Oleh: P. Avent Saur, SVD
Pendiri Kelompok Kasih Insanis, Peduli Sehat Jiwa NTT
Natal 2021, saya rayakan di Gereja Lengko Elar, Kevikepan Borong, Keuskupan Ruteng.
Infrastruktur jalan ke wilayah Kecamatan Elar, Elar Selatan, dan Congkar sungguh dan sungguh-sungguh menyuguhkan kegugupan.
Keadaan yang kurang lebih sama tampak di jalur menuju Taga di Kecamatan Kota Komba Utara ketika saya dan relawan melintas setahun lalu.
Aspal pada segelintir titik jalur tampak lumayan enak dilintasi, sementara titik-titik lainnya aduhai memprihatinkan.
Belum lagi jaringan listrik dan jaringan telkomsel pada sebagian besar wilayah itu masih jauh dari kemajuan.
Keadaan-keadaan yang kurang lebih sama mungkin ada di pelbagai kecamatan di wilayah Flores atau NTT. Namun narasi tentang kemajuan pembangunan Elar dan sekitarnya mungkin agak jauh di belakang.
Mengalami keadaan ini, sekalipun cuma sesaat, saya dan mungkin kawan-kawan dibawa pada ingatan akan janji-janji politik para calon pemimpin jelang pesta demokrasi: target listrikkan semua desa tahun 2019 atau 2020 atau 2021 yang akan segera berakhir ini.
Masyarakat dan para pelayan publik di wilayah itu menerima janji-janji itu dan menjalani keadaan harian mereka sekuat mungkin.
***
Tentu ada sekian banyak aspek yang kita bisa dalami terkait konteks layanan publik di wilayah itu. Maaf, mari kita fokus ke layanan kesehatan, lebih khusus lagi kesehatan jiwa.
Kita bisa membayangkan bagaimana para tenaga kesehatan berjuang semaksimal mungkin dalam memberikan layanan kepada masyarakat?
Atau membayangkan bagaimana masyarakat berupaya sekuat mungkin dalam mengakses layanan di fasilitas kesehatan primer (puskesmas) yang berjauhan?
Memang sungguh tak terkatakan. Tetapi toh para tenaga kesehatan menjalani hari-hari layanan mereka dengan tangguh dan sukacita.
Namun mengalami Elar dan sekitarnya, atau mengalami keadaan-keadaan di tempat lain yang kurang lebih sama, saya pun jadi tahu dan paham, misalnya, kenapa layanan kesehatan jiwa selalu tersendat. Infrastruktur memprihatinkan, jumlah nakes kurang, jarak tempuh antara kampung-kampung dengan pusat kesehatan masyarakat lumayan jauh dengan medan-medan ekstrem.
***
Di Lengko Elar, saya rayakan natal bersama umat dua stasi, dua kali misa. Satu kali lagi di stasi pusat, misa konselebrasi.
Pada dua tempat itu, edukasi kesehatan jiwa, saya selipkan. Yang lebih seru, edukasi di rumah-rumah di mana saya dan umat menikmati makan bersama.
Kenapa seru? Sebab umat bertanya, kita menjawab. Kita bertanya, umat menjawab. Ada sharing pengalaman dan pengetahuan. Ada dialog. Edukasi pun sangat mengena.
Dari tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman pada saat santai penuh kekeluargaan dan persahabatan, betapa kita menjadi tahu bahwa pengetahuan masyarakat tentang kesehatan jiwa masih sangat jauh dari kemajuan.
Apa yang kita sebut stigma sosial tentang gangguan jiwa dan kesehatan jiwa masih sangat kental. Butuh waktu yang tak sedikit dan tenaga yang cukup memadai untuk ada bersama umat dan berbaur dengan masyarakat agar edukasi itu betul-betul bisa diinternalisasi dalam interaksi sosial yang nyata.
Namun toh kita tak bisa mengubah keadaan hanya dalam waktu sekejap, hanya dengan tenaga minim. Upaya kontinu harus tetap dilakukan.
Sekalipun demikian, betapa besar harapan kita, para tokoh yang memiliki pengaruh secara sosial seturut fungsi-fungsi mereka, bisa membantu menyebarkan ilmu baru demi membongkar stigma sosial tentang gangguan jiwa dan kesehatan jiwa.
