Oleh: Yohanes A. Loni
Kaum Muda NTT
Asal Manggarai Timur
Pada hakikatnya, demokrasi mengandung nilai-nilai yang inklusif karena demokrasi mempertemukan segala yang berbeda atau yang berlainan melalui suatu konsepsi politik yang disebut human qua citizen-warga negara. Kita tahu bahwa inklusivitas demokrasi ditandai oleh “the government of all the people”. Penekanan pada aspek kolektif yang kuat (strong collective identoty) dari demokrasi.
Dewasa ini Demokrasi mungkin hanya dianggap sebagai suatu wacana. Hal ini terbukti dengan banyaknya konflik. Konflik yang sering terjadi adalah ancaman persatuan yang berasal dari luar Negeri maupun ancaman dari dalam bangsa sendiri. Bangsa Indonesia kita sekarang kurang memahami nilai-nilai Demokrasi. Demokrasi yang terjadi di Indonesia telah ada sekat-sekat primordialisme dan terpecah dalam berbagai golongan suku, ras, agama, dan kepentingan yang sempit.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi generasi yang cerdas dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Jangan mudah diadu domba oleh pihak-pihak tertentu yang ingin memecahkan persatuan dan kesatuan Bangsa demi kepentingan dan kelompok persatuan. Yang wajib diingat dan untuk dipahami adalah perjuangankan demokrasi harus bersama-sama dan menujukan kepada dunia bahwa Indonesia tidak hanya dipuja-puja karena kekayaan alam dan tanahnya yang subur melainkan Indonesia memiliki nilai demokrasi yang berasakan pada Pancasila.
Demokrasi di Indonesia pada hemat penulis menuntut solidaritas dan komitmen bersama dari semua rakyat untuk mengenal satu sama lain, percaya satu sama lain, dan memiliki cita rasa akan komitmen terhadap yang lain. Oleh karena itu, nilai-nilai saling pengertian (mutual anderstanding), saling menaruh kepercayaan (mutual trust) dan komitmen timbal balik (mutual comitmen) harus senantiasa diperbaruhi atau dirumuskan secara baru. Ini semua adalah bukan hal yang gampang dalam berpolitik. Kita selalu tergoda untuk terjatuh kembali ke dalam cara-cara yang lama sambil menyangkal setiap problem dan situasi politik yang nyata. Inilah yang menyebabkan dilema dalam berdemokrasi kita.
Hal yang penting adalah kita harus menyadari dan mengakui dilema berdemokrasi agar kita sanggup menemukan pengertian baru yang kreatif sebagai bentuk identitas politik kita. Kita tidak perlu memperkokoh identitas kita lewat hemogentitas yang artifisial belaka sebagai dasar untuk hidup bersama dalam damai. Yang kita butuhkan adalah adanya pengakuan akan identitas nasional yang berbeda-berbeda dan memberi ruang yang bebasa, setara dan fair dalam setiap ekspresi politis. Identitas politik harus dibangun, dinegosiasi, dan secara kreatif dirancang bersama oleh semua rakyat yang mempunyai kehendak baik demi kehidupan bersama.
Politik demokrasi di Indonesia harus diperbaharui dan harus sanggup menciptakan satu atap kehidupan sebagai tempat bernaung bagi semua orang dan sebagai tempat untuk sharing identitas bersama dari segala macam perbedaan.
Kita menggugat dan menyematkan demokrasi dari para begal politik yang melawan hukum dan merusak demokrasi kita dengan landasan nomor pendaftaran IDM 000 201 281 bahwa Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Kemenkumham RI. (Riefy “Sekertaris Jendral Partai Demokrat).
Pada hemat penulis, tulisan ini menggugah kesadaran bagi kader-kader partai Demokrat dalam menata strategis dan pemahaman politik di Indonesia yang berdemokrasi. Sebab landasan demokrasi dapat diterima secara publik apabila paham Demokrasi secara terstruktur.
Kondisi-kondisi sosial yang terjadi bangsa Indonesia hari ini adalah rezim demokratis modern memiliki asal usulnya dalam perang agama menyusul peristiwa reformasi dan perkembangan selanjutnya pertumbuhan pemerintahan konstitusional dan perekonomian pasar industri besar.
Demokrat Selamatkan Demokrasi 2024
Situasi politik di Indonesia pada tahun 2024 yang akan mendatang marak dan ramai dengan berlangsungnya dua perhelatan politik akbar, yakni pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden sebagai perwujudan cita-cita negara demokrasi. Kedua peristiwa politik ini membangkitkan perasaan-perasaan tertentu di dalam diri kita: antara gembira dan gelisah, cemas dan penuh harapan.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dalam pertemuan dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan bahwa Persoalan-persoalan masa depan demokrasi di Indonesia serta penegak hukum menjadi tantangan dimana sejumlah lembaga Internasional memotret demokrasi Indonesia berada pada posisi yang tidak baik. (Bdk. http.Kompas.com “Pertemuan Demokrat dan PKS, Demokrasi dan Penegak Hukum Jadi Pembahasan” Diakses 06/08/21).
Demokrat Atasi Korupsi di Indonesia
Korupsi telah lama menodai kehidupan bangsa Indonesia. Tetapi, hal ini menjadi jauh lebih menyolok pada masa Orde Baru di bawah rezim Soeharto, di mana sebagian dana pinjaman luar negeri dikorupsi setiap tahun mulai dari pusat hingga daerah. (Hasil Investigasi BBC tahun 2002 memperlihatkan, sepertiga pinjaman Indonesia dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) masuk ke kantong pribadi Soeharto dan kroni-kroninya).
