyarakat dengan pembentuk kebijakan.
Demokrasi Deliberatif: Rekonstruksi Wajah Demokrasi di Indonesia
Dewasa ini implementasi nilai-nilai demokrasi di Indonesia melewati pasang surut dalam penerapannya. Hal ini terbukti lewat berbagai problem yang turut memboncengi laju kehidupan seluruh masyarakat Indonesia.
Problem-problem seputar dominasi kekuasaan, kemiskinan struktural, pemasungan terhadap partisipasi publik, pembatasan terhadap aspirasi dan kritik masyarakat dalam ruang publik serta perselingkuhan kelas elit politik dan oligarki bisnis menjadi bentuk regresi dalam tubuh demokrasi.
Nilai-nilai luhur kehidupan bangsa yang menjiwai demokrasi Indonesia, perlahan-lahan mulai terkikis dalam gempuran wajah demokrasi yang liberal. Aspek modern demokrasi individulisme menjadi bentuk serapan yang lebih dominan dalam tubuh negara Indonesia. Kesejahteraan kelompok elit tertentu, dominasi kekuasaan individu dan kelompok penguasa serta pembetasaan terhadap partisipasi masyrakat dalam ruang publik menjadi ciri yang lebih nampak dalam demokrasi Indonesia kontemporer.
Bertolak dari realitas dificiencies demokrasi di Indonesia, model demokrasi yang ideal perlu diterpakan sebagi bentuk transformasi konstruksi terhadap tatanan hidup bangsa Indonesia. Model demokrasi baru yang ideal hendaknya manjadi promotor bagi perubahan kehidupan bangsa menuju sebuah komunitas bonum commune. Nilai-nilai demokrasi yang dihidupi harus sejalan dengan nilai-nilai luhur yang berakar dari kehidupan bangsa Indonesia.
Gagasan demokrasi deliberatif menjadi semacam tawaran baru bagi sistem demokrasi kontemporer yang lebih liberar. Demokrasi deliberatif Habermas dapat diterapkan dalam laju demokrasi di Indonesia. Keterbukaan terhadap ruang partisipasi publik yang bebas penguasaan menjadi model yang mampu meretas segresi nilai demokrasi.
Ruang publik menjadi wadah bagi terbentuknya paradigma interaksi. Paradigma interaksi meletakan komunikasi konstruktif sebagai bentuk impelementasi transfomatif dalam menjamin keterlibatan masyarakat dalam ruang publik dan lebih jauh dalam tatanan perkembanagn dan pembangunan negara.
Bertolak dari pandangan transfomatif kehidupan berbangsa dan bernegara, identitas eksistensi masyarakat Indonesia yang adalah jantung dan peletak dasar nilia-nilai demokrasi menjadikan keberadaan ruang publik sebagai basis aktualisasi kemajuan demokrasi. Aktualisasi masyarakat terhadap wajah demokrasi bergerak dari unsur-unsur substansial nilai-nalai luhur kehidupan bangsa Indonesia. Model aktualisasi demokrasi semacam ini menimbulkan corak demokrasi yang terintegrasi dengan keseluruhan hidup masyarakat Indonesia. Dengan demikian, sebuah tatanan kehidupan demokrasi negara yang harmonis mampu melahirkan nilai dasar keadilan dan kesejahteraan hidp bersama (bonum commune).
Azyumardi Azra dalam analisis politik mengagas “Demokrasi Deliberatif” sebagi langkah untuk mencegah dominasi dan hegemoni kekuasaan koalisi politik melalui prosedur dan proses demokrasi (Azyumardi Azra, Kompas, 2021).
Demokrasi deliberatif menjadikan musyawarah sebagai centrum praksis dalam proses pengambilan keputusan. Di mana dalam demokrasi deliberatif keputusan diambil lewat musyawarah untuk mencapai mufakat (consensus) dengan tetap mempertimbangkan unsur mayoritas-minoritas dalam representasi politik. Terkandung pula di dalam demokrasi deliberatif landasan konstitusiobal NKRI.
Secara substansial demokrasi deliberatif mengandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila yang secara kerucut merujuk pada sila keempat Pancasila. Poin musyawarah yang demokratis menjadi jiwa yang mampu menghidupi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Peran serta masyarakat dalam ruang publik menjadi jaminan bagi bertumbuhnya demokrasi yang cakap dan ideal. Tentu hal ini sejalan dengan prinsip dasar demokrasi Indonesia yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Partisipasi masyarakat menjadi wujud demokrasi yang tampan bagi terciptanya kesejahteraan dan keadilan dalam tubuh bangsa Indonesia.
Bonnum Commune: Tujuan Transformasi Wajah Demokrasi di Indonesia
Demokrasi deliberatif menjadi bentuk rekonstruksi terhadap wajah demokrasi di Indonesia. Gagasan demokrasi deliberatif meletakan peran serta masyarakat sebagai promotor pembangun demokrasi yang cakap dan ideal.
Masyarakat yang terlibat secara aktif dalam ruang publik memberi warna tersendiri terhadap pertumbuhan demokrasi Indonesia. Model demokrasi deliberatif yang menjunjung tinggi partisipasi warga, ketersediaan ruang bagi individu untuk terlibat dalam proses publik serta proses komunikasi yang tampan antara individu (masyarakat) maupun antar masyarakat dengan pembentuk kebijakan, menjadi titik acuh gerakan transformatif dalam tubuh bangsa Indonesia. Nampak bahwa pengungkapan demokrasi deliberatif membuka ruang bagi masyarakat untuk membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tampan.
Nilai-nilai demokrasi deliberatif jika dikaji lebih dalam dari ciri-ciri substansialnya memiliki keserupaan dengan nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Maksudnya bahwa ada warna korelasi antara nilai-nilai luhur kehidupan bangsa Indonesia dengan bentuk demokrasi deliberatif. Keadilan sosial, musyawarah untuk mencapai mufakat, kesejahteraan dan integritas menjadi markah demokrasi deliberatif yang pararel dengan kehidupan masyarakat.
Di sini tataran paradigma relasi menjadi peletak dasar pembangaunan masyarakat yang demokratis. Paradigama interaksi menjadi wadah bagi masyarakat untuk menerobos bentuk-bentuk ketimpangan dalam tubuh demokrasi Indonesia. Partisipasi masyarakat dalam ruang publik menjadi spirit dasar memerangi ketidakadilan, kemiskinan, dominasi kekuasaan yang menindas rakyat kecil, pemasungan terhadap kebebasan perpendapat, oligarki politik yang memboncengi oligarki bisnis serta tendensi demokrasi individulisme.
Warna baru demokrasi deliberatif sebagai bentuk rekonstruksi wajah demokrasi Indonesia sejalan dengan tujuan kehidupan bangsa Indeonesia. Prinsip demokrasi dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat menjadi poin dasar yang dihidupi dalam wajah demokrasi deliberatif.
Pelaksanan wujud demokrasi yang aktual dalam tubuh bangsa Indonesia ini menjadi jalan transfomatif untuk sampai pada kesejahteraan hidup seluruh masyarakat Indonesia (bonum commune). Dengan demikian demokrasi Indonesia menjadi bentuk demokrasi yang tampan dan ideal, menjiwai seluruh hidup masyarakat Indonesia dan mampu membangun serta membentuk tatanan kehidupan masyarakat indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
*) Ito Halley. Mahasiswa. Tinggal di Unit Yosef Wairpelit, Ledalero-Maumere.