Oleh: P. Avent Saur, SVD
Pendiri Kelompok Kasih Insanis, Peduli Sehat Jiwa NTT
[NB: sekali mulai membaca-juga flyer, bacalah hingga selesai agar pemahaman kita utuh]
***
Awal pekan lalu, seorang yang diduga gangguan jiwa di sebuah kampung di Kabupaten Sikka, Flores, membunuh keponakannya. Sadis. Mengerikan.
“Bagaimana tanggapan Anda?” Begitu segelintir kawan menanyai saya.
Kalau mau pertanyaan itu dijawab, kita kurang lebih bisa mengatakan begini: “kita semua tidak mungkin mau siapa pun menjadi korban kekerasan dari siapa pun, termasuk orang yang diduga gangguan jiwa. Kita semua tidak mungkin mau seorang yang diduga atau yang benar-benar gangguan jiwa melakukan hal seperti itu kepada kita atau kepada siapa pun. Kita tidak mungkin mau siapa pun termasuk diri kita menderita gangguan jiwa jenis itu.”
“Dua-duanya kita tidak mau. Dua-duanya kita kutuk.”
“Tetapi toh ada. Tetapi toh terjadi. Bukan soal mau atau tidak mau, melainkan soal realitas terkait kondisi pengelolaan masalah kesehatan jiwa di wilayah kita.”
“Apakah pelakunya benar-benar gangguan jiwa?” Begitu kawan bertanya lagi.
“Apakah pelaku pernah diobati? Sebab Anda singgung pelaku terduga gangguan jiwa.”
“Ya pernah berobat. Tetapi putus di tengah jalan lantaran pelaku bangun pondok di kebun jauh sana. Tinggal sendirian.”
“Rupanya pelaku memiliki riwayat gangguan jiwa. Apakah pada saat kejadian, pelaku dalam keadaan gangguan jiwa, itu mesti diobservasi oleh tenaga profesional kesehatan jiwa.”
“Sangat boleh jadi, kalau keluarga korban atau warga membenarkan secara sosial bahwa pelaku gangguan jiwa, dan kalau amarah warga tak terkendalikan, maka pelaku bisa menjadi korban amarah warga, antara kekerasan bahkan pembunuhan baru, atau pemasungan permanen.”
“Ini bisa saja terjadi jika pengelolaan layanan kesehatan jiwa tidak diperbaiki, dan jika tidak beri ruang proses hukum terhadap pelaku, serta jika kolaborasi antarpihak dalam layanan kesehatan jiwa tidak ditata dengan baik.”
Dan tentu masih ada jawaban-jawaban lain. Namun yang pasti, kita semua tidak mau semuanya itu terjadi tetapi toh terjadi.
***
Sebenarnya saya agak berat memberikan jawaban. Kenapa? Bukan soal kita tidak bisa menjawab, melainkan boleh jadi mayoritas masyarakat bahkan keluarga korban atau warga sesama kampung tak mampu menerima jawaban kita. Tegasnya, jawaban kita pasti ditolak mentah-mentah.
Kenapa? Berbicara setelah kasus nahas terjadi bisa dianggap hampa. Tong kosong, bunyinya pasti nyaring. Itu sia-sia belaka.
Sebab toh semuanya telah terjadi. Sebab toh kita tidak mengalami langsung, tidak mengalami dari dekat. Sebab toh trauma dan ketakutan warga sangatlah kental. Sebab boleh jadi semuanya itu sulit dikendalikan dengan cara apa pun, termasuk mengutarakan pernyataan.
Namun toh, kita mesti berbicara sekalipun manfaatnya mungkin sangat sedikit baik sebagai sebuah cara mengedukasi masyarakat maupun sebagai cara mengadvokasi kepada para pihak yang berkepentingan dalam bidang politik pembangunan layanan kesehatan khususnya kesehatan jiwa.
***
Saya menerima kabar nahas itu dari seorang Ibu. “Terjadi pembunuhan terhadap seorang anak oleh orang yang diduga gangguan mental. Polisi dan penjabat kades sedang bersiap-siap turun ke lokasi,” begitu bunyi kabar itu (disingkat).
Beberapa jam usai itu, jagat media massa ramai memberitakannya. Di media sosial apalagi. Ada media massa yang memberitakannya dengan memperhatikan kode etik jurnalistik terkait warga pelaku dengan dugaan gangguan jiwa, ada yang tidak perhatikan sama sekali. Ya bergantung pada pengetahuan jurnalis tentang kode etik itu.
Tentu kita sangat prihatin terhadap kasus itu. Kita mengutuk, sekutuk-kutuknya. Kita turut berdukacita mendalam bersama keluarga korban. Sebagai orang beriman akan dunia kebangkitan, kita mendoakan keselamatan kekalnya.
Selebihnya, “Mungkin lebih bagus kalau kita segera berkoordinasi dengan pihak dokter atau perawat pengelola kesehatan jiwa di puskesmas agar mereka juga berikan perhatian terhadap kasus itu.” Sekian advokasi saya singkat.
Kurang dan lebih, pihak-pihak dimaksud turun ke TKP dalam beberapa hari terakhir ini. Dan setelah beberapa hari mencari-cari kabar keberadaan pelaku, akhirnya “ditemukan, ditangkap, tanpa perlawanan,” kata perawat puskesmas setempat tadi siang.