Korupsi bahkan sudah merasuk sampai ke masyarakat paling bawah, yakni tukang jual obat, menyamar menjadi penceramah agama yang kontroversi, dan sebagainya.
Mungkin bukan khas Indonesia, tetapi korupsi oleh wakil rakyat mulai dari pusat hingga daerah sudah menjadi lagu lama dan sama merajalelanya seperti di lembaga-lembaga eksekutif dan judikatif di negeri ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa DPR/D menjadi sarang korupsi. Modus operandinya variatif, seperti memanfaatkan hak legislas, menjadi calo proyek-proyek tertentu di daerah untuk mendapat legitimasi DPR, berkolusi dengan pemerintah daerah serta pengusaha, dan lain-lain.
Pemilu yang Demokratis
Salah satu keutamaan demokrasi adalah bahwa sistem mempenyelenggaraan kekuasaan yang menempatkan semua rakyat pada posisi yang sama. (Bdk. Paul Budi Kleden, “Kenaapa Demokrasi? Mencari Kekuatan dan Kelemahan Demokrasi,” dalam jurnal Ledalero, II, 2003, hlm.5-18.
Sejauh mungkin semua warga yang telah mencapai usia tertentu berhak memiliki dan mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Demokrasi tidak memperkenankan adanya diskriminasi dalam distribusi kesempatan berpendapat dan menyatakan pendapat. Pembatasan kesempatan untuk mengambil bagian dalam proses peralihan kekuasaan mesti dikurangi sejauh mungkin. Maksudnya, syarat untuk membatasi penggunaan hak seseorang sebagai warga sebuah negara demokratis diusahakan seminimal mungkin. Tidak ada warga yang dilarang berpartisipasi dalam kehidupan bersama karena alasan-alasan yang bersifat primordial seperti suku, ras, agama, dan gender.
Demokrasi didasarkan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan bahwa kedaulatan rakyat itu mengungkapkan dirinya dalam pengaturan penyelenggara kekuasaan. Seorang warga disebut berdaulat apabila dia mengetahui apa yang menjadi hak yang dapat dituntutnya dari kesatuan politis yang ada, dan apabila dia mempunyai hak untuk menentukan orang yang melaksanakan apa yang dikehendakinya itu. Misalnya, seorang warga yang berdaulat tahu bahwa negara berkewajiban menjamin kesejahteraan warganya dan bahwa dia memiliki hak untuk memberikan kepercayaan kepada politisi tertentu guna memimpin negaranya.
Rakyat yang Demokratis
Demokrasi masih merupakan satu sistem penyelenggaraan yang belum mendarahdaging dalam diri masyarakat Indonesia. Mudanya usia tradisi ini, ditambah skeptsme yang meluas terhadap pemilu, merupakan tantangan serius terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Setelah sekian lama hidup di bawah satu sistem yang represif, masyarakat secara spontan mengharakan suatu perubahan yang radikan dan cepat. Harapan akan perubahan itu digantungkan para pemenang pemilu 2024. Namun, harapan itu tampaknya masih jauh dari perwujudan. (Bdk. J. Kristadi, “Gelombang Balik Korupsi Politik”, Kompas 16 Desember 2020, hl. 1 kol.5, hlm.15 kol. 1-2. KPU sendiri mentargetkan partisipasi pemili sekurang-kurangnya 70% (http://www.surakarya-online.com/news.html, diakses 13 Agustus 2021)
Masyarakat yang terbiasa dengan sistem demokrasi biasanya memiliki kesadaran bahwa sebuah proses perubahan membutuhkan waktu dan korban. Rakyat bersedia menanti dan berkorban, sebab dia menaruh kepercayaan para pemimpinnya akan efektivitas korban tersebut. Evektifitas ini antara lain dijamin oleh peran kontrol dan intervensi yang terbuka dari rakyat terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Kalau demikian, gejala skeptisme yang telah dibicarakan di depan, sebenarnya mengungkapkan bahwa politik di negara ini masih didominasi oleh sekelompok kecil orang, yang dengan segala cara mendepak rakyat dari persentuhan dengan pusat kekuasaan. Kita akan melihat beberapa unsur dalam penilaian tentang kadar demokrasi rakyat kita dalam menghadapi pemilu 2024.
Penutup
Pemilu 2024 masih akan diwarnai sejumlah kekurangan. Hal ini menjadi sebab bagi sejumlah orang untuk mengatakan bahwa secara substansial pemilu tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Kelemahan utama terdapat pada instabilitas regulasi yang digunakan sebagai rujukan dan kemungkinan rendahnya tingkat partisipasi warga.
Pemilu memang penting, namun dia bukanlah segalanya. Melalui pemilu warga menentukan arah dan memilih para pemimpinnya. Tetapi yang juga sangat menentukan adalah menjalankan peran pengawalan terhadap apa dan siapa yang telah ditentukan dan dipilih itu. Warga sebuah negara demokratis tidak berhenti menjadi warga dengan mendelegasikan kedelautan kepada lembaga-lembaga perwakilannya. Pengawasan dan kontrol masih tetap dibutuhkan dan harus dipandang sebagai wujud tanggung jawab sebagai warga. Sebab itu, pemilu sebagai sebuah langkah dalam derap kita menuju demokratisasi bangsa ini, yang menyadarkan kita akan tanggung jawab kita sebagai warga, mestinya dapat menumbuhkan partisipasi yang lebih besar dan intensif untuk masa selannjutnya. Hanya dengan dmikian pemilu akan menjadi sebuah wahana pendidikan politik dan bentuk pentradisian kehidupan berdemokrasi. Tugas dan tanggung jawab inilah sebagai partai Demokrat berkolaborasi di tengah masyarakat yang pluralis.