Oleh: Patris Umbu Deta Bulu Manu
Kebudayaan merupakan ekspresi eksistensi manusia di dunia dalam kehidupan bersama yang menceritakan watak serta kepribadian suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu fenomena universal.
Setiap masyarakat atau bangsa di dunia memiliki kebudayaan. Di dalam kebudayaan tercakup segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan dan dialami oleh manusia secara perorangan serta secara bersama dalam bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapkan pribadi dan kelompok manusia.
Kebudayaan menjadi salah satu nilai bentuk pengantaran manusia untuk mengenal Wujud Yang Tertinggi.
Berbicara tentang kebudayaan, manusia dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu sendiri (Suwardi, 2013).
Sekalipun manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan terus diwariskan kepada generasi keturunannya.
Dalam budaya Sumba sudah dari zaman dahulu ada insan beragama. Mereka telah mempunyai suatu kepercayaan asli yaitu “Marapu”.
Kepercayaan ini merupakan wujud dari penghormatan masyarakat Sumba terhadap leluhurnya. Penghormatan kepada Marapu, menimbulkan penghormatan kepada leluhur dan alam semesta.
Hal ini juga mengakibatkan penghormatan kepada orang tua, sesama dan kepala suku. Penghormatan kepada kepala suku menunjukkan tanda penghargaan dan menjunjung sifat-sifat kepemimpinan seperti gotong royong, kejujuran, pengorbanan, persatuan dan lain-lain.
Nilai-nilai itulah yang dihayati oleh masyarakat Sumba untuk mengantarnya pada interaksi dengan Yang Sakral melalui wujud yang tertinggi.
Siapa yang berbicara tentang Sumba berarti berbicara tentang Marapu. Pernyataan ini mempunyai makna bahwa hidup orang Sumba tidak dipisahkan dari Marapu.
Budaya ini menjadi aktivitas sentral hidup orang Sumba karena budaya ini merupakan suatu aliran kepercayaan asli yang lahir dan berkembang di Sumba sejak zaman nenek moyang hingga sekarang masih dipraktikkan.
Meskipun pada masa kini banyak orang Sumba umumnya sudah menganut agama-agama modern, tetapi masih banyak pula yang menganut kepercayaan Marapu dan mempertahankannya.
Aliran kepercayaan ini percaya terhadap Yang Sakral, dan diekspresikan dalam doa-doa ritus Marapu, seperti: ritus manggapu, urrata, zaigho, gholeka, rawi rato. Ritus-ritus ini menjadi sarana untuk menjalin relasi dengan alam, sesama dan Tuhan.
Marapu menjadi bahasa dialog mereka terhadap Yang Sakral untuk memuji, memuliakan, bersyukur maupun memohon kepadaNya.
Marapu merupakan penghormatan masyarakat Sumba terhadap leluhurnya. Tetapi tujuan utamanya bukan semata-mata ditunjukkan kepada arwah leluhur itu sendiri tetapi kepada Sang Maha Pencipta.
Mereka berkeyakinan jika manusia ingin berhubungan dengan Sang Pencipta, maka harus memakai perantara atau media, yaitu Marapu atau arwah nenek moyang.
Sang pencipta akan menyampaikan keinginan dan jawaban melalui Marapu, kemudian Marapu memberitahukan kepada manusia melalui media ritual seperti jeroan ayam dan atau babi yang menjadi kurban dalam ritual.
Ritual yang dimaksud adalah Wulla Poddu yaitu ritual paling penting yang digunakan oleh masyarakat penganut kepercayaan Marapu dalam menentukan pedoman atau petunjuk untuk berbagai aspek kehidupan dalam suatu rentang waktu tertentu.
Karena itu Wulla Poddu telah menjadi ritual yang kerap dilakukan secara rutin dengan salah satu tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bagi penganut Marapu, Marapu adalah sistem keyakinan yang setara dengan agama resmi yang lain berdasarkan kriteria kepercayaan kepada pencipta, mereka setara dengan agama lain.
Agama resmi percaya akan adanya pencipta begitu pun dengan aliran kepercayaan Marapu. Berkaitan dengan agama resmi, ada dua pandangan yang hidup antara penganut Marapu.
Pandangan pertama menganggap bahwa agama resmi bertentangan dengan Marapu karena adat istiadat berbeda dengan agama resmi.
Pandangan yang kedua, Marapu tidak bertentangan dengan agama-agama yang ada, tapi dalam segi pelaksanaan upacara adat penganut aliran kepercayaan Marapu berbeda dengan agama-agama yang ada dalam cara penyembahan dan pengucapan dalam bahasa adat. Perbedaan hanya terdapat pada cara penyampaiannya
Marapu merupakan bentuk pengantaran akan adanya kesadaran manusia akan eksistensinya sebagai makhluk sosial yang berdimensi rohani dan mengarahkan hati dan perasaannya kepada Yang Sakral dihayati dan diungkapkan dalam praksis hidup.
Hal ini memampukan manusia untuk keluar dari diri sendiri dan mengarahkan hidupnya dalam membangun relasi dengan Yang Ilahi, sesama dan alam semesta. Ia hidup dan ada bersama orang lain.
Dia membutuhkan sesama untuk merealisasikan dirinya. Manusia pun membutuhkan alam semesta sebagai tempat untuk berpijak. Kesadaran manusia melalui relasi dengan sesamanya dan alam semesta menuntunnya untuk membangun relasi dengan Yang Ilahi melalui doa-doa, persembahan, puasa dan simbol-simbol kehadiran Wujud Tertinggi.
Masyarakat Sumba menyembah Yang Sakral dengan perantaraan Marapu. Berarti dengan kedudukan seperti ini, penganut aliran kepercayaan Marapu lebih melihat Marapu sebagai perantara antara manusia dengan Pencipta alam semesta, yang disebut dengan sebutan Tuhan dalam agama Kristen walaupun tidak disebut secara langsung dalam aliran kepercayaan Marapu.
Hal ini terungkap dalam tiga fungsi merapu yaitu: pertama, A padukina bara Inna, Appa tomana bara Ama atau yang menyampaikan kepada ibu dan menghantar kepada bapa, yaitu menyampaikan segala keadaan manusia kepada pencipta. Kedua, A dikkita-a boneka atau yang kesana dan yang kemari.
Yang pergi dan yang datang, baik diminta maupun tidak diminta. Ketiga, Appa tirrona kattilu-appa mattarana mata atau memasang telinga dan memandang dengan mata. Selalu siap mendengar dan memperhatikan manusia.
Budaya Sumba asli dalam segala bentuknya merupakan manifestasi dari kepercayaan tradisional orang Sumba yaitu kepercayaan Marapu yang merupakan warisan nenek moyang yang secara holistik telah mendasari seluruh tatanan masyarakat Sumba.
Bagi masyarakat Sumba, Marapu dapat dikatakan sebagai falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba dalam hal adat, rumah ibadat sampai pada tata rancang bangunannya.
Inilah kekayaan budaya yang perlu dijaga oleh orang Sumba, bahwa sebuah kebudayaan mempunyai nilai yang sangat kental bagi identitas suatu bangsa. Kita tidak boleh kehilangan jati diri kedaerahan kita agar kita tidak tercerabut dari akar budayanya. Ayo jaga budaya.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang