Oleh: Fancy Ballo
Agak pesimistis sebenarnya berbicara soal literasi untuk konteks Nusa Tenggara Timur (NTT). Tetapi seberkas cahaya dari dunia pendidikan yang melahirkan orang-orang cerdas asal NTT untuk mengisi panggung politik tanah air memberikan penulis rasa optimistis untuk menyumbangkan gagasan terkait literasi dan kebangkitan NTT.
Rasa pesimistis penulis, berangkat dari paradoks dengan tesis kuesioner; apakah literasi di NTT rendah karena NTT miskin, atau NTT miskin karena literasi rendah? Paradoks ini kemudian menempatkan penulis untuk melihat literasi sebagai teropong untuk kemajuan NTT. Teropong adalah alat bantu untuk melihat atau mengamati benda atau barang yang tidak bisa dijangkau oleh indra pengelihatan biasa untuk mendapat kejelasan.
Literasi sebagai teropong dalam pengertian ini digunakan sebagai alat untuk mengamati dengan jelas agar bisa memberi nilai, mengkritisi, dan dedikasi bagi kemajuan NTT. Dengan demikian advokasi literasi di sini penulis tidak idealkan bagi masyarakat NTT secara menyeluruh sebagai suatu gerakan artifisial. Misalnya dengan membangun taman literasi, membentuk desa literasi, atau kampung baca.
Tetapi suatu teropong yang mesti digunakan oleh para politisi, mahasiswa, dan cendikiawan NTT untuk mengamati ‘kampung sendiri’ (NTT) dengan segala keterbelakangan yang kompleks, lalu melihat potensi cahaya kemajuan yang ada dan mendorong maju bangkitnya NTT.
Mimpi literasi sebagai cahaya kebangkitan NTT, tidak bisa serta merta ditunggangkan pada pundak seluruh masyarakat NTT sebagai jalan memerangi keterbelakangan. Lebih ironis kalau literasi menjadi salah satu visi program pembangunan oleh pemerintah di NTT.
Pemerintah tepatnya berbicara soal dapur dan rumah tangga pendidikan, semisal soal, kurikulum, jaminan hidup guru honor, fasilitas belajar dan mengajar guru dan murid, dll. Jangan meloncat ke literasi yang adalah bagaian halaman dari rumah pendidikan.
Selain itu juga, wajah NTT masih kalut dengan banyak persoalan yang menyebabkan keterbelakangan, termasuk berpengaruh terhadap rendahnya literasi. Jadi, literalisasi untuk NTT agaknya kurang tepat. Bagaimana bisa berbicara literasi digital, di daerah yang tidak punya akses jaringan internet dan listrik?
Babagaimana berbicara literasi baca dan tulis dalam lingkungan keluarga yang orangtuanya bahkan tidak mampu membeli alat tulis dan buku baca untuk anaknya? Atau bagaimana efektifnya membangun rumah literasi di daerah miskin yang anak-anak atau orangtua lebih sibuk memikirkan isi perut dan biaya sekolah?
Faktisitas ini, mengingatkan penulis pada Webinar 29 Mei 2021 lalu yang digelar oleh Lima Pilar Foundation, dengan tema “Literasi di Manggarai Berada di Persimpangan Jalan. Sebagaimana intisari dari Webinari itu yang dikutip Mediaindonesia.com (30 Mei 2021), “Jangan mengharapkan literasi yang baik di tengah kemiskinan. Masyarakat miskin hanya berpikiran soal makan minum, bukan literasi. Omong kosong pemerintah mengharapkan literasi kalau membiarkan kemiskinan lestari.”
Meskipun pernyataan ini dan rasa pesimis penulis nadanya terlalu radikal, tetapi penulis tidak bermaksud untuk mencaplok hak literasi dari orang NTT (orang miskin). Hemat penulis, untuk konteks NTT lebih tepatnya memberikan literasi konseptual prihal praksis hidup masyarakat NTT. Memberikan edukasi politik, edukasi pertanian, ternak, dan edukasi ideologi (cara pandang tentang hidup).
Jadi, berbicara literasi untuk NTT bukan sekadar bangun taman literasi atau rumah litersi/baca yang menyediakan buku-buku pengetahuan, lalu menjadi seperti menumen tengah kota untuk dikenang, atau sebagai ruang narsistik semata.
Kembali kepada gagasan awal penulis, bahwa literasi pertama-tama mesti diinternalisasikan menjadi jiwa para politisi, akademisi, dan cendikiawan NTT, agar memiliki sikap responsif dan kritis atas persoalan-persoalan pemiskinan dan kemiskinan yang membelenggu NTT.
Struktur-struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang melanggengkan keterbelakangan masyarakat mesti direkonstruksi dengan tawaran konsep-konsep segar dan membangun. Di satu sisi aspek kemanusiaan tetap menjadi landasan pembangunan yang tidak bisa digeser pugarkan. Sebagai literator, peranan untuk mengedukasi, sosialisasi, demi membangun kesadaran berpikir masyarakat untuk kritis dan berani mempersoalkan hidup mereka sendiri jauh lebih efektif, dari pada membiarakan masyarakat berpikir sendiri dengan sekadar menyodorkan ruang baca untuk mereka.
Mustahil, menyediakan literatur dalam rumah baca atau taman literasi bagi masyarakat yang tidak punya kemampuan literasi. Penulis sepakat dengan Paulus Widiatmoko, bahwa literasi bukan soal sekadar bisa baca atau tulis (cakrawalantt.com, 03/2021). Literasi membutuhkan suatu disiplin akademis yang terpelajar, karena membaca menyertakan pula aktivitas memahami.
Memahami diperoleh dari kemampuan untuk menganalisa isi teks. Dan teks itu berbicara tidak lain menggunakan bahasa. Bahasa juga terkandung beragam makna yang ditempatkan sesuai dengan konteks teks itu dihadirkan. Jadi tanpa pengetahuan literasi yang baik, meski disediakan dengan mudah ruang informasi untuk diakses masyarakat, tetap saja tidak bisa diharapkan suatu cahaya kebangkitan bagi NTT itu akan terbit.
Literasi sebagai teropong kemajuan NTT di sini ialah suatu gerakan edukasi konseptual. Literasi konseptual yang mesti dibekali secara intens dan konsisten oleh kelompok politisi, akademisi, dan cendikiawan NTT. Di samping gagsan kritis ini, penulis tetap menyampiakan terima kasih untuk pelbagai pihak, baik kelompok swadaya sosial penggerak literasi, pemerintah, dan sekolah yang sudah mengupayakan ruang bagi kemajuan literasi di NTT sejauh ini.
Meskipun dengan tawaran gagasan kita berbeda, tetapi harapan dan cita-cita kita satu untuk NTT yang lebih baik. Saatnya kita untuk membangun kampung sendiri. Melihat NTT sebagai kampung kita bersama. Dengan teropong literasi yang mumpuni, kita bangun NTT menuju kemajuan.
Fransiskus Balo adalah mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero – Maumere. Asal dari Soa, Kabupaten Ngada – Saat ini tinggal di Maumere.