Bagaimana proses hukum selanjutnya terhadap pelaku, kita serahkan semuanya kepada penegak hukum. Bagaimana dinamika proses itu berjalan, polisi lebih profesional. Publik hanya bisa mengutuk, mencermati, dan mengawasinya. Wartawan memublikasikannya agar prosesnya terbuka ke ruang publik.
Namun kita perlu memberikan anjuran: kiranya dalam proses hukum, hak hukum pelaku sebagai orang yang diduga gangguan mental setidaknya diperhatikan oleh penegak hukum.
Misalnya, polisi wajib mendatangkan pelaku ke profesional kesehatan jiwa atau polisi wajib mendatangkan profesional kesehatan jiwa ke tempat di mana pelaku ditahan.
Untuk apa? Untuk memastikan pelaku itu benar-benar gangguan jiwa atau tidak pada saat melakukan tindakan kejahatan pembunuhan itu.
***
Ada tiga hal yang bisa terjadi ke depan terkait kasus itu.
Pertama, jika polisi mengabaikan hak hukum pelaku yang diduga gangguan jiwa, sekalipun dalam kenyataan pelaku benar-benar gangguan jiwa, maka hakim boleh jadi akan memutuskan hukuman penjara sekian tahun.
Ketika pelaku menjalani hukuman, maka cepat atau lambat, pelaku akan kambuh, dan boleh jadi melakukan kasus yang kurang lebih sama di sana.
Di sinilah pihak lapas akan repot di tengah ketiadaan layanan kesehatan jiwa di lapas. Demikian juga jika pelaku pada waktu nanti selesai menjalani masa hukuman, pelaku akan kembali ke kampung, dan jika layanan kesehatan jiwa tidak diberikan kepadanya, maka dia pasti akan kambuh dan bisa lakukan kasus yang kurang lebih sama, lalu diproses hukum lagi dan lagi.
Semuanya ini terjadi lantaran kita semua mengabaikan hak hukum dari seorang warga yang melakukan tindakan kejahatan yang notabene gangguan jiwa.
Kedua, jika hak hukum pelaku dipenuhi seturut keadaannya, maka hakim akan memutuskan untuk membebaskan pelaku dari hukuman penjara dan memerintahkan pemerintah terkait untuk membawa pelaku ke fasilitas kesehatan atau fasilitas rehabilitasi jiwa.
Hal kedua inilah yang kita harapkan.
Kemungkinan ketiga adalah jika polisi mengabaikan hak hukum pelaku, kemudian mengembalikan pelaku ke keluarga atau warga kampung, maka pemasungan permanen adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Dan pemasungan adalah sebuah kejahatan baru terhadap hak asasi manusia.
Apakah kejahatan ini dibenarkan lantaran pelaku telah menghabisi nyawa manusia? Namanya kejahatan, apa pun bentuknya, apa pun alasannya, apa pun tujuannya, hukum dan moralitas tidak akan pernah membenarkannya, mungkin kecuali di negara komunis dengan tekanan politik dan sosial yang tinggi.
Dan hal ini sangat kita tidak harapkan, sekalipun mungkin bagi sekian banyak orang justru sangat diharapkan.
***
Hal yang terakhir: Sikka termasuk kabupaten yang sedikit maju dalam hal layanan kesehatan jiwa. Sebab RSUD-nya memiliki poli jiwa, sebab ada dokter ahli jiwa.
Adalah sebuah terobosan yang bagus, jika Bupati Sikka segera membuka ruang rawat inap jiwa di RSUD Maumere.
Manfaatnya apa? Rawat penderita gangguan jiwa yang gaduh gelisah, yang agresif, yang mengelandang, yang kesulitan berobat rutin.
Hanya dengan cara ini, kasus-kasus seperti yang sedang kita bicarakan ini lekas terkendalikan.
***
Sekali lagi, kita semua tidak menghendaki semuanya ini terjadi. Turut berdukacita bersama keluarga korban. Dan marilah kita berdoa. Selebihnya, marilah kita terus berjuang mengelola layanan kesehatan jiwa di wilayah kita.
Mengatakan secara emosional “pukul kasi mati saja dia” (KUTUKAN SOSIAL EKSTREM) di jagat media sosial adalah respons yang dangkal oleh karena ketidaktahuan kita terkait gangguan jiwa dan hukum.
Jika Anda mengatakan “pukul masi mati saja dia,” Anda jangan menyuruh orang lain, jangan menyuruh polisi, untuk kasi mati, melainkan Anda sendirilah yang harus pergi untuk kasi mati. Anda bisa menerobos polisi atau Anda dengan susah payah mencari beliau untuk kasi mati. Sebab ketika Anda berani mengatakan kutukan ekstrem begitu, Anda sendirilah yang harus melakukannya, dan kita akan melihat apa respons dunia terhadap Anda.
Masalah yang satu tidak boleh ditangani dengan cara melakukan masalah baru. Pahami masalahnya, ambil langkah solutif. Rantai masalah mesti kita putus seputus-putusnya.
Maaf kepada keluarga korban beserta semua warga kampung yang terdampak oleh kasus ini. Turut berdukacita bersama kalian. Salam sehat jiwa-raga, salam sukses dalam hidup yang fana ini.