Oleh: Dr. Yohanes Bernando Seran, SH,M.Hum
(Pemerhati Sosial, Tinggal di Malaka)
Ketika pertama kali mendengar berita tentang meninggalnya Bapak Frans Lebu Raya, reaksi saya adalah kaget, sedih, terdiam sejenak dan berdoa.
Kaget sekali karena Pak Frans adalah salah satu tokoh nasional yang pernah menjadi Pejabat Negara (Gubernur NTT 10 tahun). Apalagi berita kematiannya tidak didahului informasi-informasi tentang riwayat penyakitnya. Setidaknya informasi riwayat penyakit yang dapat menggiring kita untuk sampai pada suatu konklusi yang diametral tentang sebab-sebab meninggalnya Pak Frans.
Perasaan kaget tersebut terus terasa dalam sanubariku ketika saya berpikir, mengapa di saat masyarakat NTT masih membutuhkan pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan beliau sebagai hasil kristalisasi perjalanan Pak Frans yang sangat komplit- karena pernah menjadi pimpinan LSM, menjadi pimpinan DPRD NTT dan menjadi Gubernur NTT- justru Tuhan lebih membutuhkannya.
Tuhan memanggilnya kembali ke Surga untuk menjadi pendoa dan jembatan bagi harmonisnya hubungan warga NTT dengan sang pencipta dalam garis-garis linier alami.
Nuansa transcendental dalam hubungan timbal balik antara yang ada dan yang tiada, atau das sein dan das sollen dan antara Sabda dan Manusia.
Kendati demikian, kekagetan itu perlahan sirna dalam perjalanan waktu seiring datangnya keyakinan biblis bahwa segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk hidup dan ada waktu untuk mati.
Dalam keyakinan iman katolik pula peristiwa kematian bukanlah sesuatu yang harus disesali dan ditangisi. Tetapi, kematian adalah suatu transisi natural original dari dimensi waktu yang duniawi kepada dimensi waktu yang transenden untuk suatu kedamaian abadi bersama sang pencipta.
Beristirahatlah dalam Damai Bung Frans Lebu Raya!
Selain itu, saya juga merasa sedih ketika mendengar berita meninggalnya kak Frans. Sebab, selain saya merasa “kehilangan” dalam kebersamaan di dunia fana ini juga karena Bung Frans yang saya kenal dan berhubungan hampir selama 40 tahun adalah sosok seorang anak manusia dari Watoone (Adonara) yang menghiasi hidup dan kehidupannya dengan nilai-nilai fundamental seperti kesederhanaan, kerendahan hati, marhaenis dan pribadi yang tidak berubah perilaku sejak saya mengenalnya sebagai sesama aktivis mahasiswa di Undana Kupang tahun 1980-an sampai dengan beliau menjadi Gubernur NTT selama 10 tahun dan bahkan sampai saat-saat sebelum pak Frans dipanggil Tuhan.
Selain sedih mendengar berita meninggalnya Bung Frans, saya juga terdiam dalam keheningan, merenung dan mengikhlaskan kepergian teman Frans Lebu Raya dalam keabadian-Nya dalam suatu diskursus batin yang mendalam untuk memisahuraikan relung-relung renung tentang diskursus antara kematian dan kehidupan dalam pribadi anak manusia yang tidak sempurna dan tidak lengkap tersebut.
Dalam proses mengikhlaskan kepergian Bung Frans dan keberadaan saya terjadilah suatu antinomy psikologis antara teman Frans Lebu Raya sebagai salah seorang tokoh nasional dan sebagai kolega seperjuangan dalam menggelorakan nilai-nilai perjuangan generasi muda seperti keadilan, kebenaran dan penegakan HAM dalam bentuk organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan.
Dalam barisan-barisan inilah saya mencatat dan mengenang kembali dalam memori suatu kebersamaan dan persahabatan sejati dalam diri Frans Lebu Raya, Bung Niko Frans, Bung Viktus Murin, Bung Bediona Fhilipus dan Bung Aleks Ena serta Bung Anwar Pua Geno.
Konstalisasi berbagai reaksi spontan saya di atas memacu adrenalin saya untuk berdiam diri dalam ruang kerja saya untuk berdoa dan mengangkat hati kepada Tuhan Yesus Kristus melalui Bunda Perawan Maria dengan intensi khusus mendoakan arwah teman, kak Frans Lebu Raya, semoga dosa-dosanya diampuni Tuhan agar beliau diterima masuk Surga duduk di sebelah kanan Allah Bapa setimpal dengan amal baktinya selama hidup di dunia ini.
Tak lupa pula doaku untuk ibu Adinda Dua Nurak Lebu Raya (istri pak Frans Lebu Raya) dan dua anak kesayangan pak Frans dan ibu Adinda agar diberi kekuatan dalam menghadapi peristiwa iman ini.
Selamat jalan Bung Frans, selamat beristirahat dengan damai dalam keabadian bersama Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Perawan Maria untuk semua kemuliaan-Nya (Ad Maiorem Dei Gloriam).