***
Ada dua hal yang paling saya ingat. Pertama, segelintir warga menginformasikan tentang adanya saudara-saudari yang sudah sekian lama sakit jiwa di wilayah itu.
Yang kita lakukan, selain edukasi tadi, juga mendatakan dengan struktur by name, by address, and by symptoms. Seadanya saja.
Dalam keadaan normal, biasanya setelah mendatakan, kita lakukan kunjungan ke rumah-rumah pasien. Namun kebiasaan itu terurung lantaran medan ekstrem tadi. Butuh waktu, butuh energi. Sementara kehadiran relawan di wilayah itu tak seberapa tanggal durasinya. Butuh seminggu? Tidak! Butuh belasan hari bahkan dua puluhan hari jika mau menjangkau semua penderita dan keluarganya.
Misalnya, bersama keluarga bukan pasien saja, kita duduk dan berdialog kesehatan jiwa, itu membutuhkan waktu tiga jam, kurang lebih.
Apalagi berdialog dengan keluarga penderita. Waktunya harus lama, bahkan harus bermalam supaya mendalam.
Sebab bukan cuma edukasi yang kita lakukan, melainkan lebih banyak mendengar apa keluhan dan kata hati mereka yang kiranya menjadi psikoterapi kolektif buat mengurangi rasa sakit di kedalaman perasaan mereka; sebuah rasa sakit lantaran trauma selama menjalani hari-hari hidup dengan penderita.
Kedua, kurang lebih tiga jam, saya duduk bersama Kepala Puskesmas Elar untuk berbincang dengan seorang penderita dan keluarganya.
Lebih banyak waktu, kita berikan kepada pasien yang notabene keadaannya lebih baik daripada keadaan-keadaan sebelumnya lantaran menjalani terapi medik dengan disiplin.
Namun keadaan itu akan stagnan bila pasien kurang dipacu untuk segera melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan dan produktif.
Setidaknya, kita paham bahwa pada pasien itu ada sedikit daya untuk memberdayakan dirinya sendiri. Yang kita upayakan adalah memberikan tambahan daya dan energi agar pasien merasa mampu hingga pada akhirnya sungguh-sungguh mampu melakukan sesuatu yang produktif.
Memberikan daya tambahan pada pasien memang tidak begitu mudah. Pemberinya tak cukup oleh nakes. Keluarga dan masyarakatlah yang menjadi pemberinya.
Namun pada kasus-kasus tertentu, mengacu pada sharing pengalaman sang kepala puskesmas, mengharapkan keluarga menjadi pemberi daya tambahan itu juga susah bukan main. Sebab ada juga keluarga pasien yang kurang sungguh menjaga kedisiplinan farmakoterapi buat pasien.
Namun betapa patut kita syukuri, pengalaman bebas pasung selalu menjadi narasi yang menarik, sekalipun kita tetap mengingatkan bahwa bebas pasung hanyalah awal dari sebuah proses panjang pemulihan fungsi-fungsi diri seorang penderita. Bebas pasung bukanlah akhir. Memberdayakan dirinya agar fungsi-fungsi dirinya kembali aktif (sekalipun tidak akan kembali seperti dahulu sebelum sakit), adalah sebuah keharusan yang mesti kontinu.
***
Keadaan pembangunan fisik di Elar dan kesehatan jiwa masyarakatnya adalah dua hal yang terkait Infrastruktur jalan, kemajuan pembangunan telekomunikasi, dan jaringan penerangan sangat berpengaruh pada kemajuan layanan kesehatan jiwa.
Infrastruktur buruk bisa menjadi kendala buat kemajuan layanan keswa. Penderita dengan keadaan gaduh gelisah, misalnya, yang membutuhkan layanan segera, terpaksa telat direspons. Sebab nakes sulit menjangkau secara cepat dalam waktu mendesak (urgen). Maka tindakan pasung pun bisa akan tetap terjadi.
Ya perjumpaan dengan nakes, penderita, dan keluarganya kiranya menghadirkan suasana baru, pemahaman baru, dan perasaan baru buat mereka semua yang saya temui, yang dengan mereka, kita saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Ya salam sehat jiwa buat saudara-saudari di Elar sana. Salam #BelumKalah di tengah perjuangan tiada akhir demi kemajuan kita bersama baik kemajuan infrastruktur, manusia fisik maupun kemajuan mental.