(Menelaah pikiran Andreas I. Schaepman)
Oleh: Marselus Natar
Pendidikan merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia. Pendidikan lah yang menentukan dan menuntun masa depan dan arah hidup manusia. Walaupun tidak semua orang berpendapat demikian, namun pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan manusia paling mendasar.
Bakat dan keahlian seseorang akan terbentuk dan terasah melalui pendidikan. Pendidikan juga umumnya dijadikan tolak ukur kualitas setiap orang. Dalam bahasa Inggris pendidikan berarti education.
Sedangkan dalam bahasa latin berarti educatum yang berasal dari kata E dan Duco, E berarti perkembangan dari luar dari dalam ataupun perkembangan dari sedikit menuju banyak, sedangkan Duco berarti sedang berkembang.
Dari sinilah, pendidikan bisa juga disebut sebagai upaya guna mengembangkan kemampuan diri. Menurut Wikipedia, pendidikan ialah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, serta kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui pengajaran, penelitian serta pelatihan.
Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan.
Pendidikan berasal dari kata “didik” ditambahi awalan “pe” menjadi kata benda “pendidikan” dan ditambahi awalah “me” menjadi kata kerja “mendidik”, pendidikan adalah pengasuhan, pembinaan atau bantuan untuk tumbuh.
Menurut Ki Hadjar Dewantara Pendidikan adalah tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan yang berkualitas menjadi penyokong kemajuan suatu bangsa.
Negeri mana pun, termasuk Indonesia, pasti menginginkan pendidikan terbaik untuk mencetak sumber daya manusia yang andal. Oleh karena itu, diperlukan sistem pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan proses edukasi yang efektif dan efisien.
Tulisan ini tidak bermaksud mengulas dan mengungkai sejarah atau pun sistem pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, tetapi untuk menelaah spirit pelayanan pendidikan dalam semangat in solicitudine et simplicitate (dalam kepedulian dan kesederhanaan) berdasarkan perspektif Mgr. Andreas Ignatius Schaepman dalam semangat pelayanan pendidikan yang dilakukan seorang pendidik.
Andreas Ignatius Schaepman lahir di Zwolle pada tanggal 4 September 1815. Setelah ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1838 beliau mula-mula bertugas sebagai pastor pembantu di Zwolle, lalu menjadi pastor paroki berturut-turut di Ommerschans, Assen dan Zwolle.
Ketika pada tahun 1853 hirarki keuskupan ditegakkan kembali, Mgr.Zwijsen diangkap menjadi uskup agung Utrecht sekaligus uskup den Bosch, tetapi beliau tinggal di den Bosch.
Pada tahun 1857 Mgr.Zwijsen mengangkat pastor Schaepman menjadi rektor seminari yang bakal didirikan di Rijsenburg. Tahun 1860 Schaepman menjadi plebaan (pastor paroki katedral) di Utrecht dan uskup koajutor dari uskup agung Zwijsen. Pada tahun yang sama ia ditahbiskan menjadi uskup dengan moto in solicitudine et simplicitate. Ia meninggal pada tanggal 19 September 1882.
Schaepman adalah seorang yang praktis. Ia berusaha memecahkan problem-problem yang sedang ia hadapi. Ia merasa prihatin dengan kaum miskin. Jauh sebelum ketimpangan sosial menjadi fokus perhatian masyarakat pada umumnya, ia sudah mencoba mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan kaum miskin. Setelah diangkap menjadi uskup ia banyak menaruh perhatian dalam bidang pengajaran.
Mulai tahun 1848 undang-undang dasar menjamin kebebasan pengajaran. Pengajaran berdasarkan aliran agama tertentu diperbolehkan, tetapi subsidi pemerintah tetap hanya diberikan kepada sekolah-sekolah negeri.
Sekitar tahun 1870 di provinsi-provinsi utara Nederland sudah ada beberapa tarekat suster yang bermisi dalam pendidikan para pemudi, tetapi belum ada tarekat yang mengelola pendidikan para pemuda. Untuk mengisi kekurangan inilah Mgr.Schaepman mengambil inisiatif untuk mendirikan suatu tarekat, yang kemudian dikenal dengan nama Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus yang secara konsisten menangani pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan asrama.
Pendidik sebagai Ujung Tombak Pendidikan
Pada era keterbukaan informasi kini, kita sering menjumpai atau dihadapkan pada pelbagai pemberitaan yang disuguhkan oleh media masa tentang dunia pendidikan Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa kita sering mendengar dan membaca ihwal sisi suram wajah pendidikan di Indonesia, yang mana mengalami suatu penurunan karakter di dalam diri peserta didik.
Peserta didik mulai marak menampilkan sikap yang tidak berkarakter. Artinya banyak peserta didik yang sikap dan perilakunya sudah tidak sesuai dengan norma yang berlaku sehingga memunculkan karakter buruk.
Banyaknya tawuran antar geng di dalam komunitas pelajar dan mahasiswa, menyebarnya video mesum, penggunaan alkohol, narkoba, rokok dan maraknya kasus pelecehan seksual. Mengendus realitas degaradasi moral atau karakter yang di alami peserta didik tersebut, lantas siapakah yang bertanggung jawab atas realitas degradasi moral peserta didik?
Undang – Undang Republik Indonesia Pasal 1 ayat 1 Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berbicara tentang dunia pendidikan berarti berbicara tentang dua unsur yang saling berkaitan erat yakni peserta didik (siswa) dan pendidik (guru). Dalam proses pendidikan, guru disebut sebagai salah satu unsur penting karena perannya dalam mendidik siswa untuk memahami setiap pelajaran dan membantu siswa agar mampu mengimplementasikan setiap nilai-nilai pembelajaran yang diperoleh dari hasil belajar.
Karena itu dapat dikatakan bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan yang berupaya mempengaruhi, membina, dan mengembangkan kemampuan siswa agar menjadi manusia yang cerdas, terampil, dan bermoral tinggi (Sudjana, 2010: 2). Eksistensi guru sebagai ujung tombak pendidikan selaras dengan semangat in solicitudine et simplicitate sebagaimana ditawarkan oleh Mgr. Schaepman, bahwasannya di dalam diri dan seluruh tugas pengabdiannya, seorang guru harus memiliki semangat kepedulian, keprihatinan, kepekaan, tanggung jawab atas perkembangan kepribadian peserta didik, serta eksistensi dirinya, kehadirannya harus menunjukan sikap-sikap yang dapat diteladani, digugu dan ditiru oleh peserta didik.
Sikap-sikap tersebut dapat ditunjukan dalam nilai kesederhanaan, kerendahan hati, kesabaran, kejujuran, ketulusan, kesalehan, dapat dipercaya dan keramahan.